BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah dan Alasan Pemilihan Judul
Pemerintahan memang sangat identik dengan pemimpin. Dalam sebuah
pemerintahan pastinya ada satu orang yang menjadi pemerintah. Semua orang yang
berada dalam struktur pemerintahan itu diwajibkan untuk patuh dan taat kepada
sang pemimpin, karena pemimpin biasanya mempunyai kewenangan untuk membuat
sebuah keputusan. Di sinilah sering terjadi perbedaan
pendapat antara pemerintah dan anggotanya. Tidak semua anggota pasti akan
langsung bisa menerima keputusan sang pemimpin dan hal itu akan memicu
pro-kontra diantara mereka. Tidak jauh berbeda dengan pemerintahan yang ada di
Indonesia ini. Pemerintah seakan-akan tidak memahami lagi bahwa mereka adalah
pemerintah yang berasal dari Allah, karena dalam kitab suci orang Kristen
(Alkitab) mengatakan dengan jelas bahwa pemerintah berasal dari Allah (Roma 13:1-2). Oleh karena itulah maka manusia diminta untuk selalu patuh
kepada pemerintah. Bagaimana orang Kristen harus menghadapi ketegangan yang
timbul karena kehadiran mereka dalam sebuah masyarakat dimana kebutuhan untuk
mempertahankan integritas mereka sebagai individu dan setia pada pemahaman
mereka tentang keilahian Kristus bertentangan dengan tuntutan masyarakat itu.[1]
Dalam Roma 13, Paulus memfokuskan pembahasannya pada ketegangan antara
individu dan masyarakat secara umum dalam kaitan dengan masalah ketaatan atau
ketidaktaatan. Masalah yang timbul berkaitan dengan tanggung jawab individu
terhadap tatanan sosial, sepanjang tatanan sosial itu diatur oleh hukum yang
ditegakkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam pemerintahan.
Manusia sering kali melakukan kompromi terhadap tanggung jawab individu Kristen
atas dasar penerapan perintah Alkitab secara satu pihak. Dengan demikian Roma
13 sering kali dikutip sebagai suatu bukti bahwa pemerintah selalu menuntut dan
berhak mendapatkan ketaatan manusia secara total dan tanpa keraguan.[2] Roma 13 tidak
menuntut kasih yang umum melainkan sikap, sama seperti apa yang disinggung
dalam surat-surat Paulus, yang dengannya sikap politis dikaitkan, yaitu:
“Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja
sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi”. Yang dituntut di sini bukan
penindasan, melainkan kemitraan, sebagaimana halnya juga antara suami dengan
isteri, anak dengan orang tua. Hamba-hamba harus tunduk kepada tuannya (1 Ptr. 2:18).[3]
Ada perlindungan bagi orang-orang Yahudi pada masa surat Roma ditulis,
yaitu kelompok Yahudi mengantongi status yang sedikit istimewa di dalam
kekaisaran, sebagai kelompok yang mempunyai izin “collegia licita” yang berarti kepatuhan terhadap penguasa Roma
adalah hal yang biasa bagi kelompok Kristen yang berlatar belakang Yahudi,
sehingga nasehat ini penting bagi Kristen non-Yahudi. Teks ini lebih dipahami
sebagai jembatan untuk pemahaman dunia politik. Konflik soal dunia politik itu
berkembang menjadi masalah dalam kelompok Kristen dari dulu sampai sekarang dan
biasanya muncul dalam perbedaan kepatuhan kepada Allah dengan kepatuhan kepada
pemerintah dunia. Secara umum, Roma 13 mengarah kepada pembuktian pemahaman
zaman rasuli atas peraturan negara, kuasa, dan kesetiaan sipil dalam melayani Allah. Perubahan mendasar bisa terjadi dalam
penyalahgunaan kuasa yang cenderung menginjak-injak hak azasi manusia
berdasarkan tunduk kepada kuasa yang di
atas.[4]
Di dalam dunia Perjanjian Baru dilaporkan bahwa Yesus mengajarkan kepada
para pengikutnya (orang-orang percaya) untuk membayar pajak. Dimana pajak
merupakan penyokong keberlangsungan roda pemerintahan guna membangun suatu
bangsa dan negara (Matius 22 : 21). Pesan Yesus tersebut mengajarkan supaya
patuh dan menaati keputusan perundang-undangan yang diberlakukan oleh negara
dan mengenai Undang-Undang membayar pajak adalah tidak menyalahi, karena sasaran
pajak jelas terurai dan dialamatkan. Dengan kata lain, pajak bukan merupakan income (pemasukan) yang memperkaya para
pejabat negara, melainkan pajak dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[5]
Rasul Paulus menyebutkan bahwa rakyat harus menyadari kalau pemerintah juga adalah hamba Allah untuk kebaikan bangsa dan negara
(Roma 13:4). Inilah yang menjadi dasar bagi masyarakat agar tunduk kepada
pemerintah, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah dan
pemerintahan-pemerintahan yang ada ditetapkan oleh Allah (Roma 13:1). Rakyat
harus mendukung ketetapan pemerintah yang telah diundang-undangkan (lih. Roma 13:7). Demikian juga halnya, sikap saling menghormati merupakan
etika yang mendasari hidup dalam berwarga negara. Baik pemerintah maupun rakyat
secara bersama membangun kebersamaan dan nilai-nilai luhur dalam menciptakan
keharmonisan, kedamaian dan ketentraman sehingga cita-cita kesejahteraan bangsa
dan negara tidak menjadi impian belaka, melainkan suatu realisasi yang sungguh.[6]
Pada zaman Perjanjian Lama, tepatnya zaman Nabi Musa, kerajaan bangsa Israel
adalah berbentuk Theokrasi, yang artinya Allah yang memerintah atas bangsa
Israel. Walaupun Musa, Harun dan Yosua bertindak sebagai pemimpin umat Israel
keluar dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan. Tetapi, mereka semua bertindak
hanya seturut dengan perintah dari Allah (Yahweh). Bentuk Kerajaan yang
Theokrasi mendapat tanggapan dan protes dari umat Israel sendiri pada masa
Hakim Samuel, dimana mereka sangat menginginkan seorang raja seperti bangsa-bangsa
lain yang telah mempunyai raja terlebih dahulu. Tuntutan itu dikabulkan, lalu
terpilihlah Saul sebagai Raja pertama bagi umat Israel. Daud dan Salomo sebagai
raja kedua dan ketiga. Akan tetapi, pasca pemerintahan Raja Salomo kerajaan
Israel terbagi dua : Israel Utara dan Israel Selatan. Semakin terlihatlah
kehancuran bangsa Israel setelah kerajaan berbentuk Theokrasi ditinggalkan dan
berubah menjadi Monarki.[7]
Dalam sejarah, gereja dan negara memiliki beberapa bentuk hubungan. Pada
bagian ini akan dibahas mengenai hubungan yang terjadi antara gereja dan
negara. Banyak orang berpikir bahwa gereja dan negara merupakan dua hal yang
sangat berbeda, sehingga mereka menyatakan bahwa negara dan gereja tidak boleh
memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya.[8] Di samping itu
ada orang yang memiliki pemahaman bahwa gereja dan negara harus saling
berhubungan. Artinya gereja sebagai pembina rohani harus memiliki tanggung
jawab penuh terhadap negara. Negara harus berada di bawah pengawasan dan
kontrol gereja. Pandangan lain menyatakan bahwa negara harus berperan penuh
dalam perkembangan yang terjadi di dalam gereja. Artinya negara harus
mengontrol gereja.[9] Selain kepercayaan dan keyakinan yang berbeda antara negara dan gereja
pada masa itu, hal lain yang menyebabkan keterpisahan gereja dan negara adalah
“penganiayaan”. Penindasan yang muncul dari ketakutan pemerintah akan
kekristenan menarik banyak masyarakat Roma. Kekristenan menyebabkan banyak
warga Roma tidak lagi melakukan penyembahan kepada salah satu dewa atau dewi
Romawi. Hal tersebut tentu merusak sistem negara yang telah terbentuk.[10]
Karena banyaknya
pengikut Kristen maka kaisar memberi kesan negatif terhadap bangsa Yahudi yaitu
seperti cium kudus (cium persaudaraan). Pandangan negara yang negatif terhadap kekeristenan
menyebabkan timbulnya penghambatan terhadap gereja. Sekitar tahun 64 M, Kaisar
Nero mempersalahkan orang Kristen karena kebakaran besar yang memusnahkan
sebagian dari ibu kota negeri itu padahal Nero sendirilah yang menyuruh
orangnya melakukan pembakaran. Kaisar Nero melihat orang Kristen sebagai bahaya
besar bagi kelangsungan kekaisaran Romawi karena jumlah mereka yang semakin
besar dan persembahan kurban yang semakin hari semakin sedikit. Nero melihat
apabila orang Kristen tetap diberi kebebasan dalam beribadah, maka akan semakin
banyak pengikut mereka. Kaisar Nero menerapkan sikap bermusuhan terhadap orang
Kristen. Ia merestui penganiayaan terhadap orang Kristen yang dianggapnya
takhayul. Orang Kristen dianiaya dengan sangat ngerinya, misalnya dilabur
dengan gala-gala lalu dibakar hidup-hidup dan dijadikan obor pada pesta malam.
Komunitas Kristen dituduh sebagai kelompok yang membenci manusia (odium
humanis generis atau misanthrophia).[11]
Untuk lebih memahami bagaimana seharusnya para pemerintah itu menjalankan
roda pemerintahan yang berada dalam kekuasaanya, maka penulis hendak menggali
isi Surat yang dikirimkan Paulus kepada jemaat di Roma, yaitu dengan judul:
“KONSEP PEMIKIRAN PAULUS TENTANG PEMERINTAHAN YANG
BERASAL DARI ALLAH”
(Suatu Studi Hermeneutis Terhadap Surat Roma 13: 1-7)
1.2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang pemilihan judul di
atas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah untuk mempermudah kinerja
dalam pengerjaan skripsi ini. Beberapa rumusan masalah tersebut adalah:
-
Bagaimana konsep pemerintahan yang ada
pada zaman Paulus mengirimkan suratnya ke Roma?
-
Apa latar belakang Paulus memasukkan
perikop ini ke dalam suratnya?
-
Bagaimana pengaruh tulisan Paulus
tentang pemerintahan yang berasal dari Allah terhadap masyarakat pada zamannya?
-
Bagaimana perbandingan pemerintahan yang
ada dalam Perjanjian Lama dengan pemerintahan pada zaman Paulus mengirimkan
suratnya kepada jemaat Roma?
-
Bagaimana seharusnya gereja melihat bentuk dan konsep pemerintahan yang
ada sekarang ini?
1.3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari
pembahasan judul ini, adalah sebagai berikut:
-
Meneliti pemerintahan yang berasal dari
Allah
-
Untuk mengetahui perkembangan bentuk
pemerintahan berdasarkan surat Roma, dari zaman Perjanjian
Lama sampai zaman Roma 13.
-
Untuk mengetahui makna perikop ini terhadap konsep pemerintahan yang berkembang pada zaman Roma
13.
-
Untuk mengetahui tindakan apa yang perlu dilakukan oleh gereja terhadap
pemerintahan sekarang.
1.4.
Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan dapat memaparkan dengan jelas pemahaman nats Roma 13;1-7 bahwa pemerintahan itu
berasal dari Allah menurut Paulus. Dengan demikian tulisan ini diharapkan dapat
memberikan paradigma dan pola berpikir baru dan kontekstual bagi pembaca,
khususnya:
-
Untuk mengembangkan pemahaman teologis
terhadap bentuk dan konsep Paulus tentang pemerintahan yang berasal dari Allah, melalui teks Roma
13:1-7
-
Untuk lebih membuka wawasan para
mahasiswa/i tentang konsep pemerintahan menurut Paulus.
-
Untuk mengetahui bagaimana seharusnya gereja bertindak terhadap
pemerintahan yang ada pada sekarang ini.
1.5.
Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan hanya
terbatas kepada sumber-sumber tulisan ilmiah para Teolog, menelusuri buku-buku
yang berhubungan dengan kebenaran dan iman orang percaya. Dengan metode Literatur dan Historis Kritis
penulis dapat memaparkan landasan biblikanya, secara khusus Surat Roma 13;1-7. Penulis akan melihat perbandingan-perbandingan konsep pemerintahan dalam
Perjanjian Lama sampai pada zaman Roma 13 agar lebih mudah dalam menjelaskan
bagaimana seharusnya pemerintahan yang berasal dari Allah. Penulis juga akan
melihat alasan Paulus memasukkan perikop ini kedalam suratnya. Sehingga
nantinya akan terlihat dengan jelas “apa dan bagaimana pemerintahan yang
berasal dari Allah” itu. Kemudian apa-apa saja kewajiban masyarakat kepada
pemerintah yang berasal dari Allah. Demikian juga relevansi atau hubungannya dengan realitas masa
kini, sejauh mana Gereja dapat menunjukan dan memahami konsep pemikiran Paulus
tentang pemerintah.
1.6.
Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan
metode Historis Kritis karena penulis melihat bahwa teks sangat cocok
dijelaskan melalui metode tersebut, dengan melakukan prosedur syarat
langkah-langkah hermeneutik pada teks melalui studi Historis. Penulis juga
melihat bahwa metode ini dapat mencegah terjadinya pemaksaan penafsiran
seseorang dalam budaya yang berbeda dengan konteks nats. Dengan kata lain,
metode ini akan membawa penulis pada pemahaman yang benar sesuai dengan apa
yang dimaksudkan teks.
1.7.
Hipotesa
Sesuai dengan konsep pemikiran Paulus, Pemerintah yang berasal dari Allah
untuk memberikan kesejahteraan kepada manusia. Negara dan Agama tidak dapat
terpisahkan satu sama lain. Apabila manusia sudah menjalankan semua
kewajiban-kewajibannya sebagai masyarakat yang baik, maka pemerintahan itu akan
berjalan sesuai dengan kehendak Allah.
1.8.
Sistematika Penulisan
Dalam rangka mempermudah penulisan ini,
maka penulis membuat sistematika penulisan. Adapun deskripsi penulisan dari
penelitian terhadap teks, yaitu Roma 13;1-7 adalah sebagai berikut:
Bab I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Maksud dan Tujuan Penulisan
1.4
Manfaat Penulisan
1.5
Ruang Lingkup Penulisan
1.6
Metode Penulisan
1.7
Hipotesis
1.8
Sistematika Penulisan
BAB II. LANDASAN TEORI
2.1 Studi Etimologi dan Terminologi
2.2. Latar Belakang
Historis
2.1.1 Letak Geografis
2.1.2 Penulisan surat Roma
2.1.3 Alamat Penulisan
2.1.4 Konteks Historis Roma 13
2.3 Pendapat Para Ahli tentang Roma 13 :1-7
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Literer
3.1.1 Alasan Pemilihan Metode Literer
3.1.2 Dasar Metode Literer
3.1.3 Manfaat Metode Literer
3.1.4 Prinsip Metode Literer
3.2 Metode
Historis Kritis
3.2.1 Alasan Pemilihan Metode
Penafsiran Historis Kritis
3.2.2 Manfaat Metode Penafsiran
Historis Kritis
3.2.3 Prinsip Metode Penafsiran
Historis Kritis
BAB IV. TAFSIRAN DAN TEOLOGI
4.1
Pendekatan Kritik
4.1.1
Nats
4.1.2
Bentuk
4.1.3
Redaksi
4.1.4
Situasi Historis
4.1.4.1
Tradisi Keagamaan
4.1.4.2
Tradisi Sosial-Ekonomi
4.1.4.3
Tradisi Politik
4.2
Tafsiran
4.3
Thema-thema Teologi
BAB V. RELEVANSI
BAB VI. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Studi Etimologi dan Terminologi
1.
evxousi,aij (exousiais) = kata
benda datif feminim jamak, asal kata evxousi,a yang artinya adalah kekuasaan, kebebasan, keadilan, hak-hak
kebenaran, kemampuan.
"Kekuasaan atau Authority" dalam bahasa
Yunani memakai kata evxousi,a (exousia). Ini berasal dari kata kerja yang berarti exestin[12] yang mencakup (a)
suatu tindakan adalah mungkin dalam arti
bahwa tidak ada rintangan (b) suatu tindakan tidak dicegah oleh norma yang lebih
tinggi. Exousia juga berarti hak
untuk melakukan sesuatu yang bermakna pada kebebasan.
Dengan mengacu kepada Allah, kekuasaan mutlak dan tak
tertandingi (Lukas 12:5;
Rom 9:21). Allah
dapat memberikan atau mendelegasikan
wewenang dalam berbagai cara (Wahyu
6:8; 14:18).[13]
Gereja memiliki "kekuasaan,
kuasa" yang berasal dari tindakan Kristus atas
namanya. Kristus "memberikan" kunci-kunci kerajaan ke
gereja. Dalam Kristus, gereja
memiliki exousia, atau "kebebasan" (1 Kor 8:9.). Tapi
kebebasan ini harus digunakan
untuk kesejahteraan orang lain, dan bukan untuk kepuasan diri sendiri. Kristus memiliki semua kekuasaan, dan
ini memiliki implikasi signifikan bagi ekspresi "kekuasaan" diantara umat Kristus: kekuasaan
diwujudkan melalui pengorbanan pemberian kehidupan
seseorang untuk orang lain, dan
dengan menegur satu sama lain
dengan Firman Tuhan.[14] Ketika kekuasaan dikatakan
berada pada orang karena posisi mereka.
2.
u`potasse,sqw = ‘hupotassestho’: kata kerja present
aktif orang ketiga tunggal, asal kata adalah u`potassw – ‘hupotasso’= (menempatkan diri
sebagai subjek, patuh, mematuhi, takluk).
Kata Yunani yang
diterjemahkan "taat, patuh, takluk"
di sini adalah u`potassw = Hupotasso. Ini adalah
istilah yang berarti "untuk
peringkat di bawah". Dalam banyak
kasus, ketaatan merupakan bagian dari hal kepatuhan untuk sebuah kekuasaan yang ada di atas
manusia. Kegagalan untuk memahami
perbedaan antara penyerahan dan ketaatan telah melahirkan ajaran palsu yang
telah menyebabkan beberapa orang untuk mematuhi orang
lain dalam hal dosa. Itu tidak pernah diperintahkan
dalam Firman Allah.[15]
Dalam bahasa Yunani, kata tersebut u`potassw, (hupotasso) yang berarti "untuk
mengatur dalam struktur pemerintahan." Ini sebenarnya adalah sebuah
istilah militer, dan di militer ada rasa kuat untuk taat, takluk kepada
seseorang yang berpangkat lebih tinggi. Semuanya "diatur dalam urutan ke bawah." Artinya adalah manusia
harus mengatur diri sendiri dalam susunan struktur, yaitu, sistematis, strukturalis
di bawah yang lain. Hal tampak dalam berbagai terjemahan Alkitab
bahasa Inggris selain King James Version (dan bahkan kadang-kadang dalam King
James)[16] sebagai bawahan, mematuhi, tunduk, menyerahkan,
menyerah, menjadi lemah, menderita, rendah hati, diletakkan di bawah.
Salah satu cara termudah untuk melihat bahwa seseorang dapat hidup tanpa mematuhi
perintah durhaka adalah
dengan melihat kehidupan Petrus.
Petrus membuat beberapa pernyataan yang mencolok dalam 1 Petrus 2:13-14 ketika ia berkata, “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga
manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun
kepada wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan
menghormati orang-orang yang berbuat baik.” Ini adalah Petrus yang sama
yang menolak untuk mematuhi imam-imam kepala ketika mereka diperintahkan untuk tidak berbicara atau mengajar lagi dalam nama Yesus (Kis
4:18-19). Ketika Petrus
dan Para Rasul lainnya terus
mengajar dan berkhotbah tentang Yesus, imam besar dan tua-tua Yahudi memenjarakan
mereka. Namun, secara kuasa Allah, mereka dibebaskan dari
penjara oleh malaikat Tuhan
yang memberitahu mereka untuk kembali ke kuil dan
berkhotbah lagi (Kis 5:17-20).[17]
- qeou/ = kata benda genitive tunggal maskulin, asal kata qeoj yang berarti Allah.
Dalam Alkitab Perjanjian
Lama (Tanakh = Taurat, Nebiim, Khetubim) yang ditulis aslinya dalam bahasa
Ibrani banyak dijumpai beberapa nama yang ditujukan kepada Allah, yaitu yang
pertama adalah El/Elohim (םיהלא)/Eloah (hoaEl))
dan kemudian Yahweh (יהוה) dan Adonai (andoiA). El (El) biasa untuk menyebut nama diri (proper
name) maupun nama sebutan/gelar/jabatan
tetapi umumnya digunakan untuk menyebut
nama diri Allah yang Maha Tinggi, El Elyon (nEEyol l) dan kemudian untuk menyebut Allah Israel El Elohee Israel (El Elohee Israel). Nama El juga biasa digabung dengan nama lain seperti El
Shadday (El Shadday) atau Allah Maha Tinggi, El Olam (El Olam) atau Allah yang Kekal, El Bethel (El Bethel) Allah Bethel, El Roi (El Roi) Allah Maha Tahu, dan El Berith (El Berith) Allah Perjanjian.[18]
Elohim banyak terdapat dalam PL dengan
pengertian sama dengan El yaitu baik sebagai nama diri maupun generik tetapi
umumnya digunakan dalam bentuk jamak di samping tunggal. Nama Elohim menekankan Tuhan yang mutlak atas
ciptaan dan sejarah, dan juga biasa digunakan untuk menyebut Yahweh sebagai
Elohim Israel. Eloah adalah bentuk
tunggal yang sama dengan Elohim. Baik El, Elohim & Eloah[19] mempunyai
pengertian yang sama sekalipun ada juga perbedaannya dalam penggunaan tertentu.[20]
YHWH[21]
(biasa dibaca Yahweh) terdiri dari 4 huruf konsonan yang disebut tetragrammaton. Nama ini khusus untuk
menyebut nama diri Yahweh. Tetapi perlu diketahui bahwa nama ini baru dinyatakan
kepada Musa tetapi belum kepada Abraham, Ishak dan Yakub (Kel.6:1-2). Dalam
perkembangan naskah-naskah kuno terlihat bahwa agar nama ini tidak menjadi
monopoli Israel kemudian digunakan mundur menjadi Allahnya Abraham Ishak dan
Yakub (Kel.3:13-15), dan kemudian juga dijadikan Allah Umat Manusia di zaman
Enos (Kej.4:26, Enos artinya manusia), dan kemudian lebih jauh lagi untuk
menyebut ‘Allah pencipta langit dan bumi’ (Kej.2:4). Sekalipun kelihatannya nama
Yahweh disebut sebagai nama satu-satunya, kenyataannya dengan nama ‘El/Elohim/Adonai’ (terutama El) masih sering
dipertukarkan dan bahkan di kitab Yesaya, sesudah pembuangan nama El masih
dipakai sebagai nama diri Tuhan (Yes.40:18;43:10,12;45:14).[22]
Berbeda dengan anggapan bahwa nama Allah tidak boleh diterjemahkan,
kenyataannya, nama-nama itu diterjemahkan secara resmi. Ketika bahasa Ibrani
menjadi bahasa mati (tidak digunakan sebagai bahasa percakapan tetapi sebagai
bahasa tulisan kitab suci) pada zaman Ezra (abad IV/V sM.) bahasa Aram
menggantikan bahasa Ibrani, dan abad-abad berikutnya (abad IV sM.) kerajaan
Yunani menguasai sekitar Laut Tengah dan secara resmi atas permintaan Ptolomeus
Philadelphus di Iskandariah, pada abad III sM., Imam Besar Bait Allah Eliezer
di Yerusalem menyuruh 72 tua-tua Israel untuk menerjemahkan Tanakh ke bahasa
Yunani atas permintaan Ptolomeus Philadelphus dan terjemahan ini disebut
Septuaginta.[23]
Dalam Perjanjian Baru, Allah itu diberi nama Qeoj. Kata θεος -
THEOS pada mulanya digunakan oleh penyembah berhala, namun dalam Perjanjian
Baru Yunani digunakan sebagai nama, gelar, atau panggilan dari Allah yang
benar. Penyembah berhala menganggap "ilah-ilah" adalah pencipta dan
pengatur segala sesuatu. Orang-orang Yunani purba menggunakan kata ini baik
dalam bentuk tunggal maupun jamak. Jika mereka menggunakan bentuk jamak, hal
ini mengisyaratkan keyakinan mereka bahwa unsur-unsur ilah itu memiliki tugas
penciptaan dan pengaturan masing-masing, misalnya ilah uang yang disebut dengan
mamon.[24]
Septuaginta
senantiasa menerjemahkan kata Ibrani אלהים - ELOHIM dalam bentuk jamak dengan
bentuk tunggal θεος - THEOS dan bukan bentuk jamak θεοι - THEOI bila
merujuk kepada Allah yang benar. Alasan penerjemahan ini barangkali adalah pada
saat terjemahan Septuaginta dilakukan, penyembahan berhala Yunani mengatasi
segala-galanya terutama di Mesir. Ilah-ilah mereka dianggap sebagai roh-roh
jahat. Jika para penerjemah menggunakan kata Allah dalam bentuk jamak θεοι - THEOI,
maka kata Allah ini tidak konsisten dengan kesatuan hakekat ilahiNya. Dengan
menerjemahkan kata אלהים - ELOHIM menjadi θεος - THEOS
yang tunggal, untuk menanamkan ide keesaan Allah dan sekaligus tidak membantah
keesaan yang kompleks dalam hakekat Allah.[25]
Dalam
Perjanjian Baru, ada beberapa nama yang dialamatkan untuk menyebut Allah,
yaitu:[26]
1.
Theos (Qeoj)
Nama
Allah dalam Perjanjian Baru mempunyai bentuk yang setara dengan nama Allah
dalam Perjanjian Lama. Bagi nama El, Elohim dan Elyon, nama dalam bahasa Yunaninya
adalah Theos, yang merupakan nama paling umum dari Allah. Seperti juga
nama ‘Elohim’, nama ini juga mungkin saja merupakan penyesuaian dari nama ilah
bangsa kafir, walaupun sesungguhnya secara tegas nama itu menyatakan keilahian
yang esensial. ‘Elyon’ sering disejajarkan dengan Hupistos Theos (u.pistoj Qeoj) (Mark.5:7; Luk.1:32,35,75; Kis.7:48; 16:17;
Ibr.7:1). Nama Shaddai dan El-Shaddai disejajarkan dengan Pantokrator
dan Theos Pantokrator (2Kor.6:18; Why.1:8; 11:17; 15:3; 16:7,14). Akan
tetapi, pada umumnya Theos lebih sering muncul dalam genitif yang menyatakan
milik, seperti mou, sou, hemon, humon,
sebab di dalam Kristus, Allah dapat dianggap Allah dari segala umat-Nya atau
anak-anak-Nya. Ide nasional dari Perjanjian Baru telah memberi tempat bagi
orang-orang secara individual dalam agama.
2.
Kurios (Kurioj)
Nama
Yahweh dieksplisitkan beberapa kali oleh variasi-variasi dari bentuk deskriptif
seperti “Alfa dan Omega”, “yang dulu ada, yang sekarang ada dan yang tetap akan
ada”, “yang awal dan yang akhir”, “yang pertama dan yang terakhir.”
(Why.1:4,8,17; 2:8; 21:6; 22:13). Akan tetapi selebihnya Perjanjian Baru
mengikuti Septuaginta yang menggantikan Adonay dengan kata ini dan
menyetarakannya dengan Kurios, yang diturunkan dari kata kuros
yang berarti kuasa. Nama ini tidak mempunyai konotasi yang tepat sama dengan
Yahweh, tetapi menunjuk Allah sebagai Yang Mahakuasa, Tuhan, Pemilik, Penguasa
yang memiliki kekuasaan resmi dan juga otoritas. Kata ini tidak hanya dipakai
untuk menunjuk Allah, tetapi juga menunjuk Kristus.
3.
Pater (Pater)
Sering
dikatakan bahwa Perjanjian Baru menyebut Allah dengan sebutan baru, yaitu Pater
(Bapa). Hal ini hampir tidak benar. Nama “Bapa” dipakai untuk menunjukkan
Keilahian, bahkan juga oleh bangsa kafir dalam agama mereka. Kata itu dipakai
berulang-ulang dalam Perjanjian Lama untuk menunjuk hubungan antara Allah dan
Israel. (Ul.32:6; Mzm.103:13; Yes.63:16; 64:8; Yer.3:4,19; Mal.1:6; 2:10),
sedangkan Israel disebut anak Allah (Kel.4:22; Ul.14:1; 32:19; Yes.1:2;
Yer.31:20; Hos.1:10; 11:1).
Dalam contoh-contoh itu nama tersebut mengekspresikan
hubungan teokratis dimana Allah berdiri bagi Israel. Dalam pengertian yang asli
tentang pemulai dan pencipta, kata itu dipakai dalam Perjanjian Baru sebagai
berikut: 1Kor.8:6; Ef.3:15; Ibr.12:9; Yak.1:18. Dalam bagian-bagian lain kata
itu menunjukkan hubungan yang khusus dimana pribadi pertama dari Allah
Tritunggal berelasi dengan Kristus, sebagai Anak Allah, baik dalam pengertian metafisik atau
dalam pengertian sebagai pengantara atau hubungan etis dimana Allah berdiri
bagi orang percaya sebagai anak-anak rohani-Nya.
2.2. Latar Belakang Historis
2.2.1
Letak Geografis
Kota Roma
mencakup segala macam daerah, iklim, suku bangsa, bahasa, dan kebudayaan, tidak
saja dipersatukan oleh politik Romawi tetapi juga oleh kebudayaan Yunani.
Seperti dikatakan oleh D. Kuhl, “Dalam pengetahuan umum, kesenian,
kesusastraan, dan filsafat/logika kebudayaan Yunanilah yang menjadi alat
pemersatu. Sedangkan dalam ilmu hukum, bidang administrasi, dan kemiliteran peranan
Romawi yang berpengaruh.” Sesungguhnya hal ini menyatakan bahwa ada dua
kekuasaan yang tetap eksis, secara politik oleh Romawi dan kebudayaan oleh
Yunani. Keduanya secara berturut-turut menguasai dunia.[27]
Kebudayaan Yunani sangat tinggi sehingga mampu merembesi
seluruh daerah Mediterania bahkan ibu kota penguasa dunia pada saat itu,
Roma. Tentang dua kekuasaan ini J. I. Packer menyatakan: Kekuatan politik
Yunani telah berlalu, tetapi budaya dan suasana Yunani telah menjadi fondasi
bagi kebudayaan kekaisaran Romawi, sebagimana seorang penulis Romawi, Horatius,
mengamati bahwa “Orang Yunani yang tertawan telah menawan penawannya.”
Kesenian, literatur, dan gaya pemerintahan Yunani berkembang dengan subur
hampir sepanjang periode Romawi ini. Bahkan bahasa Yunani koine
tetap menjadi bahasa resmi dunia usaha di Timur Dekat, dan Perjanjian Baru
sendiri ditulis dalam bahasa ini.[28]
2.2.2
Penulisan Surat: Penulis dan Tahun Penulisan
a. Penulis
Pengarang surat ini adalah rasul Paulus,
yang memperkenalkan dirinya di awal surat (Roma 1:1)
dengan namanya "Paulus", identitasnya "hamba"/budak (doulos)
Yesus Kristus, tugas panggilannya "rasul"
atau apostolos dan tujuan pekerjaannya "dikuduskan untuk
memberitakan Injil Allah". Surat ini sendiri tidak ditulis tangan oleh
Paulus, melainkan menggunakan jasa seorang sekretaris bernama Tertius, yang menyatakan dirinya pada ayat Roma 16:22. Rasul Paulus disebut sebagai
penulis surat Roma terdapat dalam Roma 1:1. Ia adalah hamba Yesus
Kristus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil
Allah. Ia seorang Israel, keturunan Abraham, dari suku Banyamin (Rm. 11:1; lih.
Flp. 3:5). Menurut Kisah Para Rasul 22:3 (bnd. 21:39) Paulus
lahir di kota Tarsus di tanah Kilikia. Sejauh ini perdebatan tentang siapa
penulis surat Roma tidak menjadi persoalan. Walaupun para pakar teologi liberal
pernah berpendapat bahwa rasul Paulus tidak menulis surat Roma. Namun
perdebatan tersebut telah terselesaikan dan hampir semua menerima bahwa rasul
Paulus adalah penulis surat Roma.[29] Bukti dalam
surat ini sendiri sangat meyakinkan. Sejumlah peristiwa dan tokoh yang ditulis
di dalam surat ini juga diceritakan dalam kitab-kitab lain. Misalnya tentang
perjalanan Paulus ke Yerusalem untuk membawa persembahan dari Makedonia (Rm.
15:25-27 bnd. Kis. 19:21; 20:1-5; 21:15-19; 1 Kor. 16:1-5; 2 Kor. 8:1-12; dan
9:1-5), mengenai Priskila dan Akwila (Rm. 16:3 bnd. Kis. 18:2-3, 18-19),
tentang kerinduan Paulus untuk datang ke Roma (Rm. 1:10-15; 15:22-32 bnd. Kis.
19:21). Dukungan eksternal mengenai eksistensi surat ini juga sangat mendukung
kesimpulan di atas. Marcion (seorang bidat) muncul pada pertengahan abad kedua
yang berusaha mendirikan gereja baru.[30] Jacob van
Bruggen menyatakan, “Gereja Marcion memiliki ajaran sendiri, liturgi sendiri,
dan yang terpenting, memiliki kanon sendiri.”[31] Dalam kanonnya
gereja Marcion menerima seluruh surat-surat Paulus kecuali surat-surat kepada
Timotius dan Titus.[32] Suatu karya
dari tokoh lain yaitu dari Eusebius dalam bukunya Sejarah Gereja Kristen (Historia
Ecclesiastica) menyinggung tentang hal ini. Di sana dapat ditemukan semacam
daftar tulisan Perjanian Baru yang dikelompokkan menurut ciri khasnya
masing-masing. Surat-surat Paulus termasuk dalam kelompok homolougomena
yang diakui sebagai kanonik dan tidak ada masalah mengenai penulisnya.[33] Data-data
yang telah diuraikan di atas menjadi bukti yang kuat terhadap apa yang telah
dinyatakan dalam Roma 1:1, yaitu bahwa rasul Paulus adalah penulis surat ini,
dan sekaligus menyatakan nilai keotentikkannya yang tidak bisa diragukan.
b. Tempat dan Tahun Penulisan
Informasi dari Surat 1 Korintus, Surat 2 Korintus, Surat Roma ini dan Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa surat ini
ditulis di Korintus sekitar waktu Paulus mengumpulkan uang untuk membantu
jemaat di Yerusalem yang saat itu sangat miskin dan
membutuhkan dana dari berbagai jemaat di sekitar Laut Tengah. Ketika surat ini dibuat, Paulus
sudah selesai mengumpulkan dana dan sedang bersiap-siap untuk
membawakan dana kepada jemaat di Yerusalem. Diperkirakan bahwa Paulus menulis
surat ini ketika tinggal di rumah Gayus di Korintus. Nampaknya Paulus berniat naik kapal
langsung dari Korintus ke Yudea. Pada waktu itu juga, Febe,
seorang diaken perempuan yang melayani di Kengkrea, akan berangkat dari Korintus ke Roma
dan dialah pembawa surat Roma ini, sehingga Paulus meminta jemaat
di sana menyambutnya dengan baik.[34]
Semua pelayaran di Laut Tengah praktis
dihentikan setelah tanggal 11 November, karena cuaca
buruk selama musim dingin, dan baru dimulai lagi tanggal 10 Maret setiap tahunnya, sehingga surat Roma
rupanya ditulis sebelumnya, yaitu pada musim gugur tahun 57 M. Rencana Paulus
sendiri berubah karena ancaman orang Yahudi, sehingga Paulus tidak jadi naik
kapal dari Korintus, melainkan berjalan kaki ke Makedonia dan berlayar ke
Yerusalem dari Filipi pada musim semi tahun berikutnya (58 M). Paulus baru
sampai di Roma setelah ditangkap dan diadili di Yudea.[35]
2.2.3 Alamat
Penulisan
Surat Paulus ini sudah pasti ditujukan kepada jemaat di Roma.
Jemaat Roma pada saat itu sedang mendapat banyak tekanan baik dari orang Yahudi
maupun orang-orang Roma sendiri dan selain itu di dalam tubuh
jemaat Roma sendiri sedang terjadi konflik. Oleh karena itu Paulus mengirimkan
surat ini untuk menasihati jemaat di Roma, bagaimana seharusnya bersikap
terhadap keadaan mereka dan bagaimana sikap mereka kepada pemerintah. Paulus
menulis surat ini untuk menjelaskan pengertiannya tentang agama Kristen dan tuntutan-tuntutannya yang praktis
untuk kehidupan orang-orang Kristen. Sepanjang surat ini, Paulus menekankan
bahwa hukum Taurat tidak lagi mengikat sebagai hukum,
karena Taurat tersebut tidak lagi berlaku, kecuali
sebagai sejarah kudus yang menceritakan bagaimana umat bisa sampai pada keadaan
sekarang ini.[36]
2.2.4 Konteks
Historis Roma 13
Beberapa orang
menganggap bahwa surat Roma sebagai suatu ringkasan komprehensif dari seluruh
teologis Paulus, tetapi itu asumsi yang kurang tepat dan tak berfaedah. Surat
Roma lebih baik dipahami sebagai suatu uraian yang disusun secara lebih teratur
terhadap tema pokok yang dibahas Paulus dalam surat Galatia dan 1-2 Korintus
(terutama 1 Korintus).[37]
Pada masa pemerintahan Claudius, Roma menjadi
negara birokrasi, dipimpin oleh pelbagai komisi dan sekretariat. Claudius
memperluas hak kewarganegaraan Romawi kepada penduduk yang berkependudukan
tinggi di propinsi-propinsi. Claudius berusaha keras untuk mengembalikan
dominasi agama Romawi kuno dalam masyarakat seperti pada masa dulunya. Seutonius
mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Claudius, orang-orang Yahudi diusir
dari Roma karena beberapa kerusuhan yang terjadi “atas anjuran seorang yang
bernama Chrestus”. Namun, sebagai misi untuk mewujudkan pemerintahan yang
birokratis, maka Claudius memanggil orang-orang Yahudi yang dulu sempat pernah
diusir untuk datang kembali ke Roma, dan claudius juga memberokan hak
kewarganegaraan kepada penduduknya.[38]
Latar belakang Paulus memasukkan perikop ini ke dalam suratnya adalah karena orang-orang Yahudi suka memberontak sampai ke Palestina, terutama ke
Galilea. Selain daripada itu, ada golongan Zelot; mereka yakin bahwa tidak ada
raja bagi orang-orang Yahudi kecuali Allah; dan tidak ada upeti yang harus
dibayarkan kepada siapapun, kecuali kepada Allah. Mereka juga tidak puas dengan
perlawanan pasif. Mereka yakin bahwa Allah tidak akan menolong mereka kecuali
mereka memulai tindakan kekerasan untuk menolong diri mereka sendiri. Tujuan
mereka ialah untuk meniadakan pemerintahan sipil. Mereka tidak hanya melakukan
terror terhadap pemerintah Romawi, mereka juga menghancurkan rumah-rumah dan
membakar tanaman dan membunuh sesama Yahudi yang membayar upeti kepada
pemerintah romawi. Dalam hal ini, Paulus sangat tidak setuju karena
secara langsung berlawanan dengan sikap kristen. Namun setidak-tidaknya bagi
sebagian umat Yahudi, sikap itu dibenarkan. Mungkin Paulus menuliskan perikop
ini untuk memisahkan kekristenan dari pemberontakan Yudaisme dan untuk
menjelaskan bahwa kekristenan dan kewarganegaraan yang baik berjalan
bersama-sama.[39]
Tetapi yang lebih penting dari semua itu, pandangan Paulus tentang
pemerintah adalah bahwa kekaisaran Romawi sebagai sebuah alat ilahi yang
ditunjuk untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan. Jika kekaisaran itu
disingkirkan maka dunia akan terpecah-belah. Secara ideal, orang-orang
seharusnya diikatkan menjadi satu oleh kasih Kristen untuk bekerja dan Paulus
melihat perekat yang menyatukan mereka adalah pemerintah. Paulus melihat
pemerintah sebagai suatu alat ditangan Allah untuk menjaga dunia dari
kekacauan. Mereka yang mengurus pemerintahan adalah orang-orang yang memainkan
bagiannya dalam tugas yang besar itu.[40]
2.3 Pendapat Para Ahli tentang Roma
13 :1-7
2.3.1. Martin Luther[41]
Hubungan Gereja dan Negara menurut
Martin Luther
Dalam menjelaskan hubungan antara gereja dan Negara, Luther
menggunakan teori atau ajaran tentang “dua kerajaan” atau “dua pemerintahan”.
Luther menarik suatu perbedaan antara pemerintahan “spiritual” yang berasal
dari Allah yang diberlakukan melalui firman Allah dan tuntunan Roh Kudus, dan
pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pengeran-pangeran
dan hakim-hakim dengan mempergunakan pedang dan hukum Negara. Luther juga
menekankan perbedaan antara konsepsi manusia dan konsepsi Ilahi tentang “kebenaran”
atau “keadilan”, suatu tema yang merupakan karakteristik dari “teologi salib”.[42]
Luther mengatakan bahwa Allah memberi
kepada gereja kuasa untuk mengurusi kehidupan rohani dari umat yang sudah
berada dalam lingkungan kerajaan Allah, sedangkan kepada negara, Allah
memberikan kuasa mengurusi kehidupan duniawi untuk menertibkan orang-orang
jahat, sekaligus menolong gereja mengupayakan orang-orang yang belum Kristen
itu bisa masuk ke dalam naungan kerajaan Allah. Dengan alasan itu pula maka
Luther setuju bila orang Kristen duduk dalam pemerintahan. Ia menerima
pandangan Augustinus yang mengatakan bahwa pemerintahan Kristen harus
memerintah dengan akal, kasih dan kehendak baik. Pemerintah atau
pangeran-pangeran itu harus tetap melaksanakan tugas ilahi (Luther mengacu pada
Roma 13:1-7, I Petrus 2:13-14).[43]
Dalam menanggapi Roma 13, Luther melihat
bahwa percakapan tentang aspek eskatologis di dalam teks menunjuk kepada
pemakaian kata evxousi,a dalam ayat 1(2 kali), ayat 2 (1 kali),
dan ayat 3 (1 kali). Menurutnya kata itu bisa diterjemahkan ke dalam kuasa
malaikat. Implikasinya ditarik dari kepatuhan kepada otoritas politis dalam
kerangka kekuasaan ilahi yang terwujud di dalam diri para penguasa politis. Namun
banyak penafsir yang menolak pandangan itu, bahwa ide dalam Roma 13:1-7 tidak
menyangkut malaikat melainkan semata-mata soal nasehat umum tentang kesetiaan
kepada pemerintah.[44]
Kalimat “setiap
orang harus takluk kepada pemerintah yang ada di atasnya” menguatkan pandangan
Luther, bahwa kalimat itu menghunjuk kepada pemahaman bahwa hal “takluk kepada
pemerintah” adalah mutlak. Demikianlah kehendak Tuhan terhadap semua orang,
yang Kristen maupun yang bukan Kristen agar jemaat tidak condong kepada
kekacaubalauan dan menjadi anarkis.[45]
2.3.2. Irenaeus[46]
Dalam upaya melawan tafsiran Gnostik
yang memandang pemerintah sebagai wakil kekuasaan malaikat. Menurutnya, 1
Petrus 2:13-17 adalah tafsiran atas Roma 13, walaupun itu masih bisa
dipersoalkan. Bagaimanapun sudah ada jaminan bahwa tema politis ini ada di
dalam tradisi berdasarkan pemakaiannya pada daftar nasehat dalam 1 Petrus 2
itu. Tidak bisa diabaikan bahwa pemakaian kata
u,pacouein (= patuh), biasanya menunjukkan kepatuhan yang bebas,
sementara kata u`potasse,sqw (tunduk
atau patuh) yang dipergunakan Paulus dalam Roma 13:1 menekankan dengan lebih
kuat kenyataan bahwa perintah ilahi memerintah dunia yang didirikan oleh Allah
dan dengan demikian menghasilkan struktur super
and sub-ordination untuk menghindari kekacauan masyarakat. Memang kata ini
dapat juga dipergunakan untuk melawan kecenderungan emansipasi budak dan wanita
Kristen untuk kesetaraan. Bagi rasul Paulus, kepatuhan kepada Allah
didemonstrasikan di dalam bentuk duniawi dengan tidak meninggalkan keadaan
subordinasi, tetapi di dalam bentuk kerendahan hati sebagai tanda kehidupan
orang Kristen.[47]
2.3.3. Ernst Kaseman[48]
Käsemann mulai memperhatikan ajaran
Yahudi secara lebih bersungguh-sungguh dibandingkan dengan kebanyakan
rekan-rekan semasanya, dan menganggapnya sebagai bacaan yang sangat penting
tentang Paulus dan Dia bahkan terkenal karena menggambarkan apokaliptisisme
sebagai “induk teologi Kristen”. Tafsiran Käsemann tentang Surat Roma dari Paulus, yang pertama kali
diterbitkan pada 1973, menjadi sebuah karya standar untuk generasi itu.[49]
Dia menunjuk pada
tiadanya motivasi kristologis di dalam teks, lagi pula jika ini merupakan
kutipan (dari ucapan Yesus), maka Paulus cukup mengatakannya Dan mengulangi
kata apodidwnai, kata yang biasanya dipakai untuk
membayar pajak. Memang hubungan dan kesinambungan antara perikop di depan, Roma
12:1ff. dan Roma 13:8ff. tidak ada. Jadi apa yang ditampilkan dalam Roma 13:1-7
adalah bentuk kasih yang istimewa dan
khusus. Kata evxousi,a
tetagmenai (tetagmenai, berasal dari tassw,
artinya mengangkat dan menetapkan; lih. Roma 13:1) menunjuk pada
pejabat-pejabat tinggi Romawi. Ketika pejabat kekaisaran mengeluarkan
perintah-perintah, tugas yang diberikan Allah, sehingga menjadi diatage ilahi, (diatagh, = ketetapan, Roma 13:2). Artinya ini bukan sesuatu yang
abstrak. Hubungan masyarakat dengan ketentuan itu dilukiskan dengan kesetiaan,
kepatuhan dan dalam hubungannya dengan menguasai dan kewajiban. Kata kalos (ayat 4) bukan ungkapan yang
menyatakan kualitas moral melainkan menunjuk pada tindakan politis yang baik
untuk mengingatkan masyarakat akan tugasnya dan membayar pajak tanpa keberatan.
Bukti kuat dari paham demikian hanya akan muncul dari keyakinan bahwa teks ini
sifatnya hortatoris (mengingatkan,
peringatan dengan memberikan dukungan) dan bahwa tekanan bukan pada aspek teologis dan metafisis tetapi pada
nasehat agar masyarakat memahami dirinya sebagai bawahan dari mereka yang
mempunyai otoritas.[50]
2.3.4. Hasan Sutanto[51]
Sutanto mempergunakan kata “setiap jiwa” untuk “tiap-tiap
orang” dari terjemahan LAI, atau every
soul (King James Version) dan Pasa
Yuch dalam bahasa Yunani. Kata jiwa disini lebih menekankan
totalitas manusia yang harus tunduk kepada pemerintah. “Harus tunduk” dipahami
sebagai kesetiaan dan kemauan menuruti pemerintah yang kuasanya berasal dari
Allah. Kata “hamba Allah”, diakonoj, menunjukkan bahwa pemerintahan adalah suruhan Allah.[52]
Tidak
dapat disangkal bahwa “agama Kaisar” adalah agama yang ketika itu secara
politis didukung sangat luas. Namun demikian, pemikiran Paulus lebih banyak
dilatarbelakangi oleh Yudaisme dan secara lebih khusus oleh sinagoge diaspora.
Ungkapan-ungkapan yang menekankan kesetiaan kepada raja adalah tradisi yang
terdapat di sepanjang sejarah. Paulus di sini menghargai dan mengambilalih
tradisi-tradisi itu. Ungkapan Perjanjian Baru, Pasa Yuch, “semua jiwa”,
mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kuasa yang ada di
atasnya. Teks itu kemudian diubah menjadi teks pengakuan rasuli bagi semua
bangsa dan zaman, artinya, nasehat itu diubah menjadi proklamasi Taurat bagi
seluruh dunia dan rasul Paulus menjadi Musa baru yang membawa Taurat Perjanjian
Lama ke dalam universalitas, bahwa oleh kehendak Allah, dunia telah jatuh
menjadi menifestasi dan alat keteraturan yang dicipta Allah dan bahwa dalam hal
ini Pencipta mendemonstrasikan campur tangan-Nya.[53]
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1. Metode Historis Kritis
Dalam surat Roma ini, konteks permasalahan yang ada pada masa itu adalah
perselisihan antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Orang Yahudi menganggap bahwa mereka lebih kuat daripada orang-orang non-Yahudi terkait
kedudukannya di Roma. Pada dasarnya, seorang Kristen bukan Yahudi adalah orang
yang telah menjadi Kristen secara langsung dari kekafiran tanpa disunat
terlebih dahulu. Orang-orang bukan Yahudi kelihatannya diperkenankan menjadi
orang Kristen hanya setelah pertama-tema menjadi Yahudi. Pertikaian yang
terjadi dalam gereja Roma pada dasarnya terjadi karena orang Yahudi bersikeras
bahwa mereka harus disunat dan mereka selalu menindas orang-orang non-Yahudi
ini. Pada masa itu, pemerintah Roma juga menetapkan pajak yang tinggi kepada
seluruh rakyatnya padahal setengah dari rakyatnya adalah orang miskin. Dengan
melihat keadaan inilah maka Paulus menuliskan suratnya dengan memasukkan
himbauan-himbauan yang ditujukan kepada gereja yang dituntut supaya lebih bisa
menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga yang ada disekitarnya. Roma 13:1-7
dimulai dengan bagian mengenai pemerintahan yang sering disalahtafsirkan.[54] Supaya tidak adanya kesalahan dalam menafsir, maka
diperlukanlah adanya penafsiran dan kritik, seperti penafsiran Historis Kritis
ini.
3.1.1. Alasan Pemilihan Metode Historis
Kritis
Surat Roma
13 :1-7 tidak dituliskan kepada jemaat Kristen pada masa kini, tetapi
kepada jemaat Kristen mula-mula. Namun teks tersebut merupakan bagian dari
Alkitab yang diwariskan kepada jemaat Kristen pada masa kini sebagai Firman
Allah yang hidup. Dalam Roma 13, Paulus memfokuskan pembahasannya pada
ketegangan antara individu dan masyarakat secara umum dalam kaitan dengan
masalah ketaatan atau ketidaktaatan. Masalah yang timbul berkaitan dengan
tanggung jawab individu terhadap tatanan sosial, sepanjang tatanan sosial itu
diatur oleh hukum yang ditegakkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang
berwenang dalam pemerintahan. Dengan kata yang sederhana, sebenarnya Paulus
menasehati jemaat di kota Roma agar taat kepada pemerintah Roma pada waktu itu,
karena pemerintah Roma dengan program Pax Romana-nya yang hebat itu telah
berhasil mewujudkan suatu tata pemerintahan yang relatif adil dan tertib bagi
seluruh penduduknya. Pada tahun 63 s.M., kejatuhan Yudea ke pemerintahan
Romawi, seluruh kerajaan Yunani jatuh ke tangan kerajaan Romawi kecuali Mesir.
Meskipun terjadi peralihan kekuasaan, tetapi kebudayaan Yunani tetap terjaga
dan bahkan menjadi satu kesatuan kebudayaan di seluruh pemerintahan Romawi. Hal
tersebut ditandai dengan digunakannya bahasa Yunani Koine sebagai bahasa
persatuan.[55]
Metode penafsiran Historis Kritis akan menghantarkan penulis masuk ke
dalam kehidupan jemaat pada masa lampau dimana mereka telah menerima surat
tersebut. Penulis akan melihat dan mengerti dengan pesan yang diberikan oleh
Roma 13:1-7 kepada kehidupan jemaat terdahulu sehingga dapat menjawab
pergumulan iman di dalam konteks kehidupan masa tersebut.[56]
3.1.2. Dasar Metode Historis Kritis
Metode
historis kritis adalah salah usaha mendekati pengertian perjanjian lama, untuk
mendekati dunia Perjanjian Baru dari sistem-sistem, seperti pendekatan antropologi,
religio-historis, kesusastraan, sosiologi, arkeologi dan teologi. Apabila
Perjanjian Baru dipandang sebagai saksi Firman dan Tindakan Allah”, maka
sifat-sifat manusia yang ada di sekitar dunia Perjanjian Baru itu dapat
dipelajari kaidah dan tujuannya. Untuk para penafsir, kaidah itu harus
berpedoman supaya tetap sesuai dengan Alkitab. Kewibawaan Alkitab adalah yang
pokok untuk ukuran-ukuran mengerjakan ilmu tafsir.[57]
Hubungan penafsir di dalam
meneliti nats tidak cukup hanya dengan pengarang-pengarang kitabnya saja,
tetapi lebih dari itu, “hubungan kehidupan” dijumpai pada manusia sekarang,
pada manusia di sepanjang sejarah Alkitab, termasuk sifat-sifat umum yang
dibutuhkan atau yang dihayati sebagai ciptaan Allah.[58]
3.1.3. Manfaat Metode Historis Kritis
Tujuan metode
ini bukanlah untuk mengubah nats-nats yang ada, bukan pula hendak merombak,
sehingga menyusun suatu konstruksi yang baru, melainkan untuk mendakati
kedudukan nats dengan benar serta menerangkannya dengan baik, apa isi
pemberitaannya untuk gereja dan manusia yang ada di sepanjang zaman. Fungsi
metode ini adalah sebagai “alat” untuk membuka aspek-aspek yang kurang jelas di
sekitar nats, tetapi juga menguji pandangan-pandangan dalam sesuatu ajaran yang
menyangkut iman gereja, baik dalam pemberitaannya maupun dalam pengajarannya.[59]
Teks Roma 13 :1-7 telah mengalami sejarah panjang di dalam
penggunaannya, baik itu ketika diterjemahkan ke dalam bahasa setiap bangsa,
maupun ketika ditafsirkan oleh para penafsir kepada kehidupan di masanya,
sampai kepada peredaksian terakhir dan digunakan oleh setiap orang di seluruh
dunia. Teks ini berbicara tentang hubungan pemerintah dengan orang-orang yang
ada di sekitarnya. Paulus menyebutkan bahwa seluruh manusia harus tunduk kepada
Pemerintahan yang ada di atasnya karena semua pemerintahan itu berasal dari
Allah dan menjadi alat Allah di dunia ini untuk mengatur kehidupan manusia
sesuai dengan tatanan kemasyarakatan. Interpretasi Roma 13:1-7 telah diubah
dengan sejarah menginformasikan refleksi Kristen pada tanggung jawab politik.
Awalnya teks diterima sebagai nasehat mendesak komunitas Kristen untuk tidak
menolak upaya negara untuk memerintah, tanpa dukungan dari negara atau
kebijakannya. Namun, pada abad kelima, itu dibaca cukup berbeda.[60]
Dengan metode Historis Kritis, maka penulis dapat melihat setiap proses
yang telah terjadi di dalam teks tersebut. Metode Hermeneutis Historis Kritis
ini digunakan bukanlah dalam rangka mengubah teks, atau merombaknya dan
menyusun konstruksi yang baru, tetapi mendekati kedudukan teks ini yang benar
dan menjelaskannya. Dengan demikian metode ini dapat menguji ajaran yang
menyangkut iman gereja, baik dalam pemberitaan maupun pengajaran.[61]
3.1.4. Langkah-langkah Metode Historis
Kritis
Dr. A.A.
Sitompul dan Dr. Ulrich Beyer, kemudian menjelaskan prinsip-prinsip yang akan
digunakan oleh penulis dalam melakukan penafsiran dengan metode Historis
Kritis, antara lain:[62]
1.
Kritik Nats
Di dalam kitab
Novum Testamentum Graece, Nestle-Aland versi ke-26, teks Roma 13 :1-7
memiliki banyak komentar apparatus, yang berarti teks ini memerlukan pendekatan
nats, sehingga penulis dapat menentukan tulisan teks aslinya. Misalnya Papirus-papirus
yang ada di Dublin: Chester beatty dan Ann arbor, Mich kira-kira pada tahun 200
dan Papirus yang lainya menyarankan mengganti Pa/sa yuch. evxousi,aij
u`perecou,saij u`potasse,sqw menjadi Parais exou uperec upotassesqe. Dengan
demikian, akan banyak terjadi pertimbangan-pertimbangan dalam hal menentukan
saran-saran pergantian dari Apparatus tersebut.[63]
Teks Roma 13 :1-7 juga dituliskan dalam bahasa
Yunani, maka diperlukan pendekatan kepada teks asli, jika memungkinkan penulis
dapat menggunakan salinan-salinan tua, terjemahan-terjemahan yang lama dan
kutipan-kutipan teks tersebut yang digunakan oleh bapa gereja. Dengan demikian
penulis dapat lebih dekat kepada teks asli dari Roma 13 :1-7 yang kemudian
akan ditafsirkan ke dalam konteks terjemahan pada masa kini. Dengan kritik
nats, maka penulis akan menggabungkan atau mengumpulkan bukti-bukti, serta
membandingkan teks asli dengan manuskrip yang ada, sehingga dapat diketahui
kesalahan atau perubahan teks, serta alasannya mengapa terjadi perubahan
tersebut. Dengan demikian penulis dapat merekonstruksi sejarah teks terhadap
kemungkinan yang telah dimiliki tersebut.[64]
2.
Kritik
Bentuk
Tugas dalam analisis bentuk adalah menganalisis nats melalui bentuk
bahasa, susunan dari satuan nats, demikian pula bidang kehidupannya atau secara
harafiah disebut “sitz im Leben” (bagaimana teks itu dipahami oleh orang-orang
yang ada pada masa itu dan bagaimana teks itu diajarkan pada masanya). Bukan
tentang kapan nats itu dituliskan tapi bagaimana dan pada saat apa nats itu
diperdengarkan pertama kalinya. Surat Roma 13:1-7 bila dilihat dari sudut pandang yang murni sastra, dokumen
ini akan menyajikan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang telah
dibicarakan sejauh ini dalam semua surat Paulus, dimana isi suratnya selalu
mempunyai kaitan langsung dengan keadaan jemaat.
3.
Analisis Sejarah Peredaksian
Makna dasar yang harus kita pahami dalam meneliti sejarah peredaksian
adalah melihat proses penulisan dari tahap pertama sampai paa bentuk suatu
tulisan yang ada hingga saat ini. Selanjutnya dalam analisis sejarah
peredaksian adalah kemampuan dalam membedakan analisis ini dengan analisis
sastra. Di dalam menganalisis sejarah peredaksian kita melihat kemungkinan
perubahan dalam nats, sebab ada kemungkinan bentuk terakhir tradisi lisan
mendapat perubahan pada waktu memasuki tahap penyusunan karya redaktur atau
penulis-penulisnya. Kemudian kita harus melihat suatu nats terutama pada
sejumlah teks itu sendiri dalam bentuknya yang terakhir secara tertulis.
Analisis ini penting ketika membahas Roma 13:1-7 karena adanya sedikit
peralihan pembahasan di pasal sebelumnya dan perikop selanjutnya. Pada Roma 12:9-21,
Paulus masih membahas tentang “nasehat untuk hidup dalam kasih”. Tetapi pada
Roma 13:1-7, Paulus langsung membahas tentang “kepatuhan kepada pemerintah”.
Hal ini perlu dibahas dan hendak melihat bagaimana sebenarnya yang terjadi
ketika itu sehingga Paulus memasukkannya dalam perikop suratnya.
4.
Kritik Tradisi
Tugas metode sejarah tradisi ialah untuk meneliti suatu nats, teristimewa
isinya atau keadaan yang tersangkut dalam tradisi tersebut. Yang dimaksud
dengan sejarah tradisi ialah tradisi suatu nats, di mana penulisnya hidup dalam
suatu lapisan kerohanian dan dalam masyarakat yang khsusus, yang dapat
membentuk suatu pemikiran teologis yang tertentu atau suatu tema. Seperti dalam
surat Roma 13:1-7, penulis secara spesifik akan membahas tentang tradisi keagamaan,
sosial ekonomi dan tradisi politik karena hal ini lebih diperlukan dalam proses
penggalian teks ini. Misalnya dalam tradisi politik ini, penulis akan menggali
apa maksud dan tujuan Paulus dalam memasukkan perikop ini ke dalam suratnya.
5.
Tafsiran
Dalam bagian
ini, penulis akan menafsir surat Roma 13:1-7 dari bahasa aslinya dan dari
pendapat para ahli. Akan banyak pertimbangan-pertimbangan pada sesuatu kata,
pada suatu kalimat dalam satuannya, yang bergerak dari bentuk strukturnya serta
jenisnya. Harus diperhatikan hubungan kritik nats, tradisi dan bidang
kehidupannya supaya dapat mengerti maksud dan tujuan perikop itu dimasukkan
pada zamannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah kedudukan kalimat
dalam ayat tersebut yang akan menjelaskan keadaan dalam kalimat itu.
Selanjutnya adalah kedudukan kalimat yang ditentukan oleh kata kerjanya yang
akan menjelaskan sebuah kejadian dan suatu tindakan.[65]
6.
Thema-Thema Teologi
Setelah semua
analisis yang diuraikan di atas, maka penulis akan mengambil tema-tema teologi.
Di sini penulis akan menuliskan beberapa kesimpulan yang didapat dari
analisa-analisa sebelumnya. Kesimpulan itu nantinya akan menjadi tema teologis
tentang apa yang hendak disampaikan Paulus dalam suratnya, terkhusus Roma
13:1-7. Tema teologis itu nantinya akan mengantar pembaca untuk lebih bisa
memahami bagaimana sebenarnya takluk dan kepatuhan terhadap pemerintah serta
tidak adanya lagi kesalahan dalam penafsiran tentang perikop ini.
BAB IV
TAFSIRAN DAN TEOLOGI
4.4
Kritik Teks
4.1.1.
Kritik Apparatus[66]
1) Ayat 1: äPa/sa yuch. evxousi,aij
u`perecou,saij u`potasse,sqwåÅ ouv ga.r e;stin evxousi,a eiv mh. Ýu`po. qeou/( ai` de. ou=sai Þ u`po. Þ qeou/ tetagme,nai eivsi,nÅ
a. Ada
sebuah pergantian Pa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqw (Pa/sa
(pasa): kata benda
nominatif feminim tunggal, artinya tiap-tiap; yuch. (psukhê): kata benda nominatif feminim
tunggal, artinya jiwa; evxousi,aij (exousiais): kata benda datif feminim jamak, kata dasar εξουσια, yang artinya pemerintahan; u`perecou,saij (huperekhousais): kata kerja present partisif aktif datif
feminim jamak, kata dasar υπερεχw,
yang artinya untuk melebihi; u`potasse,sqw (hupotassesthô): kata kerja present
imperatif pasif, orang ke-3 tunggal, kata dasar υποτασσω, yang artinya harus tunduk, patuh) menjadi Pasaij exou uperec upotassesqe (Pasaij (pasais): kata
benda datif feminim jamak, artinya bagi
kamu sekalian; exou (exou): kata benda genetif maskulin
tunggal, artinya milik pemerintahan; u,perec (huperech): kata sifat penunjuk, akusatif neuter tunggal,
kata dasar u,perecw, artinya ini melebihi; u.potassesqe (hupotassesthe): kata kerja present indikatif pasif, orang ke-3 jamak, kata
dasar u.potassw, artinya kamu sekalian sedang tunduk) yang diusulkan oleh î46 D*
F G it; dan bapa-bapa gereja seperti Irlat Ambst tetapi kodeks א A B D2 Y 33 1739 1881 Û
lat sy co berusaha untuk mempertahankannya.
·
Penggantian kata Pasa menjadi Pasaij menyebabkan perbedaan makna yaitu dari tiap-tiap
menjadi bagi kamu semua. Perubahan arti kata ini akan sangat berpengaruh kepada
kata selanjutnya.
·
evxousi,aij menjadi exou juga akan memberikan perubahan
terhadap makna kata dengan tidak mengikutkan lagi kata yuch (jiwa) padahal Paulus ingin
menunjukkan bahwa takluk itu berasal
dari jiwa tiap-tiap orang.
·
u`perecou,saij menjadi u,perec akan memberikan
grammar dan pola kata yang lebih baik karena berusaha untuk menunjukkan bahwa ini melebihi.
·
u`potasse,sqw menjadi u.potassesqe memberikan pengaruh
besar dalam pemaknaan teks ini. Paulus pada dasarnya hendak menyampaikan bahwa
tiap-tiap orang itu harus takluk kepada pemerintah dari jiwanya, tetapi
apparatus menawarkan pola kata yang berbeda yaitu sedang takluk.
·
Apparatus
jadinya hanya melihat bahwa semua orang harus takluk kepada pemerintah tanpa
membicarakan tentang jiwa padahal
Paulus ingin menekankan bahwa semua orang harus takluk kepada pemerintah dari
jiwanya. Perubahannya adalah jika mengikuti
apparatus, ketaklukan semua orang itu bukan dari jiwa
(yuch).
·
Kata Pa/sa yuch. evxousi,aij
u`perecou,saij u`potasse,sqw tetap
dipertahankan karena kata ini merupakan penekanan maksud yang hendak disampaikan oleh Paulus.
Kodeks-kodeks yang lebih tua juga setuju apabila kata ini dipertahankan agar
maksud dan tujuan penulisan surat ini lebih mengena kepada orang-orang pada zamannya.
b. Kata u`po. (hupo): preposisi + genetif, artinya oleh disarankan diganti apo (apo): preposisi + genetif, artinya dari, pergi dari sebelah, oleh kodeks D*
F G 629 945 pc
·
Penggantian preposisi tersebut lebih memperbaiki makna kata dan
lebih menekankan bahwa setiap pemerintahan yang dimaksudkan Paulus berasal dari Allah (apo qeou) bukan oleh Allah (u`po qeou).
c. Aparatus mengusulkan bahwa diantara kata ou=sai u`po (ousai): kata kerja present partisif aktif
nominatif feminim jamak, artinya yang ada: u`po. (hupo): preposisi +
genetif, artinya oleh disisipkan kata exousiai (exousia): kata benda nominatif jamak feminim, kata
dasar εξουσια, sehingga menjadi pemerintahan-pemerintahan, seperti kodeks D2
Y 33 Û sy tetapi kodeks א A B D* F G 0285vid 6 81
1506 1739 1881 al lat co; dan
bapa-bapa gereja Irlat Or tetap pada teks.
·
Penyisipan kata exousiai (pemerintahan-pemerintahan) merujuk kepada
pemerintahan Allah. Dalam konteks teks ini, Paulus tidak ada menyinggung
kerajaan atau pemerintahan Allah. Dia (Paulus) hanya menyoroti pemerintahan
yang ada di dunia, bukan pemerintahan Allah. Hal ini akan membuat perbedaan
arti dan maksud Paulus serta dapat dilihat juga dari banyaknya kodeks yang tidak kata ini untuk
ditambahkan karena memang Paulus tidak memaksudkan pemerintahan Allah.
d.
Aparatus mengusulkan diantara kata u`po (hupo): preposisi + genetif, artinya oleh; qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin
tunggal, yang artinya Allah; disisipkan kata tou (tou): kata depan, seperti kodeks אc Y 33 Û dan bapa
gereja Ir tetapi kodeks א*
A B D F G P 0285vid 81 104 365 1506 1739 1881 dan bapa gereja Or
·
Penyisipan kata tou ini akan lebih memperbaiki struktur dan padanan kalimat
serta tidak mempengaruhi makna teks. Teks itu akan semakin lengkap grammarnya
dengan penambahan itu karena dalam
bahasa Indonesia, kasus Genitif dinyatakan oleh susunan kata bukan bentuk kata.
·
Dengan penambahan tou maka susunannya akan menjadi u`po tou qeou. Dengan tou ini,
maka kata ini akan semakin mempertegas bahwa pemerintahan itu berasal dari
Allah bukan dari manusia.
2) Ayat 3: oi` ga.r a;rcontej ouvk
eivsi.n fo,boj ätw/|
avgaqw/| e;rgwå|
avlla. ä. tw/| kakw| .å qe,leij de. mh. fobei/sqai th.n evxousi,an\ to.
avgaqo.n poi,ei( kai. e[xeij e;painon evx auvth/j
a. Kata tw/| avgaqw/| e;rgw (tw/| : kata depan datif; avgaqw : kata sifat normal datif neuter tunggal, kata dasar αγαθος, artinya baik; e;rgw: kata benda datif neuter tunggal, kata dasar εργoν, artinya perbuatan, pekerjaan, tindakan) diganti menjadi tw agaqoergw (tw: kata depan datif; agaqo: kata penunjuk atau pengganti
nominatif neuter tunggal, kata dasar αγαθος, artinya ini
baik; ergw: kata benda datif neuter tunggal, kata
dasar εργoν, artinya perbuatan,
pekerjaan, tindakan) oleh kodeks F*
·
Tidak ada sanggahan untuk mempertahankan kata ini. Tetapi apabila
pergantian ini disetujui maka akan ada terdapat perubahan maksud kalimat Paulus tersebut. Maksudnya adalah
nominatif yang dipasangkan dengan datif secara bersamaan. Kalimat itu tidak sedang menunjukkan
sebuah perbuatan baik tetapi hendak menganjurkan manusia untuk berbuat baik.
Maksudnya adalah tw/| avgaqw/| e;rgw (perbuatan baik) bukan tw agaqoergw (ini
sebuah perbuatan baik). Sebaiknya teks tetap dipertahankan yaitu tw/| avgaqw/| e;rgw,
untuk menjaga
kecocokan grammar yang ada dalam kalimat.
b. Usulan penggantian kata tw/| kakw (tw/|: kata depan datif; kakw: kata sifat
datif normal neuter tunggal, kata dasar κακoς, artinya bagi yang salah, jahat) menjadi twn kakwn (twn: kata depan genitif; kakwn: kata sifat genitif normal neuter
tunggal, kata dasar κακoς, artinya dari
yang salah) oleh kodeks D2 Y 33 Û tetapi kodeks î46
א
A B D* Fc G P 0285 6 630 1506 1739 1881 dan oleh bapa-bapa gereja Irlat
Cl mempertahankan kata ini.
·
Apabila kata ini diganti dengan kata yang diusulkan oleh apparatus, maka
perubahan makna kata akan terjadi. Awalnya tw/|
kakw (bagi yang
salah) menjadi
twn kakwn (dari yang salah). Dalam penggantian ini berarti ada yang salah, padahal yang dimaksudkan Paulus
adalah bagi orang-orang yang salah-lah
seharusnya takut kepada pemerintah bukan dari
orang-orang yang salah. Pergantian yang diberikan oleh apparatus tidak bisa
diterima karena akan mengganggu maksud Paulus dan kodeks-kodeks tua juga terus
mempertahankan kata ini.
3) Ayat 4: qeou/ ga.r dia,kono,j evstin 0soi. eivj 01to. avgaqo,nÅ eva.n de. to.
kako.n poih/|j( fobou/\ ouv ga.r eivkh/| th.n ma,cairan forei/\ qeou/ ga.r
dia,kono,j evstin äe;kdikoj
eivj ovrgh.n|å
tw/| to. kako.n pra,ssonti
a.
Apparatus mengusulkan untuk menghilangkan
kata soi. (kata ganti orang ke-3 tunggal, artinya dia) seperti kodeks F G boms
·
Penghilangan kata soi ini maka akan terjadi perubahan makna karena apabila
kata itu dihilangkan, avgaqo,n (kebaikan) para dia,kono,j
(hamba Allah, Pemerintah) tidak tahu
ditujukan kemana dan kepada siapa. Oleh karena itu, kata ini tidak bisa
dihilangkan dari kalimat. Karena pemerintah
adalah hamba Allah untuk kebaikan, kebaikan
di sini tidak tahu untuk kebaikan siapa atau ditujukan untuk apa dan kepada
siapa. Maksud Paulus adalah pemerintah itu ada dan sebagai hamba Allah untuk
kebaikan manusia (soi =
dia, mu, nya).
b.
Apparatus juga mengusulkan untuk menghilangkan
kata
to. (kata
depan akusatif neuter tunggal) seperti kodeks B dari kata avgaqo,n
·
Apabila kata to dihilangkan dari kalimat itu, maka
akan terjadi gangguan pada gramar kalimat tetapi perubahan itu tidak mengubah
makna asli dari kalimat. Hal ini akan mengurangi
penekanan terhadap kata avgaqo,n.
c.
Terjadinya pergantian posisi
kata e;kdikoj eivj ovrgh.n (e;kdikoj: kata sifat nominatif maskulin tunggal, artinya yang membalas kata sifat nominatif maskulin tunggal, artinya yang membalas; eivj: preposisi akusatif,
artinya kepada, untuk; ovrgh.n: kata benda
akusatif tunggal feminim, kata dasar οργη, artinya kemurkaan, hukuman Allah) menjadi eivj ovrgh.n e;kdikoj yang diusulkan oleh kodeks D* F G
tetapi dipertahankan oleh kodeks א*
D2 Yc 33 945 175 1241 pm î46 אc A B L P Y* 048 81 104 365 630 1505 1739 1881
dan oleh bapa-bapa gereja Irlat
·
Proses perpindahan tempat posisi kata ini tidak terlalu berpengaruh
terhadap arti dan makna kata tetapi mungkin akan lebih memperbaiki pola susunan
kata dalam kalimat. Preposisi eivj memang lebih baik berada didepan objek ovrgh.n
supaya lebih dapat menjelaskan
maksud Paulus bahwa Pemerintah ada untuk membalaskan kemurkaan Allah kepada
orang yang berbuat jahat. Jadi perpindahan ini bisa diterima untuk pemaknaan
kata yang lebih baik.
4) Ayat 5: dio. äavna,gkh u`pota,ssesqaiå( ouv mo,non dia. th.n
ovrgh.n avlla. kai. dia. th.n sunei,dhsin
a. Kodeks î46 D F G it dan bapa-bapa gereja Irlat
Ambst untuk mengganti kata avna,gkh u`pota,ssesqai (avna,gkh: kata benda
nominatif feminim tunggal, artinya keadaan
yang sukar, keperluan, keharusan; u`pota,ssesqai: kata kerja
present infinitif pasif, kata dasar υποτασσω, yang artinya kamu harus ditundukkan, dipatuhkan) menjadi upotassesqe (upotassesqe: kata kerja present indikatif infinitif pasif, kata dasar υποτασσω, yang artinya kamu sekalian sedang ditundukkan), tetapi kodeks א A B Y 048 33 1739 1881 Û(vg) sy co
mempertahankannya
·
Proses penggantian kata avna,gkh u`pota,ssesqai ke upotassesqe akan mempengaruhi arti kata secara keseluruhan. Apabila menggantinya, maka
penekanan terhadap hal kamu harus
ditundukkan karena sebuah keadaan
sukar menjadi tidak terasa karena saran kata yang menggantikannya adalah kamu sekalian sedang ditundukkan tanpa
sebuah alasan karena kata avna,gkh (sebuah
keadaan sukar) akan hilang. Pergantian ini akan merusak sistem gramar dan
pola kata karena menjadi tidak sesuai lagi dengan maksud Paulus ketika itu,
maka pergantian ini sebaiknya tidak perlu untuk dilakukan.
4.5
Analisa Teks
4.2.1 Terjemahan
1. Ayat 1: Pa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqwÅ
ouv ga.r e;stin evxousi,a eiv mh. u`po. qeou/( ai` de. ou=sai u`po. qeou/
tetagme,nai eivsi,nÅ
·
Pa/sa (pasa): kata sifat
nominatif feminim tunggal, artinya tiap-tiap
·
yuch. (psukhê): kata benda nominatif feminim
tunggal, artinya jiwa
·
evxousi,aij (exousiais): kata benda datif feminim
jamak, kata dasar εξουσια, yang artinya orang
yang berkuasa, pemerintahan
·
u`perecou,saij (huperekhousais): kata kerja present partisif aktif datif
feminim jamak, kata dasar υπερεχw, yang artinya untuk melebihi
·
u`potasse,sqw (hupotassesthô): kata kerja present
imperatif pasif, orang ke-3 tunggal, kata dasar υποτασσω, yang artinya harus tunduk, patuh
·
ouv ga.r e;stin (ou gar estin): kata keterangan (tidak), konjugasi (sebab), kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3 tunggal,
artinya ada
·
evxousi,a (exousia): kata benda nominatif feminim
tunggal, yang artinya orang yang
berkuasa, pemerintahan
·
eiv mh. u`po.. (ei me upo): konjungsi subordinasi (kecuali), preposisi genetif (dari)
·
qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin tunggal,
yang artinya Allah
·
ai` de. ou=sai (ai de ousai): definitif artikel
nominatif feminim jamak, konjugasi (tapi),
kata kerja present partisif aktif nominatif feminim jamak, artinya yang ada
·
u`po. (upo): preposisi genetif (dari)
·
tou qeou/
(theou): kata benda genitif maskulin
tunggal, yang artinya Allah
·
tetagme,nai (tetagmenai): kata kerja perfek partisif
pasif nominatif feminim jamak, kata dasar τασσω, yang artinya telah ditetapkan
·
eivsi,n (eisin): kata kerja present indikatif
aktif, orang ke-3 jamak, artinya adalah
Terjemahan: Tiap-tiap
jiwa harus tunduk, untuk tidak melebihi pemerintahan, sebab tidak ada
pemerintahan yang tidak dari Allah, dan pemerintahan yang ada telah ditetapkan
oleh Allah
2. Ayat 2: w[ste o` avntitasso,menoj th/|
evxousi,a| th/| tou/ qeou/ diatagh/| avnqe,sthken( oi` de. avnqesthko,tej
e`autoi/j kri,ma lh,myontaiÅ
·
w[ste (hoste): konjungsi subordinasi, artinya sebab itu
·
o` avntitasso,menoj (ho antitassomenos): kata kerja present
partisif nominatif maskulin tunggal, kata dasar αντιτασσομαι, artinya orang yang menentang, melawan
·
th/| evxousi,a| (te exousia): kata benda datif feminim
tunggal, artinya orang yang yang
berkuasa, pemerintahan
·
th/| tou/ qeou/ (tou Theou): kata benda genitif maskulin
tunggal, yang artinya dari Allah
·
diatagh/| (diatage): kata benda datif feminim
tunggal, artinya dekrit, surat
keputusan/ketetapan. titah, peraturan
·
avnqe,sthken (anthestêken): kata kerja perfek indikatif aktif, orang ke-3
tunggal, kata dasar ανθιστημι, artinya menentang,
melawan
·
oi` de. (oi de): konjungsi subordinasi (tapi)
·
avnqesthko,tej (anthestêkotes): kata kerja perfek
partisip aktif nominatif maskulin jamak, kata dasar ανθιστημι, artinya menentang, melawan
·
e`autoi/j (eautois): kata ganti refleksif datif
maskulin jamak, kata dasar εαυτου, artinya atas
diri mereka
·
kri,ma (krima): kata benda neuter akusatif tunggal, artinya pendapat, keputusan, hukuman
·
lh,myontai (lepsontai): kata kerja future
indikatif, orang ke-3 jamak, kata dasar lambanw,
artinya akan mengambil, menerima
Terjemahan: sebab itu orang yang melawan pemerintahan,
menentang ketetapan Allah dan orang yang menentang itu akan meneriman hukuman
atas diri mereka.
3. Ayat 3: oi` ga.r a;rcontej ouvk eivsi.n
fo,boj tw/| avgaqw/| e;rgw| avlla. tw/| kakw/|Å qe,leij de. mh. fobei/sqai th.n
evxousi,an\ to. avgaqo.n poi,ei( kai. e[xeij e;painon evx auvth/j\
·
oi` ga.r (hoi gar): konjungsi koordinasi (sebab, jika)
·
a;rcontej (arkhontes): kata benda nominative
maskulin jamak, kata dasar αρχwn, artinya penguasa-penguasa
·
ouvk (ouk): kata keterangan (tidak)
·
eivsi.n (eisin): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3
jamak, kata dasar ειmi, artinya mereka
adalah
·
fo,boj (phobos): kata benda nominatif maskulin
tunggal, artinya takut
·
tw/| avgaqw/| (to agatho): kata sifat normal datif
neuter tunggal tak menentu, kata dasar αγαθος, artinya baik
·
e;rgw| (ergo): kata benda datif neuter tunggal,
kata dasar εργoν, artinya perbuatan,
pekerjaan, tindakan
·
avlla. (alla): konjungsi koordinasi (tapi)
·
tw/| kakw/| (to kako): kata sifat datif normal
neuter tunggal, kata dasar κακoς, artinya bagi
yang salah, jahat
·
qe,leij (theleis): kata kerja present indikatif
aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar θελω, artinya hasrat, keinginan, hendak
·
de. mh. (de me): konjungsi (tapi, maka), partikel (tidak)
·
fobei/sqai (phobeisthai): kata kerja present infinitif, kata dasar
φοβεomai, artinya takut kepada
·
th.n evxousi,an (ten exousian): kata benda akusatif
feminim tunggal, kata dasar εξουσια, artinya yang berkuasa, pemerintah
·
to. avgaqo.n (to agathon): kata sifat akusatif neuter
tunggal, kata dasar αγαθος, artinya baik
·
poi,ei (poiei): kata kerja present indikatif
aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar ποιεω, artinya berbuatlah
·
kai. e[xeij (kai exeis): kata kerja future indikatif
aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar εξω, artinya dan engkau akan memperoleh
·
e;painon (epainon): kata benda akusatif tunggal maskulin, kata dasar
επαινος, artinya pujian
·
evx auvth/j (ex autes): preposisi genetif (dari), kata ganti personal genitif
feminim tunggal, kata dasar αυτος, artinya nya
Terjemahan: sebab jika mereka mengerjakan yang baik,
tidak perlu takut kepada pemerintah, takut itu bagi yang salah. Ada keinginan
tidak takut kepada pemerintah, berbuatlah yang baik dan engkau akan memperoleh
pujian darinya.
4. Ayat 4: qeou/ ga.r dia,kono,j evstin soi. eivj to. avgaqo,nÅ eva.n de. to. kako.n
poih/|j( fobou/\ ouv ga.r eivkh/| th.n ma,cairan forei/\ qeou/ ga.r dia,kono,j
evstin e;kdikoj eivj ovrgh.n tw/| to. kako.n pra,ssontiÅ
·
qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah
·
ga.r dia,kono,j (gar diakonos): konjungsi (karena), kata benda nominatif tunggal
maskulin, artinya pelayan, hamba
·
evstin soi. eivj (estin soi eis): kata kerja present
indikatif aktif, orang ke-3 jamak, kata dasar ειmi, artinya bukanlah, kata ganti orang datif tunggal
(kamu), preposisi akusatif (kepada, untuk)
·
to. avgaqo,n (to agathon): kata sifat akusatif neuter
tunggal, kata dasar αγαθος, artinya kebaikan
·
eva.n de. (aen de): konjungsi (jika,
ketika, tetapi)
·
to. kako.n (to kakon): kata sifat normal neuter
tunggal, kata dasar κακoς, artinya bagi
yang salah, jahat
·
poih/|j (poies): kata kerja present subjungtif
aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar ποιew, artinya engkau berbuat
·
fobou/ (phobou): kata kerja presnet imperatif
aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar φοβεomai, artinya takut kepada
·
ouv ga.r eivkh/| (ou gar eike): konjungsi (karena), kata keterangan (tanpa
tujuan)
·
th.n ma,cairan (ten makhairan): kata benda akusatif feminim tunggal, kata
dasar μαχαιρα, artinya pedang
·
forei/ (phorei): kata kerja present indikatif
aktif, orang ke-3 tunggal, kata dasar φορεw, artinya ia menyandang, memakai
·
qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah
·
ga.r dia,kono,j (gar diakonos): konjungsi (karena), kata benda nominatif tunggal maskulin, artinya pelayan, hamba
·
evstin e;kdikoj
(estin ekdikos): kata kerja present
indikatif aktif, orang ke-3 jamak, kata dasar ειmi, artinya ia adalah, kata sifat
nominatif maskulin tunggal, artinya yang
membalas
·
eivj ovrgh.n (eis orgen): preposisi akusatif (kepada, untuk), kata benda akusatif tunggal feminim, kata dasar
οργη, artinya kemurkaan, hukuman Allah
·
tw/| to. kako.n (to to kakon): kata sifat normal neuter
tunggal, kata dasar κακoς, artinya bagi
yang salah, jahat
·
pra,ssonti (prassonti): kata kerja present partisip
aktif datif feminim tunggal, kata dasar πρασσw, artinya berbuat, bertindak
Terjemahan: karena pemerintah adalah pelayan Allah untuk
kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah kepada dia yang
menyandang pedang karena ia adalah hamba Allah yang membalas kemurkaan Allah
atas orang yang berbuat jahat.
5. Ayat 5: dio. avna,gkh u`pota,ssesqai( ouv
mo,non dia. th.n ovrgh.n avlla. kai. dia. th.n sunei,dhsinÅ
·
dio. avna,gkh
(dio anagke): konjungsi(sebab itu), kata benda nominatif feminim
tunggal, artinya keadaan yang sukar,
keperluan, keharusan
·
u`pota,ssesqai (hupotassesthai): kata kerja present
infinitif pasif, kata dasar υποτασσω, yang artinya harus tunduk, patuh
·
ouv mo,non (ou monon): kata keterangan (tidak), kata keterangan (hanya)
·
dia. th.n ovrgh.n (dia ten orgen): preposisi akusatif (terus, karena), kata benda akusatif tunggal feminim, kata dasar
οργη, artinya kemurkaan, hukuman Allah
·
avlla. kai. dia. (alla kai dia): konjungsi koordinasi (tapi), konjugasi (dan), preposisi akusatif (terus,
karena)
·
th.n sunei,dhsin (ten suneidesin): kata benda akusatif
feminin tunggal, kata dasar συνειδησις, artinya kata hati, suara hati, hati nurani
Terjemahan: sebab itu perlu tunduk tidak hanya terus
karena kemurkaan Allah tetapi terus tunduk karena suara hati kita juga.
6. Ayat 6: dia. tou/to ga.r kai. fo,rouj
telei/te\ leitourgoi. ga.r qeou/ eivsin eivj auvto. tou/to proskarterou/ntejÅ
·
dia. tou/to (dia touto): preposisi akusatif (terus, karena), kata ganti akusatif
deminstratif neuter tunggal (itulah)
·
ga.r kai. fo,rouj (gar kai phorous): konjungsi (karena, maka), konjugasi (dan), kata benda akusatif maskulin
jamak, kata dasar φορος, artinya pajak-pajak
·
telei/te\ (teleite): kata kerja present indikatif
aktif, orang ke-2 jamak, kata dasar τελεw, artinya kalian menyelesaikan, membayar
·
leitourgoi. (leitourgoi): kata benda akusatif maskulin
jamak, kata dasar λειτουργος, artinya pelayan-pelayan
·
ga.r qeou/ (gar Theou): konjungsi (karena,
maka), kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah
·
eivsin eivj auvto. (eisin eis auto): kata kerja present
indikatif aktif, orang ke-3 jamak, kata dasar ειmi, artinya mereka adalah, preposisi
akusatif (kepada, untuk), kata ganti
orang akusatif neuter tunggal, kata dasar αυτος, artinya hal inilah
·
tou/to proskarterou/ntej
(touto proskarterountes): kata kerja
present partisip aktif nominatif maskulin jamak, kata dasar προσκαρτερw,
artinya bertekun, terus menekuni
Terjemahan: itulah sebabnya kamu membayar pajak karena
mereka yang bertekun untuk hal ini adalah pelayan-pelayan Allah.
7. Ayat 7: avpo,dote pa/sin ta.j ovfeila,j(
tw/| to.n fo,ron to.n fo,ron( tw/| to. te,loj to. te,loj( tw/| to.n fo,bon to.n
fo,bon( tw/| th.n timh.n th.n timh,nÅ
·
avpo,dote (apodote): kata kerja aorist imperatif
aktif, orang ke-2 jamak, kata dasar apodidwmi, artinya bayarlah, penuhilah
·
pa/sin (pasin): kata sifat indefinitif datif
maskulin jamak, kata dasar πασ, artinya kepada
semua orang
·
ta.j ovfeila,j (tas opheilas): kata benda akusatif
feminim jamak, kata dasar οφειλh, artinya apa
yang diwajibkan
·
tw/| to.n fo,ron (to ton phoron): konjungsi (kepada orang yang berhak), kata benda akusatif maskulin tunggal,
kata dasar φορος, artinya pajak
·
to.n fo,ron (ton phoron): kata benda akusatif
maskulin tunggal, kata dasar φορος, artinya pajak
·
tw/| to. te,loj (to to telos): konjungsi (kepada orang yang berhak), kata benda
akusatif neuter tunggal, kata dasar τελος, artinya cukai
·
to. te,loj (to telos): kata benda akusatif neuter
tunggal, kata dasar τελος, artinya cukai
·
tw/| to.n fo,bon (to ton phobon): konjungsi (kepada orang yang berhak), kata benda akusatif maskulin tunggal,
kata dasar φοβος, artinya rasa takut
·
to.n fo,bon (ton phobon): kata benda akusatif
maskulin tunggal, kata dasar φοβος, artinya rasa
takut
·
tw/| th.n timh.n (to ten timen): konjungsi (kepada orang yang berhak), kata benda
akusatif feminim tunggal, kata dasar τιμη, artinya hormat, kehormatan
·
th.n timh,n (ten timen): kata benda akusatif feminim
tunggal, kata dasar τιμη, artinya hormat,
kehormatan
Terjemahan: Bayarlah kepada semua orang apa yang harus
kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang
yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa
takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.
4.6
Bentuk
Paulus mengirimkan surat ini kepada gereja yang tidak
didirikannya dan yang tidak pernah dikunjunginya. Karena itu, tidak heran kalau
dokumen ini berbeda sifatnya dengan surat-surat Rasul yang lainnya. Ia tidak
dapat mengacu kepada kunjungannya kepada gereja itu ataupun peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi setelah keberangkatannya. Ia pun tidak membahas dalam
suratnya ini tentang urusan-urusannya dengan gereja itu. Oleh sebab itu,
pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa ia sampai menulis surat itu.
Sebuah alasan yang bisa diberikan adalah bahwa Paulus akhirnya bermaksud untuk
memenuhi kerinduannya yang telah lama tersimpan (bnd. 1:13) untuk mengunjungi
gereja itu (15:22). Namun yang menjadikannya aneh adalah Paulus hanya sambil
lalu saja berbicara mengenai rencananya itu dan tidak dapat dikatakan bahwa
rencana itu adalah tema suratnya. Pada kenyataannya, surat ini memberikan kesan
sebagai suatu risalat yang bercorak sastra seperti surat-surat Paulus yang lain
tetapi surat yang satu ini lebih cenderung kepada surat yang berbentuk amanat
dan nasehat-nasehat.[67]
Kalau demikian halnya, dari sudut pandang yang murni
sastra, dokumen ini akan menyajikan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa
yang telah dibicarakan sejauh ini dalam semua surat Paulus, dimana isi suratnya
selalu mempunyai kaitan langsung dengan keadaan jemaat. Kalau surat itu
merupakan risalat, maka pada prinsipnya harus dipertimbangkan keadaan itu hanya
sejauh hal itu berhubungan dengan keadaan umum jemaat-jemaat Paulus, seperti
yang dilihat oleh rasul itu pada masanya. Karena itu, masalah corak sastra
dokumen ini merupakan masalah pengantar yang sangat penting. Apabila salah
ditafsirkan, maka akan terjadi kesalahpahaman akan keseluruhan isi dokumen itu.[68]
4.7
Redaksi
Roma 13:1-7
datang di tengah-tengah bagian yang dimulai dengan pasal 12:1. Hal ini dimulai
dengan perintah, "Jangan menjadi serupa dengan dunia ini" (12:2).
Paulus menggunakan "dunia ini" sebagai generalisasi -dunia ini
termasuk orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir, pemerintah baik dan buruk-,
Paulus mengatakan kepada orang-orang Kristen di Roma bahwa mereka tidak bisa
begitu saja sesuai dengan setiap tradisi sosial atau tren yang terjadi pada
masa itu. Standar perilaku diatur oleh Tuhan, bukan oleh masyarakat.[69]
Paulus mengikuti kata hatinya untuk selalu menekankan kerendahan hati
(12:3). Paulus mengambil tema ini lagi dalam pasal 14-15, ketika ia membahas
bagaimana orang-orang Kristen yang berbeda keyakinan perlu bergaul satu dengan
yang lain. Ayat 4-8 menggambarkan karunia rohani untuk layanan bersama. Tema
saling membantu -hubungan di dalam kekristenan- mendominasi pasal 12:9-16. Dalam
kritik sastra, Roma 13:1-7 adalah dalam konteks hubungan dengan orang-orang
kafir. Ini membahas masalah yang spesifik dari hubungan Kristen dengan
pemerintah. Orang-orang Kristen mungkin ingin memberontak terhadap pemerintah,
sehingga Paulus memberitahu mereka untuk mematuhinya dan membayar pajak.[70]
Peralihan dari 12:21 ke 13:1 agaknya bersifat mendadak. Kenyataan itu
menyebabkan sebagian orang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara bahan
pasal 12:9-21 dengan pokok pembahasan 13:1-7 dan ada yang menyatakan bahwa
13:1-7 memutuskan hubungan yang memang terdapat antara 12:21 dan 13:8 dst. Oleh
karena itu, mereka memandang 13:1-7 sebagai nasehat tersendiri, yang disisipkan
sesudah 12:21, entah oleh Paulus sendiri atau oleh salah satu tokoh sesudahnya.
Namun teori ini pun menimbulkan persoalan. Tetapi bila diperhatikan kosakata
pasal12-13, dapat ditemukan titik kesamaan. Yang pertama, munculnya pasangan
kata “baik-jahat” dalam 12:21 dan dalam 13:3, dan adanya kata kerja
“harus/berhutang” (teks Yunaninya sama) yang mengaitkan 13:1-7 dengan bagian
sebelumnya dan sesudahnya. Demikian juga pasangan kata “pembalasan-murka” dalam
12:19 dan 13:4, dan mungkin juga “semua orang” dalam 12:7 dan 13:7.[71]
Yang kedua, munculnya pasangan kata “baik-jahat” itu menunjukkan pokok
bersama 12:9-21 dan seluruh pasal 13, yaitu: keharusan berbuat baik. Bagian
pertama, yaitu 12:9-13, mengandung nasihat berkenaan dengan kebaikan terhadap
sesama anggota jemaat, 12:14-21 mengenai kebaikan dalam hubungan dengan
orang-orang luar, khususnya musuh-musuh. Lalu 13:1-7 menyangkut sikap terhadap
pemerintah dan peranan para penguasa melindungi orang yang berbuat baik dan
menghukum mereka yang berbuat jahat.[72]
4.8
Kritik Tradisi
4.8.1.1
Tradisi Keagamaan
Bangsa Romawi merupakan bangsa yang sangat toleran kepada
kepercayaan-kepercayaan lain yang memang majemuk atau beragam pada saat sekitar
tahun 46-56 sM pada masa kekaisaran Julius Caesar. Kondisi itu tidak jauh
berbeda dengan Indonesia pada saat ini, di mana di dalam satu negara ada
berbagai agama yang diakui dan dilaksanakan sekaligus oleh penganutnya.
Demikian kondisi yang dimiliki oleh kekaisaran Romawi yang besar tersebut.
Bangsa Romawi bukanlah bangsa yang tidak memiliki agama. Kepercayaan mereka
bersifat animistis, yakni menyembah roh-roh dari hutan, sungai, gunung, dan
alam. Kendati memiliki kepercayaan sendiri kekaisaran Romawi memiliki ideologi
atau gagasan atau pemikiran yang membuat mereka bisa hidup berdampingan dengan
agama lainnya. Pemikiran ini yang juga akan mempengaruhi cara mereka memerintah
nantinya.[73]
Toleransi mereka bukanlah sekedar
menghargai pandangan-pandangan agama yang ada. Kekaisaran Romawi cenderung
tidak bersikap bermusuhan dengan agama-agama di sekitarnya, namun orang Romawi
justru cenderung bercampur baur dengan mudah terhadap agama-agama yang beragam
itu. Kondisi itu disebabkan oleh ketertarikan orang Romawi terhadap agama-agama
yang ditemuinya di sekitar perbatasan kekaisaran. Ketertarikan tersebut
akhirnya membawa bangsa Romawi “mengadopsi” dewa-dewi dari berbagai agama tersebut
ke dalam kepercayaan mereka. Selain Juno, Mars, dan Minerva, dewa-dewi seperti
Zeus dan Hera yang merupakan dewa-dewi Yunani juga termasuk di dalam koleksi
ilah-ilah mereka. Dewa-dewi seperti Baal, Isis, Osiris, Mitras, dan masih
banyak dari budaya lainnya amat mudah untuk “digabungkan” ke dalam kepercayaan
Romawi dasar yang animistis tersebut. Bisa dikatakan agama mereka memang sangat
campur-aduk hingga tidak jelas bentuk bakunya. Kira-kira sama seperti
Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) masa kini yang meletakkan Yesus,
Buddha, dan dewa-dewi lainnya dalam tataran yang sama sebagai koleksi
allah-allah mereka.[74]
Tidak berhenti di situ, tidak hanya
dewa-dewi yang tidak kelihatan yang mereka jadikan ilah, namun Kaisar itu
sendiri merupakan objek penyembahan mereka. Pada mulanya Kaisar tersebut
bertindak sebagai imam terbesar (pontifex maximus) yang memberikan
korban bagi dewa-dewa di langit. Secara perlahan-lahan, ternyata korban yang
layak untuk diberikan kepada dewa-dewi mulai diberikan kepada kaisar itu sendiri.
Patut dicatat bahwa kebudayaan untuk menyembah kaisar adalah kebiasaan yang
sangat umum dalam kebudayaan di sekitar Romawi. Keadaan ini pun juga merupakan
produk sinkretis pencampuran kepercayaan, percampuran keagamaan mereka.
Sebenarnya adalah lazim bagi orang Romawi untuk mengangkat kaisar-kaisar mereka
terdahulu yang sudah meninggal menjadi allah. Namun pada zaman Greco-Roman
tersebut Kaisar yang masih hidup pun diberikan korban seperti kepada ilah. Para
kaisar ini disembah bagaikan Allah karena pada masa itu bangsa Romawi memiliki
keyakinan bahwa keselamatan bisa didapatkan dengan mematuhi dan takluk kepada
pemerintah (dalam hal ini adalah Kaisar). Inilah yang disebut Kultus Imperium[75], atau pemujaan
terhadap Kaisar.[76] Masyarakat pun menjadikan Kaisar sama dengan Sang Ilahi.
Salah satu Kaisar yang dianggap sebagai Sang Ilahi adalah Kaisar Agustus.[77]
Kondisi Kultus Imperium inilah yang
mempersulit kehidupan umat Yahudi yang hanya mau menyembah satu Allah saja
(tentu saja karena orang Yahudi hendak taat pada Taurat). Bayangkan, dewa-dewi
yang begitu rupa dan banyaknya itu saja sudah merupakan ancaman bagi
orang-orang Yahudi, ditambah dengan kewajiban untuk menyembah Kaisar. Koin mata
uang Romawi seringkali memiliki potret Kaisar dengan gelar-gelarnya seperti divi
filius (anak dari yang ilahi), dan pontifex maximus (imam
terbesar), sementara di balik koin itu dipajang potret seorang ilah lain.
Keadaan tersebut menunjukkan ideologi dan kepercayaan pada saat itu bahwa
pemerintahan Kaisar didasari oleh pemerintahan dari para dewa. Ia memerintah
dengan hak yang ilahi, dan keberhasilannya merupakan pertanda kemurahan yang
ilahi.[78]
4.8.1.2
Tradisi Sosial-Ekonomi
Pada zaman Perjanjian Baru dunia Timur Tengah kuno dan
sekitar Laut Tengah, yaitu dunia Romawi-Yunani merupakan dunia kekaisaran
Romawi. Kebudayaannya adalah kebudayaan Yunani-Romawi; pemerintahannya adalah
pemerintahan Romawi dengan sistem pemerintahan yang bercorak tersendiri.
Masyarakat Romawi-Yunani mengenal perbedaan kelas secara tajam, meskipun mereka
semua berhak menjadi warga negara Romawi. Kelas yang terendah adalah kelas para
hamba, yang jumlahnya jauh lebih besar daripada kelas-kelas lain. Di kota-kota
tertentu terdapat kelompok-kelompok penduduk Yahudi, yang juga mendapat hak
untuk menjalankan agama serta kewajiban Yahudinya. Mereka adalah orang-orang
Yahudi perantau (Yahudi diaspora).[79]
Orang-orang
kaya dan berpengaruh sering kali tinggal di rumah-rumah yang seperti istana di
perbukitan; rumah-rumah mereka dipelihara oleh sekelompok besar hamba dan budak,
adakalanya berjumlah ratusan. Di daerah lembah di bawah, rakyat jelata
tinggal berdesak-desakan dalam insulae yang sangat besar, semacam
apartemen yang memiliki beberapa tingkat, dengan batas ketinggian 21m menurut ketetapan Agustus. Blok-blok perumahan ini
dipisahkan oleh jalan sempit yang berkelok-kelok dan kotor, penuh dengan
lalu-lintas dan kebobrokan yang umum di kota-kota besar. Di kawasan-kawasan
miskin inilah kebakaran bersejarah tahun 64 M mengakibatkan penderitaan
dan korban jiwa terbesar.[80]
Hanya segelintir orang
di Roma yang dapat disebut golongan menengah; orang-orang kaya hanyalah
minoritas kecil. Sewaktu Paulus pertama kali tiba di Roma, mungkin setengah
penduduknya adalah budak, yang dibawa ke sana sebagai tawanan perang, penjahat,
atau anak-anak yang dijual orang tuanya, budak-budak yang tidak memiliki
hak-hak hukum. Di antara setengah penduduknya yang merdeka, sebagian besar
adalah orang melarat yang boleh dikatakan hidup dari subsidi pemerintah. Negara
menyediakan dua hal, makanan dan hiburan, untuk menjaga agar orang-orang miskin
tidak membuat huru-hara, sehingga timbul ungkapan bernada satire, panem et
circenses (roti dan sirkus), yang menyiratkan bahwa hanya kedua hal inilah
yang dibutuhkan untuk memuaskan orang miskin di Roma. Sejak tahun 58 sM,
gandum pada umumnya dibagikan secara gratis, demikian juga dengan air, yang
dialirkan ke dalam kota melalui akuaduk yang panjangnya berkilo-kilo meter.
Anggur merupakan komoditas yang murah.[81]
Sesuai dengan Roma
13:1-7, semua jiwa (orang) diharuskan takluk kepada pemerintah dan membayar
semua kewajiban-kewajiban sebagai masyarakat seperti pajak. Dengan keadaan
rakyat yang hanya sebagian kecil orang kaya maka untuk memenuhi tuntutan pajak
yang ditetapkan kaisar sangatlah sulit. Untuk melakukan pembayaran pajak ini,
dibutuhkan sebuah kerendahan hati dari seluruh warga negara Roma dan harus
mendengar kata hati bahwa seluruh ketetapan yang ada itu berasal dari Allah.[82]
4.8.1.3
Tradisi Politik
Selama berabad-abad, Roma bereksperimen
dengan banyak jenis pemerintahan politik. Beberapa lembaga diadaptasi dari
bangsa lain; ada juga yang mereka ciptakan sendiri. Dalam Pocket History of
the World, H. G. Wells menyatakan, ”Kuasa Roma yang baru ini, yang
bangkit untuk mendominasi dunia Barat pada abad kedua dan pertama SM, dalam
beberapa hal berbeda dari imperium besar mana pun yang hingga saat itu berjaya
di dunia beradab.” (1943, hlm. 149) Wajah politik Roma terus berubah seraya
berbagai gaya pemerintahan muncul silih berganti. Gaya-gaya ini mencakup
koalisi kepala-kepala suku patriarkat, kerajaan, pemerintahan yang terpusat di
tangan segelintir keluarga bangsawan, kediktatoran, dan berbagai bentuk
pemerintah republik yang kekuasaannya secara bervariasi ada di tangan para
senator, konsul, dan triumvirat (koalisi pemerintahan tiga orang), yang
diwarnai pertikaian partai yang khas antara golongan dan faksi. Pada
tahun-tahun belakangan, imperium itu dikuasai serangkaian kaisar. Sebagaimana
pemerintahan manusia pada umumnya, sejarah politik Roma diwarnai oleh
kebencian, kecemburuan, dan pembunuhan, disertai banyak adu intrik yang muncul
dari pertikaian dalam negeri dan peperangan luar negeri. Roma menguasai dunia
secara bertahap. Mula-mula, pengaruhnya menyebar ke seluruh
Semenanjung Italia, akhirnya ke daerah di sekitar Laut Tengah dan bahkan
lebih jauh lagi. Nama kota itu praktis bersinonim dengan nama imperium
tersebut.[83]
Dalam urusan
internasional, Roma mencapai puncak kejayaannya di bawah para Kaisar. Urutan
pertama dalam daftar para kaisar ini adalah Julius Caesar, yang dilantik
menjadi diktator selama sepuluh tahun pada tahun 46 SM, tetapi dibunuh
oleh suatu komplotan pada tahun 44 SM. Setelah suatu selang waktu manakala
suatu triumvirat saling berebut kekuasaan di antara mereka, Oktavianus akhirnya
menjadi penguasa tunggal Imperium Romawi (31 SM–14 M). Pada tahun
27 SM, ia berhasil menjadi kaisar, dan diproklamasikan sebagai ”Agustus”.
Pada masa pemerintahan Agustus inilah Yesus lahir pada tahun 2 SM. (Luk 2:1-7)
Penerus Agustus, Tiberius (14-37 M), memerintah semasa pelayanan Yesus. (Luk 3:1, 2, 21-23)
Berikutnya adalah Gayus (Kaligula) (37-41 M) dan Klaudius (41-54 M)
yang mengeluarkan dekret untuk mengusir orang Yahudi dari Roma. (Kis
18:1, 2) Setelah itu Nero memerintah (54-68 M), dan kepada
dialah Paulus naik banding. (bnd. Kis 25:11,
12, 21).[84]
Para kaisar Romawi
secara berurutan setelah Nero (sepanjang abad pertama) adalah Galba
(68-69 M); Oto dan Vitelius (69 M); Vespasianus (69-79 M), pada
masa pemerintahannya Yerusalem dihancurkan; Titus (79-81 M), yang
sebelumnya memimpin penyerangan ke Yerusalem dan berhasil; Domitianus
(81-96 M), konon, selama pemerintahannya Yohanes dibuang ke Patmos sebagai
hukuman; Nerva (96-98 M); dan Trayanus (98-117 M). Di bawah
pemerintahan Trayanuslah imperium itu mencapai batas terluasnya, yang pada
waktu itu membentang jauh ke segala penjuru sampai Sungai Rhine dan Laut Utara,
Sungai Donau, Sungai Efrat, riam-riam Sungai Nil, Gurun Afrika yang luas,
dan Samudra Atlantik di sebelah barat. Kaisar selama tahun-tahun kemerosotan
Imperium Romawi ialah Konstantin Agung (306-337 M). Setelah merebut
kekuasaan, ia memindahkan ibu kota ke Bizantium (Konstantinopel). Pada abad
berikutnya, persisnya pada tahun 476 M, Roma jatuh, dan panglima perang
Jerman, Odoaker, menjadi raja ”barbar”nya yang pertama.[85]
Melihat dari bentuk dan
susunan pemerintahan dan cara-cara pemerintahnya memimpin Romawi, dapat
disebutkan bahwa mereka tidaklah pelayan atau hamba Allah. Hal ini dapat
dilihat dari gaya pemerintahannya yaitu mencakup koalisi kepala-kepala suku
patriarkat, kerajaan, pemerintahan yang terpusat di tangan segelintir keluarga
bangsawan, kediktatoran. Dengan cara seperti ini, yang berkuasa
itu tentunya tidak menjalankan mandat sesuai dengan kehendak Allah dalam
memimpin umatnya. Pemerintah yang disorot dalam Roma 13:1-7 itu adalah
pemerintah yang menjalankan roda kepemimpinan sesuai dengan keinginan Tuhan.
Seperti kasus yang terjadi pada masa kaisar Nero adalah salah satu contoh
kaisar yang tidak menjalankan pekerjaannya sebagai hamba Allah.[86]
4.9
Tafsiran Ayat per ayat
- Ayat 1a : "Tiap-tiap jiwa harus tunduk,
untuk tidak melebihi pemerintahan",
'Tiap-tiap
orang', Yunani "πασα ψυχη - pasa psukhe", 'setiap jiwa',
bandingkan Ibrani "KOL-NEFESY" (bandingkan Kejadian 9:10, dan
Roma 2:9). εξουσια -
exousia = terjemahan istilah Latin "potestas", 'kekuasaan',
'penguasa'; jamak 'para penguasa'. υπερεχοντες –
huperekhontes, yang oleh bahasa Indonesia sehari-hari (BIS)
digabungkan dengan exousiais menjadi pemerintah, berarti: yang melebihi,
yang berada di atas, atasan.[87]
Dengan memakai kata-kata tiap-tiap jiwa Paulus beralih dari pemakaian orang
kedua (12:9-21) ke orang ketiga (13:1-3). Peralihan ini menandakan awal nasihat
yang baru, yaitu mengenai pemerintahan duniawi dan mengenai sikap orang Kristen
terhadapnya. Sebagaimana telah dikatakan di atas, nasehat baru ini dapat dianggap menyambung nasehat 12: 14-21 mengenai sikap orang
Kristen terhadap orang di luar jemaat.[88]
Seluruh isi ayat 1-7 tercantum dalam kata-kata pertama: "Tiap-tiap jiwa harus tunduk, tidak melebihi pemerintahan". Kalau dikatakan tiap tiap jiwa, artinya bahwa demikianlah kehendak
Tuhan terhadap semua orang, baik yang Kristen maupun yang bukan Kristen. Namun.
dalam hubungan surat ini Paulus tentu menyapa orang Kristen. Janganlah mereka
beranggapan bahwa kedudukan mereka sebagai orang Kristen membebaskan mereka
dari kewajiban mereka terhadap negara. "Setiap orang": harfiah
: setiap jiwa. Ungkapan itu tidak merupakan bahasa Yunani tetapi berasal
dari istilah bahasa Ibrani, artinya dari Perjanjian
Lama. Pemakaian ungkapan dari Perjanjian Lama itu meningkatkan sifat khidmat nasihat
Paulus, sehingga nasihat itu menuntut perhatian lebih besar lagi.[89]
Dalam terjemahan LAI disebut pemerintah
dalam bahasa asli memakai bentuk jamak. Jadi, dapat memakai terjemahan penguasa-penguasa. Dengan demikian nasihat ini menjadi lebih konkret.
Pemerintah merupakan tempat yang jauh, pengertian abstrak, Presiden dan menteri
yang wajahnya dilihat dalam koran atau majalah, tapi yang tidak pernah
dijumpai. Tetapi penguasa adalah jajaran orang yang berwenang, para pejabat
sipil, petugas kepolisian, komandan-komandan distrik militer. Tiap orang harus
berurusan dengan mereka, Tentang mereka dikatakan bahwa mereka berada di atas.
Karena itu harus takluk kepada mereka.[90]
Menurut beberapa ahli: penguasa-penguasa di sini mempunyai arti
ganda. Sebab di belakang insan-insan penguasa
bersembunyi kuasa-kuasa, yaitu malaikat-malaikat. Mereka inilah yang memerintah
dunia, dan para penguasa duniawi hanya alat di tangan mereka. Karena itu orang
Kristen harus lebih taat lagi kepada penguasa duniawi. Dalam hubungan dengan
teori ini dapat dicatat, bahwa dalam Perjanjian
Baru istilah εξουσια - exousia memang dipakai sebagai
sebutan malaikat-malaikat (misalnya 1 Korintus 15:24; Efesus 1:21; 3:10; 6: 12;
Kolose 1:16 dan 2: 10, 15). Tetapi tidak pernah orang Kristen disuruh takluk
kepada kuasa-kuasa itu; sebaliknya, kuasa-kuasa itu ditaklukkan oleh Kristus (1
Korintus 15:24; Kolose 2:15). Maka di sini dan dalam 1 Korintus 2:8 serta Titus
3:1 yang dimaksud ialah insan-insan penguasa semata-mata.[91]
Nasihat Paulus ini menyangkut bidang kehidupan yang penting, yaitu bidang
politis. Karena itu, perkataan takluk
itu layak dibicarakan tersendiri. Kata kerja Yunani
: υποτασσω – hupotassô sering muncul dalam PB. Arti harfiahnya: 'menempatkan diri di
bawah'. Yang diungkapkannya ialah sikap yang seharusnya diambil seorang
Kristen terhadap Allah (Yakobus 4:7) dan hukum Allah (Roma 8:7), terhadap
Kristus (Efesus 5:24), tetapi juga terhadap para pelayan gereja (1 Korintus
16:16). Menurut Efesus 5:22, seorang istri Kristen harus takluk kepada
suaminya, dan menurut 1 Petrus 2:18 seorang budak Kristen kepada tuannya.
Tetapi Efesus 5:21 menyatakan bahwa anggota jemaat harus takluk (LAI:
merendahkan diri) yang seorang kepada yang lain. Kata takluk yang dimaksudkan dalam teks ini bukan seperti defenisi
takluk yang biasa diartikan yaitu taat dan patuh terhadap atasannya walaupun
atasannya itu melakukan kesalahan tetapi bagaimana seorang warga negara (baik
orang kaya-miskin, jenderal, polisi, pegawai negeri, pejabat pemerintahan) bisa
menempatkan dirinya berada di bawah sesama manusia yang mempunyai jabatan yang
lebih tinggi darinya. Maksudnya adalah bagaimana manusia itu bisa menerima
keberadaan orang lain dan menyadari bahwa kedudukan seseorang itu lebih tinggi
darinya. Ke-takluk-an yang
dimaksudkan Paulus seharusnya memang dilakukan oleh setiap jiwa karena mereka
(pemerintah) ada untuk kebaikanmu. Setiap kewajiban dan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah hendaknya ditaati oleh setiap jiwa.[92]
Nats terakhir itu seharusnya membuat sadar tentang apa sebenarnya sifat
ketaklukan yang dianjurkan kepada kita orang Kristen. Menurut pola dunia ini,
orang takluk kepada penguasa atau kepada orang lain sebab takut, atau karena
mengharapkan sesuatu. Tentu seorang penguasa tidak akan menganggap dirinya takluk kepada
kaum bawahannya. Tetapi menurut kehendak Allah orang Kristen takluk karena
alasan lain. Alasan itu diungkapkan Calvin dalam tafsiran Efesus 5:21. Katanya,
'Allah telah mengikat kita yang seorang kepada yang lain begitu rupa,
sehingga tak seorang pun boleh menganggap dirinya dibebaskan dari kewajiban
takluk. Di mana pun kasih berkuasa, di situ orang saling melayani. Aku malah
tidak mengecualikan kaum raja dan penguasa lainnya, sebab yang merupakan makna
pemerintahannya ialah pelayanan.' Sebab itu sepatutnya rasul menasihati
semua orang agar mereka takluk yang seorang kepada yang lain. Jadi, sikap
seorang Kristen terhadap pemerintah tidak ditentukan oleh rasa takut, tetapi
berdasarkan asas kasih (Roma 12:9; 13:8).[93]
- Ayat 1b :
"sebab tidak ada pemerintah, yang tidak dari Allah; dan pemerintahan yang ada telah
ditetapkan
oleh Allah."
"υπο του θεου – hupo tou
theou",
sebetulnya 'oleh Allah', "υποτασσεσθω - hupotassesthô"
(takluk) dan "τεταγμεναι – tetagmenai" (ditetapkan).
Dalam nats ini dan dalam ayat-ayat berikutnya tersurat apa yang tersirat dalam
perkataan takluk. Pertama-tama dikatakan bahwa "tidak ada pemerintah,
yang tidak berasal dari Allah". Kalimat ini mengandung tiga unsur yang
patut diperhatikan: Pertama, bahwa setiap
jiwa harus takluk
kepada penguasa sebab pemerintah itu mewakili Allah. Dalam ayat 1b ini jelas
dikatakan bahwa pemerintah itu ditetapkan oleh Allah untuk menjalankan roda
kepemimpinan di dunia sesuai dengan kehendak Allah. Bila menghadapi penguasa,
tidak sekadar berurusan dengan manusia yang sederajat, tetapi secara tidak
langsung berurusan dengan Tuhan sendiri. Kedua, bahwa kuasa apa pun
tidak mempunyai dasar selain ketetapan Allah. Dasarnya bukanlah kepercayaan
bahwa orang atau golongan tertentu merupakan keturunan dewa. Bukan juga
kepercayaan pada kesaktian (kasakten) seseorang yang dianggap telah menerima
wahyu. Dasarnya bukan juga kekerasan senjata atau kemauan rakyat semata-mata. Ketiga,
kata-kata ini menunjukkan batas kuasa kaum penguasa. Mereka harus melaksanakan
kehendak Tuhan. Tuhan ingin supaya semua orang selamat, dan pemerintah
seharusnya menjadi sarana dalam menjalankan rencana keselamatan itu. Dia
meninggikan orang yang dengan rendah hati melaksanakan tugas yang
diserahkan-Nya.kepada mereka, dan Dia merendahkan mereka yang berhati tinggi
dan tidak mengakui kuasa-Nya atas diri mereka.[94]
Kalau kekuasaan para penguasa berdasarkan salah satu sifat mereka sendiri,
mereka tidak juga terikat pada salah satu hukum di luar diri mereka sendiri. Apa pun yang dilakukan penguasa harus diterima. Dengan perkatatan lain,
kuasanya bersifat total. Ia dapat dianggap bersalah
hanya kalau ia gagal mencapai tujuannya. Demikianlah ideologi kerajaan
ketimuran, antara lain dalam kerajaan-kerajaan helenistis pada abad-abad
terakhir sM. Dalam Perjanjian Lama, di Israel dan di dunia luar tidak ada raja
yang tidak ditetapkan oleh Allah, oleh karena itu, raja-raja itu terikat pada
hukum Tuhan. Pemerintahan yang
seperti ini dikenal dengan istilah “Kepemimpinan Teokrasi” di mana Allah
sendiri yang bertindak langsung sebagai penuntun, memberi tujuan dan sebuah
komunitas yang diikat dalam perjanjian dengan Yahwe. Dalam persekutan
tersebut Yahwe merupakan pemimpin tertinggi. Mereka menjadi alat pemerintahan-Nya atas umat manusia dan karena itu
wajib menegakkan keadilan dan mengupayakan kemakmuran rakyatnya. Wawasan ini
terdapat dengan sangat jelas dalam firman Nabi Yesaya mengenai raja diraja Persia,
Koresy (Yesaya 45:1-8). Dia memecat raja dan mengangkat raja, demikian
dikatakan Daniel di hadapan raja Babel mahadewa, dan ditulis dalam Kitab Daniel
di tengah dunia helenistis (Daniel 2:21). Tetapi sama seperti dalam Roma
13:1-7, keyakinan itu tidak menjadi alasan untuk meremehkan kewajiban menaati
raja. Dalam Amsal 24:21 ketaatan kepada raja malah disamakan dengan ketaatan
kepada Tuhan. Ketidaktaatan hanya muncul dan dibenarkan dalam satu hal, yaitu
kalau raja (penguasa) mendudukkan diri di tempat Tuhan, sebagaimana dilakukan
raja Nebukadnezar (Daniel 3).[95]
Selanjutnya ditambahkan lagi: "dan pemerintah-pemerintah yang ada,
ditetapkan oleh Allah". Mungkin kata-kata ini sekadar mengulang dengan
nada positif kalimat negatif yang mendahuluinya. Tetapi kata-kata ini lebih
bermakna kalau ditafsirkan pemerintah yang ada sebagai penguasa-penguasa yang
kamu hadapi, yaitu para penguasa Romawi, mulai dari kaisar sampai aparat
pemerintahan di propinsi dan kotapraja. Kita tahu bahwa penguasa-penguasa itu
menyembah dewa, dan kadang-kadang mengambil tindakan yang merugikan orang
Kristen. Kendati demikian, mereka harus dianggap sebagai pemerintah yang
ditetapkan oleh Allah.[96]
Dikemudian hari penguasa Romawi menganiaya jemaat. Mereka pun mendudukkan
diri di tempat Tuhan dengan menuntut persembahan kurban. Ketika orang Kristen
menolak mempersembahkan kurban dupa kepada roh kaisar, negara malah berupaya
membasmi gereja Kristen. Namun, gereja lama tidak pernah menyimpang dari
pendapat Paulus yang terdapat dalam ayat ini dan yang berikut. Orang Kristen
tetap mendoakan kaisar dan semua penguasa dalam ibadah mereka. Tidak pernah
terpikirkan oleh tokoh-tokoh Kristen pada zaman gereja lama mengangkat senjata melawan
kaum penganiaya.[97]
- Ayat 2: Sebab itu orang yang melawan pemerintahan, menentang ketetapan Allah dan orang yang
menentang itu akan menerima hukuman atas diri mereka.
'Melawan'
(Yunani, "αντιτασσομενος – antitassomenos", yang serumpun
dengan "υποτασσεσθω - hupotassesthô" (takluk) dan "τεταγμεναι
– tetagmenai" (ditetapkan) dalam ayat 1, dan dengan "διαταγη -
diatagê" (ketetapan dalam ayat 2. Sebaliknya, melawan yang kedua merupakan terjemahan "ανθεστηκεν -
anthestêken". αντιτασσω antitassô di sini mempunyai arti menempatkan diri berhadapan dengan, dari situ
menentang, melawan "ληψονται – lêpsontai" adalah mendatangkan atas
dirinya.[98]
Ayat 2 menarik kesimpulan dari apa yang dikatakan dalam ayat 1b "barang
siapa lawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah" Orang demikian
akan mendatangkan hukuman atas dirinya. Tetapi, yang lebih parah, hukuman itu
juga hukuman Allah, yang mempertahankan ketetapan-Nya dan menghukum mereka yang
melanggar ketetapan itu.[99]
Peringatan dalam ayat 2 ini tidak ada dalam 1 Timotius
2:1; Titus 3:1; 1 Petrus 2.13-17. Maka timbul pertanyaan, mengapa Paulus di sini menganggap perlu dengan begitu tegas mengancam
hukuman kepada mereka yang melawan pemerintah? Jemaat Kristen di Roma
bersimpati pada gerakan kaum Zelot atau orang Kristen di Roma terhanyut oleh
keyakinan bahwa akhir dunia sudah dekat sehingga mereka memandang rendah segala
hal duniawi, termasuk negara. Tetapi pandangan-pandangan ini tidak didukung
oleh bukti yang nyata. Ayat 11 malah langsung bertentangan dengan dugaan kedua
itu. Ada juga ahli sejarah yang menerangkan, sekitar tahun 58 M penduduk kota
Roma melancarkan aksi protes melawan pajak yang tinggi, sampai-sampai melakukan
unjuk rasa di hadapan kaisar Nero. Kemungkinan nasihat Paulus di sini
(bandingkan juga ayat 6) ada hubungan dengan aksi-aksi itu. Tetapi dugaan ini
pun tidak didukung bukti yang jelas.[100]
- Ayat 3: “sebab jika mereka mngerjakan yang baik, tidak perlu takut
kepada pemeritah, takut itu bagi yang salah. Ada keinginan tidak takut kepada
pemerintah, berbuatlah yang baik dan engkau akan memperoleh pujian darinya”
Dalam ayat 3a
LAI merombak susunan kalimat Yunani. Terjemahan harfiah berbunyi: Sebab yang berwajib tidak menjadi alasan
untuk takut bagi perbuatan yang baik, tetapi bagi yang jahat. Pemerintah di
sini terjemahan arkhontes:
tokoh-tokoh pemerintahan. Nats ini diawali kata “sebab”, maka dapat
ditafsirkan ayat 3 bersama ayat 4 sebagai penjelasan ayat 2b. Tetapi istilah
yang jahat bersifat sangat umum, maka agaknya lebih masuk akal kalau isi ayat
3-4 dipandang sebagai alasan kedua penaklukan kepada penguasa yang dianjurkan
dalam ayat 1. Alasan itu dapat disimpulkan sebagai berikut: Mereka yang
berwajib bukanlah musuhmu, asalkan kamu melakukan yang baik, bukan yang jahat.
Yang tersirat di dalamnya ialah sudah barang tentu seorang Kristen tidak akan
berbuat jahat, maka ia tidak perlu takut akan yang berwajib. Sebaliknya, ia
dapat berharap akan beroleh pujian dari penguasa. Mungkin sekali pujian itu
tidak hanya merupakan kiasan. Para penguasa Romawi di propinsi-propinsi biasa
mengajukan warga yang berjasa kepada kaisar agar mereka diberi surat pujian
yaitu seperti mendapat piagam penghargaan dari kaisar dan piagam itu diberikan
oleh kaisar secara langsung (bnd.
Bintang Mahaputra, penghargaan Kalpataru yang diberikan oleh pemerintah
Indonesia kepada warga-negara yang berjasa). Hal
ini hampir sama dengan yang dimaksudkan Paulus. Apabila warga negara melakukan
perbuatan baik dan mematuhi segala ketetapan yang telah dibuat oleh pemerintah
maka dia akan mendapat pujian dari pemerintah itu.[101]
Di sini, sekadar mencatat bahwa istilah yang baik dapat menimbulkan salah
paham seakan-akan menurut anjuran Paulus di sini cukuplah kalau seorang Kristen
menaati hukum negara. Roma 13:1-7 termasuk keseluruhan Roma 12-13. Apa itu yang
baik telah ditentukan sebelumnya, yaitu dalam 12:9-21, bahkan dalam 12:1. Maka
kebaikan yang di sini dituntut dari seorang Kristen bukan (bukan hanya)
kebaikan menurut hukum negara atau menurut kaidah kesopanan yang berlaku dalam
masyarakat.[102]
- Ayat 4: “Karena pemerintah adalah pelayan Allah untuk kebaikanmu.
Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah kepada dia yang menyandang pedang
karena ia adalah hamba Allah yang membalas kemurkaan Allah atas orang yang
berbuat jahat”
Ayat 4 jelas meneruskan
argumentasi ayat 3. Hamba disini maksudnya adalah pelayan Tuhan (Yunani, διακονος - diakonos, harfiah pelayan).
Isitilah diakonos ini dalam pemerintahan Romawi dimaksudkan sebagai pelayan
Tuhan yang mewakili semua maksud Tuhan untuk dijalankan oleh sang pemimpin itu
di dunia ini. Pemerintah itu dipercayai masyarakat Romawi sebagai utusan Tuhan
untuk memimpin dan mengatur semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Apabila
pemerintah itu tidak ada, maka mungkin semua yang berhubungan dengan negara
akan kacau balau. Untuk kebaikanmu,
Yunani "σοι εις το αγαθον - soi eis to agathon", harfiah bagi
engkau untuk kebaikan/yang baik. Dapat menerjemahkannya sesuai dengan
Roma 16:19 (supaya engkau berbuat baik) atau juga sesuai dengan 8:28 (demi
kebaikanmu). Dalam tafsiran bertolak dari terjemahan yang kedua. εκδικος - ekdikos, pembalas, dapat
juga berarti wakil dalam melaksanakan urusan hukum, atau wakil
penguasa tinggi dalam melaksanakan tindakan.[103]
Ayat 4 terdiri dari tiga kalimat. Kalimat pertama menunjukkan alasan
pernyataan dalam ayat 3b. Orang Kristen boleh percaya kepada pemerintah karena pemerintah
adalah hamba Allah. Dalam bahasa Yunani istilah yang dipakai di sini ialah διακονος - diakonos, diaken. Pemerintah
menjadi hamba Allah ketika dia menjalankan roda pemerintahan itu sesuai dengan
keinginan Allah bukan melalui keinginan pribadi untuk menguasai apa yang ada
padanya (jabatan). Jabatan yang ada padanya di yakini berasal dari Allah dan
apabila dia menjalankan pemerintahan itu sesuai dengan kehendak hatinya sendiri
maka jabatan yang ada itu bisa diambil kembali oleh Allah. Istilah itu
bertentangan dengan pandangan orang Yunani dan Romawi tentang negara. Kaum abdi
negara memang 'hamba' (lihat di depan), tetapi negara sendiri tidak berhamba
kepada siapa pun juga. Sebaliknya negara merupakan penguasa tertinggi yang
menuntut loyalitas (kesetiaan) mutlak dari pihak rakyat. Pada zaman Paulus
tuntutan itu sudah mulai berwujud dalam kultus kaisar (persembahan kurban
kepada roh kaisar sebagai perwujudtan negara). Di sini Paulus tidak
langsung mempersoalkan loyalitas kepada negara, bahkan ia menyuruh orang
Kristen taat kepada negara. Namun, ketaatan itu ditempatkannya dalam kerangka
yang sama sekali baru dengan menyebut negara hamba Allah. Tatanan yang sedang
berlaku tidak diserang langsung. Namun, tatanan itu ditempatkan dalam kerangka
yang baru, misalnya dalam hal perbudakan. Dengan demikian dimulai upaya
perubahan tatanan lama itu yang berangsur-angsur, namun radikal.[104]
Arti dasar istilah διακονος - diakonos ialah hamba atau
pelayan (pembantu) yang melayani di meja makan, yang atas perintah tuannya
membagi-bagi makanan. Fungsi penguasa sebagai hamba Allah serupa: atas perintah
Tuhan negara membagi-bagikan pemberian-Nya. Fungsi
pemerintah sebagai diakonos adalah membagikan semua kebaikan sesuai dengan
ketetapan Allah. Kepada
orang yang berbuat baik, penguasa membagikan kebaikan. Arti kebaikan itu dapat
kita simpulkan dari 1 Timotius 2:2. Di sana tertulis: “agar kita dapat hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan
kehormatan.” Fungsi pemerintahan itu memang paling
bermanfaat bagi mereka yang berbuat baik, sebab justru merekalah yang perlu
dilindungi dari orang jahat. Pemerintah dapat memberikan perlindungan kepada
rakyatnya misalnya membinasakan kejahatan.[105]
Sebaliknya, "jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena
tidak percuma pemerintah menyandang pedang". Demikianlah kalimat kedua
dalam ayat ini. Pemerintah tidak hanya bertugas melindungi orang baik. Ia harus
juga mengekang orang jahat. Dalam hubungan ini Paulus memakai semacam kiasan:
penguasa menyandang pedang. Pada zaman itu, bila mengenakan pakaian kebesaran,
kaisar menyandang pedang pendek sebagai tanda kuasanya menentukan hidup atau
mati para bawahannya. Begitu pula sebagian petugas kepolisian, dan sudah tentu
prajurit-prajurit dalam tentara bersenjatakan pedang. Dengan demikian kiasan
Paulus di sini menunjukkan kemampuan dan wewenang penguasa menghukum
orang-orang jahat.[106]
Sebagaimana bila melindungi orang baik, demikian juga bila menghukum orang
jahat penguasa adalah hamba Allah. Dalam hubungan ini Paulus memakai istilah
dari tata hukum Romawi (lihat penjelasan di atas). Di sini istilah itu dapat
diterjemahkan: wakil untuk melaksanakan tindakan penguasa tertinggi.
Sebagaimana kaum penguasa adalah abdi negara, begitu negara sendiri dan dengan
demikian semua orang yang memegang kekuasaan adalah hamba Allah, dan menjadi
wakil-Nya dalam melaksanakan hukuman-Nya. Ternyata di sini juga berlaku
hubungan yang tadi kita temukan antara kebaikan dan keselamatan kekal. Hukuman
pemerintah merupakan perwujudan sementara, yang masih terbatas, dari hukuman
Allah yang akan ditimpakan-Nya pada hari kiamat.[107]
- Ayat 5: “sebab itu perlu tunduk tidak hanya terus karena kemurkaan
Allah tetapi terus tunduk karena suara hati kita juga”
Menaklukkan
diri dalam bahasa Yunani memakai kata kerja yang sama seperti takluk dalam ayat
1. Perlu, Yunani αναγκη – anagkê,
baca anangkê, mempunyai lebih kuat daripada sekadar perlu melainkan ‘harus’ (bandingkan 1 Korintus 7:37, terpaksa). "ou
monon ... alla kai" dapat diterjemahkan tidak hanya (bnd. 5:3; 9:10). Kata 'Allah' merupakan tambahan LAI untuk memberikan keterangan
yang berkaitan dengan konteks ayat.[108]
Ayat ini menarik kesimpulan dari ayat 1-4. Sebab itu, yakni 'sebab segala
sesuatu yang dikatakan dalam ayat-ayat terdahulu, "perlu kita
menaklukkan diri". Perlu
sebelumnya belum cukup keras. Bahasa Yunani memakai istilah αναγκη – anagkê = harus. Mutlak perlu,
yang memiliki makna terpaksa kita takluk kepada penguasa. Harus yang dimaksudkan di sini adalah
tidak ada alasan untuk tidak takluk atau patuh kepada pemerintah. Suatu keharusan disini bermakna absolut untuk
selalu mematuhi perintah-perintah dan kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh
penguasa karena semua penguasa itu berasal dari Allah dan telah ditetapkan olehNya. Alasanya disebut dalam bagian kedua nats ini. Malah ada dua alasan: "bukan saja oleh karena kemurkaan Allah,
tetapi juga oleh karena suara hati kita". Dicatat dulu bahwa kedua
alasan tersebut tidak seimbang. Yang kedua lebih berat daripada yang pertama
(bandingkan Roma 5:3; 9:10). Keduanya berkaitan dengan nasihat dalam kedua ayat
terdahulu: jika seorang berbuat baik ... tetapi
jika engkau berbuat jahat. Kalau cenderung melanggar peraturan, sepatutnya takut akan
hukuman, dan rasa takut itu dapat mendorong untuk meninggalkan kejahatan.
Tetapi kalau hidup dalam Roh (Roma 8:9) dan mematikan perbuatan-perbuatan
tubuh (Roma 8:13) maka telah menjadi sadar akan kehendak Tuhan. Sama seperti
dalam Roma 2:15 suara hati adalah kesaksian dalam batin kita mengenai kehendak
Tuhan. Hukum Tuhan menjadi pokok kesenangan bagi seorang percaya (Mazmur 119).
Maka yang dikatakan di sini ialah seorang percaya takluk kepada penguasa, tidak
hanya. karena hukuman yang ia takuti, tetapi terutama karena hukum yang Ia
senangi. Sebab ia tahu bahwa Tuhan telah memberi para penguasa tugas
mempertahankan dan menjalankan hukum itu.[109]
Dengan demikian jelaslah juga bahwa paksaan yang disebut dalam bagian
pertama nats ini tidak sama bagi kedua belah pihak.
Bagi orang yang taat karena takut akan hukuman, paksaan itu datang dari luar,
dan layak mendapat nama itu. Sebaliknya, bagi orang yang takluk karena memakai
hukum Tuhan paksaan itu lebih pantas disebut ‘dorongan batin’. Berkat dorongan itu, ia dengan senang hati melaksanakan hukum Tuhan. dan
dengan demikian memenuhi tuntutan agar ia taat kepada pemerintah duniawi, yang telah diberi tugas mempertahankan hukum itu.[110]
- Ayat 6: “Itulah sebabnya kamu membayar pajak karena mereka yang
bertekun untuk hal ini adalah pelayan-pelayan Allah”.
"δια
τουτο - dia touto", 'itulah sebabnya', di sini mengacu ke belakang,
bukan ke depan, τελειτε–teleite (kalian membayar) serumpun
dengan "telônês", 'pemungut cukai'. Bentuk "teleite"
dapat berarti kamu bayar atau kamu harus bayar (imperatif).
Karena didahului "gar" maka di sini agaknya yang pertama yang
tepat. Pelayan (Yunani λειτουργοι - leitourgoi, bandingkan istilah
liturgi. Kata kerja προσκαρτερουντες - proskarterountes muncul
pula dalam Roma 12:12. Dalam kalimat 6b, pelayan-pelayan Allah berada di depan,
sehingga mendapat tekanan.[111]
Pajak
merupakan iuran yang wajib di bayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada
negara. Ada banyak macam pajak menurut apa yang di pakai dasar pemungutan iuran
itu, seperti bumi (tanah), jalan, kekayaan, kendaraan, pembangunan, pendapatan
(penghasilan, pencarian), peralihan, perseroan, radio, rumah tangga, tontonan,
upah surat dan lain sebagainya. Di palestina di bawah pemerintahan Roma, orang harus
membayar pajak perseorangan kepada kaisar (Mat. 22:17). Orang Yahudi membayar
pula pajak bait suci sebanyak dua dirham setahun (Mat. 17:24) dan berbagai
kewajiban pajak lain (Mrk. 2:14).[112]
Menurut Rom. 13: 6, 7, Paulus menganggap salah satu
kesetiaan kepada pemerintah untuk membayar pajak. Hal ini menegaskan bahwa gereja Romawi memenuhi pajak kepada
pemerintah, dan biasanya diikuti dengan rumusan teguran membayar pajak lebih
lanjut dan tepat untuk mematuhi pemerintahan Romawi. Beberapa pertimbangan ini
merupakan rekomendasi peningkatan dari suatu pajak di Negara bagian dan pembangkangan
yang muncul kembali di roma dibawah pemerintahan Nero beberapa tahun sebelum 58
AD.[113]
Dalam ayat 5 Paulus telah menarik kesimpulan dari ayat 3-4, yaitu bahwa orang Kristen wajib taat kepada pemerintah, karena pemerintah
adalah hamba Allah. Kini, dalam bagian pertama ayat 6, Paulus menyebut
kenyataan bahwa orang Kristen di Roma membayar pajak. Kenyataan itu membuktikan
bahwa keyakinan yang telah ia ungkapkan dalam ayat 3-4 bukan omong kosong
belaka, dan bahwa desakannya dalam ayat 5, agar orang Kristen menaati
pemerintah, memang wajar. Sebab dengan membayar pajak, yang mungkin justru pada
tahun-tahun itu sangat berat, orang Kristen memperlihatkan bahwa mereka rela
takluk kepada pemerintah (ayat 1, 5). Pembayaran pajak itu merupakan pengakuan
mereka terhadap pemerintah sebagai hamba Allah (ayat 3-4).[114]
Dalam bagian kedua ayat 6 Paulus menyebut pemerintah dengan memakai gelar
yang lebih terhormat daripada hamba. Dalam bahasa Yunani istilah λειτουργος - leitourgos dipakai bagi orang
yang menyelenggarakan pelayanan umum
(seperti kantor balas jasa atau kantor-kantor perpajakan). Bisa
dibilang, dalam hal ini leiturgos ini sebagai pembantu untuk diakonos.
Pengertian kata ini berbeda dengan
pengertian διακονος - diakonos ialah hamba atau
pelayan (pembantu) yang melayani di meja makan, yang atas perintah tuannya
membagi-bagi makanan. Pelayanan itu bisa di bidang keagamaan (demikian biasanya
dalam Alkitab). Tetapi dalam bahasa Yunani umum leitourgos biasanya berarti
orang yang melayani negara, apakah sebagai pegawai, atau sebagai orang swasta.
Para penguasa dan pegawai negeri memang mengabdi kepada negara. Tetapi temyata
mereka adalah abdi instansi yang lebih tinggi lagi, yaitu Tuhan sendiri. Karena
itu, mereka berusaha dengan tekun (bandingkan Roma 12:12, lihat penjelasan di
atas) mengumpulkan dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan tugas yang oleh
Tuhan dibebankan kepada mereka. Tetapi keduanya memiliki kesamaan dalam bentuk
pelayanannya yaitu sama-sama melayani pemerintah yang ada di atasnya. Mereka
hanya dibedakan dari tempat melayani dan porsi pelayanannya. Pelayan dalam
pengertian διακονος - diakonos adalah Hamba Allah yang
berwujud pemerintah tetapi pelayan dalam pengertian λειτουργος - leitourgos berwujud pelayan
atau bawahan dari pemerintah itu.[115]
- Ayat 7: Bayarlah kepada semua orang apa yang
harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada
orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima
rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.
Apodidonai berarti: memberi apa yang wajib diberikan
(bandingkan Markus 12: 17). LAI yang harus kamu bayar, Yunani "τας
οφειλας - tas opheilas" = hutang, kewajiban. φοrος – phoros adalah pajak langsung;
τελος – telos pajak tidak langsung (cukai).
"πασιν - pasin" (kepada semua orang) diterjemahkan bebas:
mereka/pemerintah yang berhak menerima melengkapkan ungkapan singkat yang harafiah berbunyi: kepada yang pajak, pajak.[116]
Ayat 7 ini menutup nasihat mengenai hal pemerintahan, sekaligus merupakan
peralihan ke bagian yang berikut. Ayat
1-6 ini sangat erat kaitannya dengan ayat 7, yaitu hendak menunjukkan
ketaklukan rakyat itu melalui kepatuhannya dalam membayar kewajiban yang
ditetapkan oleh pemerintah. Di ayat ini, Paulus hendak mengajarkan kepada
setiap jiwa bahwa harus membayar semua yang harus dibayar. Dari ayat 1-6 telah
jelas dijabarkan apa-apa saja kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara
yang takluk kepada pemerintahan yang ada dari Allah. Dalam hubungan ayat-ayat terdahulu semua
orang berarti: semua golongan orang yang menjalankan kekuasaan atas manusia atas nama Allah dan demi kebaikanmu. Karena tadi dipakai contoh pajak maka yang disebut pertama ialah
golongan pemungut pajak dan cukai. Menyusullah dua golongan lain yang agaknya
bersifat lebih umum. "Orang yang berhak menerima rasa takut"
harus dihadapi dengan rasa takut yang wajar. "Orang yang berhak
menerima hormat" harus dihadapi dengan rasa hormat yang patut.
Mungkin takut dan hormat sejajar, sehingga harus digabungkan. Dalam hal itu
yang berhak menerima rasa takut dan yang berhak menerima hormat merupakan satu
golongan saja, yaitu penguasa pada umumnya. Hanya, tafsiran itu menimbulkan
persoalan. Bagaimana rasul dapat menasihati orang Kristen supaya takut akan
penguasa, padahal dalam ayat 3-4 ia menyatakan bahwa hanya orang jahatlah yang
perlu merasa takut akan alat-alat negara? Bukankah dalam Perjanjian Baru yang patut ditakuti (dalam arti
positif) ialah Allah sendiri? Maka mungkin anjuran ketiga dalam ayat ini harus
diartikan sebagai nasihat untuk merasa takut kepada Allah, sehingga Roma 13:7b
sama isinya seperti 1 Petrus 2: 17.[117]
Apakah orang yang berhak menerima rasa takut; merupakan golongan penguasa
yang lebih tinggi daripada yang berhak menerima hormat? Atau yang ditakuti
ialah penguasa dan yang dihormati ialah mereka yang berbuat baik (ayat 3)? Tetapi:
bagaimana Paulus dapat menasehati orang Kristen agar merasa takut
terhadap penguasa, padahal dalam ayat 3-4 ia menganjurkan kepada mereka agar
hidup tanpa takut? Yang dimaksudkan Paulus
“takut” disini bukan seperti takut yang biasa diartikan. Takut yang dimaksudkan lebih kepada takluk dan taat, tidak
memberontak karena setiap jiwa telah dianjurkan supaya takluk kepada
pemerintahan. Berikanlah rasa hormat
kepada orang yang berhak menerima rasa hormat, hormat yang dimaksudkan
Paulus adalah rasa segan atau dapat menerima keberadaan orang lain diatasnya. Dalam 1 Petrus 2:17 dikatakan: 'takutlah
akan Allah, hormatilah raja (= kaisar). Dalam PB tidak pemah orang percaya dinasihati agar takut akan pemerintahan
duniawi. Di pihak lain tidak mungkin Allah tercantum dalam semua orang, bersama
pemungut pajak dan penguasa duniawi lainnya. Namun, pendapat bahwa yang berhak
menerima rasa takut ialah Allah itu dapat dipertahankan melalui acuan pada
Amsal 24:21 dan Markus 12:17. Perkataan Amsal 24:21 yang dikutip Yesus itu
agaknya termasuk bahan-bahan yang beredar dalam jemaat-jemaat purba dan
diajarkan kepada orang percaya. Justru karena firman itu lazim dipakai, Paulus
tenggat waktu mendiktekan ayat ini dan mengutipnya, meskipun tidak cocok dengan
bagian pertama ayatnya (semua orang).[118]
4.3
Thema-thema Teologi
1.
Pemerintah adalah merupakan Hamba Allah
Dalam tulisan Paulus, ditemukan
bukti-bukti tentang kuasa-kuasa lain yang
melakukan kejahatan sebagai latar belakang pandangan tentang keselamatan
manusia. Hal-hal yang bisa mempengaruhi keadaan manusia adalah kuasa-kuasa
rohani yang bersifat bermusuhan dan yang bekerja secara aktif di belakang
penguasa-penguasa dunia ini. Ungkapan Paulus yang paling khas ialah
“pemerintah-pemerintah dan kuasa-kuasa” (arkhai
dan dunameis), “penguasa-penguasa” (exousia), “penguasa-penguasa dunia” (kosmokratores). Pemahaman yang tepat akan istilah-istilah ini
sangat diperlukan supaya dapat mempunyai pengertian yang benar mengenai
pengajaran Paulus tentang pendekatan Kristen terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan pemerintahan. Dia menyebutkan bahwa pemerintah-pemerintah dan
kuasa-kuasa dalam daftar mengenai hal-hal yang tidak dapat memisahkan manusia
dari kasih Allah (Rm. 8:38-39). Kristus jauh lebih tinggi daripada segala
pemerintah dan penguasa (Ef. 1:21). Nasehat dalam Roma 13:1 dan Titus 3:1 agar
takluk kepada pemerintah menggunakan kata yang sama dan hal ini memperlihatkan
bahwa dalam pemikiran Paulus terdapat hubungan yang erat antara pemerintah dan
kuasa-kuasa rohani yang menyebabkan pemerintah itu sering disebutnya sebagai
hamba Allah yang menyampaikan kehendak Allah akan dunia ini.[119]
Pemerintah
adalah hamba Allah (harfiah "diaken"), "untuk menyanggupkan
hamba Allah yang lain agar berhasil dengan tugas melakukan kehendak
Allah." Jadi para pemimpin bertanggung jawab melaksanakannya. Dengan
pimpinan Roh Allah Paulus menulis kepada Timotius, “Pertama-tama aku
menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua
orang, untuk para raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang
dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan yang
berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang
diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (ITim 2:1-4). Salah
satu fungsi pemerintah sebagai hamba Allah ialah untuk menetapkan dan
menegakkan hukum dan peraturan agar Injil dapat dikabarkan. Sebagai orang
Kristen kita perlu berdoa bagi pemerintah kita setiap hari. Itu adalah bagian
dari tanggung jawab Kekristenan kita.
2.
Kepatuhan kepada Pemerintah
Sebagai warga, Allah memerintahkan
orang Kristen untuk taat kepada pemerintah, karena pemerintah merupakan lembaga
yang didirikan dan ditetapkan Allah (Rm. 13:1). Selain itu, pemerintah adalah
hamba Allah di dunia ini (Rm. 13:4). Tujuannya karena hidup di dunia yang
tercemar dosa ini memerlukan pembatasan tertentu untuk melindungi manusia dari
kekacauan dan pelanggaran hukum. Jadi Allah menetapkan pemerintah sebagai
pelaksana keadilan dan membatasi kejahatan dengan menghukum para pelaku
kejahatan dan melindungi yang baik dalam masyarakat (Rm. 13:3-4; 1Ptr.
2:13-17). Namun pada saat tujuan ini mulai melenceng dan pemerintah tidak lagi
melakukan fungsinya sebagai hamba Allah, misalnya pemerintah menuntut sesuatu
yang bertentangan dengan firman Allah, maka orang Kristen harus lebih mentaati
Allah daripada manusia (Kis. 5:29; Dan. 3:16-18; 6:7-11). Paulus menekankan pentingnya
kepatuhan warga negara karena bangsa Yahudi sebagai suatu umat telah terkenal
memberontak. Palestina pada abad pertama menjadi negara yang terus-terusan
memberontak. Para pemimpin berasal dari partai Zelot (fanatik), yang sangat
yakin bahwa orang Yahudi tidak boleh mempunyai raja selain Allah. Orang-orang Zelot
menolak membayar pajak kepada pemerintah Roma dan menganjurkan penggulingan
pemerintahan dengan kekerasan.[120]
Salah
satu dari pengajaran Kristus yang paling hebat ada dalam Mat 22:21, "Berikanlah
kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa
yang wajib kamu berikan kepada Alah." Kristus juga menjelaskan dalam
Matius 22, seperti Paulus dalam Roma 13, bahwa kekuasaan pemerintah tidak
absolut. Ada sesuatu kesadaran bahwa di luar wilayah juridis pemerintah
duniawi, adalah kepunyaan Allah. Kristus mengajarkan bahwa gereja dan negara
adalah dua bidang dan bahwa seseorang Kristen mempunyai tanggung jawab terhadap
keduanya. tetapi Ia tidak mengatakan bahwa dua bidang itu sama. Dalam Matius
22, Ia juga tidak menyatakan mana yang paling penting, tetapi Ia menekankan
bahwa pengikut-Nya mempunyai tanggung jawab kepada pemerintah Roma dalam hal
membayar pajak.[121]
BAB V
RELEVANSI
Dalam Roma 13:1-7
ini, Paulus menekankan sebuah kerendahan hati untuk setiap jiwa manusia yaitu
untuk dapat menerima keberadaan orang lain yang lebih tinggi darinya.
Kerendahan hati yang dimaksud adalah takluk dan tunduk kepada seluruh ketetapan
pemerintah yang memang sebagai hamba Allah untuk menjalankan roda kepemimpinan
di dunia ini. Apabila berbicara manusia atau orang Kristen, tentunya hal ini
berkaitan erat dengan Gereja dan berbicara tentang pemerintahan maka akan
berkaitan dengan Negara.[122]
Gereja dan negara merupakan dua institusi yang berbeda. Namun keduanya
memiliki hubungan yang tidak dapat dipungkiri. Warga jemaat atau warga gereja
adalah warga negara, oleh karena itu seharusnya terbina hubungan yang baik
antara gereja dan negara. Sejarah telah memperlihatkan bahwa gereja yang mengusai
negara membawa kepada masa kegelapan gereja. Demikian halnya dengan masa dimana
negara menguasai gereja, ini adalah masa yang suram di dalam perkembangan
kekristenan.[123]
Negara dan gereja tidak boleh saling menguasai satu dengan yang lainnya.
Gereja harus menghormati negara sebagai otoritas yang mengelola wilayah tempat
gereja berada. Demikian juga negara seharusnya menghormati gereja sebagai
sebuah lembaga yang terbentuk dari perkumpulan warga negara yang memiliki
kesamaan kepercayaan. Dengan adanya saling menghormati, maka gereja dan negara
akan hidup berdampingan dengan damai. Gereja akan hidup dalam damai sejahtera
untuk membina kerohanian warga negara yang percaya kepada Kristus. Kerohanian
yang baik akan membawa warga negara dan juga membawa negara kepada
kesejahteraan.[124]
Bagi orang kristen, terlibat dalam dunia politik merupakan anugerah
yang terbesar, mengingat misteri inkarnasi sendiri langsung berkaitan dengan
hal tersebut. Allah menjadi manusia merupakan pencerahan bagi manusia karena
Allah turut berpartisipasi dengan kehidupan manusia dan rela menjadi bagian
dari anggota masyarakat. Kekotoran dunia ini tidak menghalangi rencana Allah
untuk terlibat aktif dan menjadi bagian dari kekotoran dunia itu. Maka secara
teologis, keterlibatan umat beriman dalam politik bangsa mendapat akarnya dalam
misteri Inkarnasi. Keterlibatan anggota Gereja dalam politik merupakan rahmat
terbesar karena sudah memenuhi panggilan terbesar untuk peduli terhadap
persoalan dan cita-cita hidup bermasyarakat dan berbangsa. Politik dibagi dalam
dua bentuk yaitu politik kekuasaan dan politik kepeduliaan sosial
(kemanusiaan). Politik kekuasaan berurusan dengan tehnik dan organisasi untuk
memiliki kekuasaan dan mempertahankannya. Sementara mereka yang tidak terjun
dalam pertarungan perebutan kekuasaan, mengaplikasikan politk dalam kepeduliaan
sosial, tanggung jawab dan panggilan kewarganegaraan. Keberadaan kita dalam
satu lingkungan sosial (negara) adalah keberadaan politis.[125]
Peranan umat Kristen dalam kancah politik adalah
menjadi garam dan terang dunia (bnd. Matius 5:13-14). Di samping itu, gereja berperan sebagai salah
satu institusi keagamaan yang mengawali dan melestarikan sikap kritis jika
suatu gereja itu hendak eksis sebagai pelayan yang menggarami dan menerangi
dunia ini. Sehingga tidak ada alasan bagi gereja untuk membiarkan situasi
bangsa dan negara menjadi kacau tanpa memandang masa depan yang berarti dan
menjanjikan. Berdasarkan jawaban Petrus dan para rasul di hadapan Mahkamah
Agama (bnd. Kisah Para
Rasul 5 : 29), maka gereja harus lebih taat kepada Allah daripada kepada
manusia. Selanjutnya, berpegang kepada jiwa dan semangat juang Rasul Paulus
dalam memberitakan Injil Kebenaran, seperti Injil Kristus yang menyebutkan :
“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus,
melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (bnd. Filipi 1 : 29).[126]
Orang kristen sebagai orang yang percaya yang terpanggil dan telah
menerima tugas dari Yesus Kristus harus menunjukkan ketaatan kepada Tuhan di
segala bidang kehidupan. Orang Kristen harus mempunyai kebiasaan untuk melihat
seluruh masyarakat yang berpolitik dan peraturan-peraturan politik dibawah
penghukuman dan anugerah Allah.[127] Itu dapat
diartikan bahwa orang Kristen berpartisipasi dibidang politik ialah karena segi
politik itu tetap di bawah kuasa dan anugerah Allah (lih. Rom.13:4). Orang kristen atau Pendeta sebagai warga negara harus aktif
dalam politik dengan cara tetap hidup sebagai garam dan terang. Orang Kristen
tidak hanya sebagai warga negara yang baik tetapi dia harus mampu menggambarkan
atau memperlihatkan kehendak Allah di dalam kehidupannya yaitu di dalam
kehidupan berpolitik.[128] Orang Kristen
bertanggung jawab untuk memelihara dan menumbuhkan kesatuan dan persatuan
antara umat yang berbeda agama (bnd. Mat. 5:13-16; I Ptr. 2:12).
Suara nyaring gereja sangat dirindukan oleh warga dan
masyarakat pada saat ini, dimana gereja diyakini wajib menyerukan suara
kenabiannya untuk menyatakan kebenaran Allah di tengah-tengah dunia. Sejak era
Reformasi di tahun 1998, masih banyak kenyataan pahit yang dialami oleh bangsa
dan rakyat Indonesia hingga detik ini, seperti masih merajalelanya kasus-kasus
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), penegakan hukum yang (sepertinya)
dikendalikan oleh elit politik dan penguasa yang terkesan tidak tersentuh oleh
hukum. Pengangguran makin bertambah, keamanan kian terusik, pembobolan bank
dimana-mana, maraknya sindikat penjualan obat-obat terlarang dari luar negeri,
pencemaran lingkungan oleh pabrik-pabrik raksasa, pranata pemerintah yang sangat
rawan konflik, dan lain sebagainya.[129]
Ketika
kesemua masalah itu terjadi, bukankah seharusnya gereja peka dan bersuara
melalui doa, saluran media dan melalui warganya guna memberi penghiburan,
penguatan dan pembelaan kepada mereka yang teraniaya, yang tertindas dan yang
diberlakukan secara tidak adil. Dalam hal inilah bahwa gereja diutus oleh Tuhan
dan ditempatkan di dunia ini untuk menggarami dan menerangi politik dan
kekuasaan dunia agar mereka (para politisi dan pemerintah) menjadi pelayan,
bukan hanya yang gemar dilayani oleh masyarakat.Perjuangan,
keberpihakan dan keterlibatan Gereja terhadap masalah-masalah kemanusiaan dalam
kerangka politik kemanusiaan. Karena yang diperjuangkan oleh
Gereja adalah harkat dan martabat manusia baik sebagai personal maupun sosial dan bukan kekuasaan. Gereja memberikan ajaran
sosialnya tentang nilai-nilai kemanusiaan luhur dan yang perlu dijamin serta
tentang hak-hak dan kewajiban moral yang harus diperhatikan. Walaupun
berpolitik dewasa ini tidaklah mudah, namun iman menuntut manusia untuk berkiprah di bidang ekspresi iman. Sebab tujuan manusia adalah terwujudnya kerajaan Allah dalam suasana yang nyata
yaitu dalam kenyataan hidup yang kelihatan dan manusia membawa Kristus yang
tak kelihatan itu ke dunia yang kelihatan yaitu dunia yang penuh dengan catatan
hitam kemiskinan, kejahatan dan ketidakadilan yang harus diselamatkan oleh-Nya
yang tak kelihatan.[130]
Dalam etika Kristen, ajaran itu mendasarkan diri pada pemikiran Paulus sebagaimana terdapat
dalam Roma 13:1-7. Di situ Paulus berbicara tentang hubungan umat beriman
dengan pemerintah (kaisar). Tidak tertutup kemungkinan penguasa politik justru
menjadi representasi dari kuasa Iblis ketimbang Allah. Oleh karena itu
pendasaran biblis atas etika Kristen perlu mulai dievaluasi dan direvisi. Tidak
berarti bahwa perikop itu tidak berlaku lagi. Melainkan diperlukan suatu
pemahaman yang lebih mendasar dan komprehensif.[131]
Ada beberapa hal yang penting diketahui
tentang etika politik Kristen dari sudut pandang Alkitab:[132]
- Perlunya pemahaman yang holistik mengenai kesaksian alkitabiah
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa
pendasaran etika Kristen hanya pada bagian-bagian tertentu saja dari kesaksian
Alkitab, tidaklah memadai. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan dan
pemahaman yang lebih holistik atas isi Alkitab. Pendekatan yang holistik akan
menolak segala bentuk absolutisasi atas bagian-bagian tertentu dalam Alkitab,
menerima dan menggunakan secara kreatif keberbagaian
kontekstual, dan fokus utama pada kesaksian biblis tentang Yesus Kristus dan
Kerajaan Allah. Penekanan atas keutuhan dan keseluruhan Alkitab tidak berarti
mengabaikan berbagai tekanan yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dalam
Alkitab.
2.
Keterkaitan antara yang historis
dengan yang eskatologis
Umat beriman yang hidup di dalam dunia ini berada dalam
konteks sejarah. Ia bagian dari sejarah dan dengan demikian menjadi bagian pula
dari realitas politik yang ada baik lokal maupun global. Namun pada saat yang
sama setiap orang beriman juga hidup dalam janji dan pengharapan eskatologis.
Tugas umat beriman adalah menjaga ketegangan ini secara kreatif. Benar bahwa
kedua realitas ini berbeda; segala tindakan manusia dalam sejarah bersifat
relatif, dan semuanya itu harus dilihat dalam terang tindakan Allah yang akan
menggenapi janji eskatologisNya. Oleh karena itu segala tindakan politik umat
beriman juga harus senantiasa dilakukan dalam terang dan mengacu pada janji
eskatologis Allah yang akan menghadirkan KerajaanNya secara sempurna.
Berdasarkan prinsip-prinsip etis tersebut
di atas, maka keterlibatan orang kristen dalam kehidupan politik hendaknya
didasari atas penghayatan:[133]
- Kekuasaan sebagai anugerah Allah.
Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Ia hendaknya dipahami
sebagai anugerah Allah. Dan setiap anugerah Allah haruslah dipergunakan untuk
menjadi berkat bagi sesamanya. Dengan demikian jabatan dan kekuasaan itu
dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan kepada Tuhan.
- Tunduk terhadap pemerintah
Setiap orang Kristen harusnya memiliki kesadaran untuk selalu
tunduk kepada pemerintah karena pemerintah merupakan hamba Allah untuk kebaikan
manusia. Allah melalui Paulus mengatakan kepada seluruh manusia supaya takluk
bukan hanya karena kemurkaan Allah tetapi karena dorongan suara hati. Allah
ingin supaya manusia benar-benar memahami bahwa pemerintahan itu ada karena
ketetapan Allah dan mereka menjadi hamba Allah untuk menjalankan roda
kepemimpinan yang ada di dunia.
- Bayarlah seluruh kewajiban
Bagian inilah yang sering diabaikan oleh orang-orang Kristen
yang tidak paham mengenai tujuan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah. Manusia
cenderung hanya mau memakai tanpa mau membayar semua kewajibannya kepada
pemerintah.
- Keberpihakan kepada yang lemah
Para politikus Kristen dipanggil memiliki keberpihakan kepada
yang lemah, karena dua alasan penting, yaitu, pertama, kelompok masyarakat
inilah yang seringkali menjadi korban penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka tidak boleh dilandasi oleh
sentimen-sentimen yang bersifat primordial (suku, ras atau agama), dan yang kedua, kelompok
inilah yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia, khususnya mereka yang lemah
secara sosial-ekonomi. Namun keberpihakan itu juga tidak membuta, dalam arti
bahwa aturan dan hukum tidak berlaku bagi kelompok ini.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Dalam
Perjanjian Lama, di Israel dan di dunia luar tidak ada raja yang tidak
ditetapkan oleh Allah. Karena itu, raja-raja itu terikat pada hukum Tuhan. Pemerintahan yang seperti ini dikenal dengan istilah
“Kepemimpinan Teokrasi” di mana Allah sendiri yang bertindak langsung sebagai
penuntun, memberi tujuan dan sebuah komunitas yang diikat dalam perjanjian
dengan Yahwe. Dalam persekutan tersebut Yahwe merupakan pemimpin
tertinggi. Mereka menjadi alat pemerintahan-Nya
atas umat manusia dan karena itu wajib menegakkan keadilan dan mengupayakan
kemakmuran rakyatnya. Wawasan ini terdapat dengan sangat jelas dalam firman
Nabi Yesaya mengenai raja diraja Persia, Koresy (Yesaya 45:1-8). Dia memecat raja
dan mengangkat raja, demikian dikatakan Daniel di hadapan raja Babel mahadewa,
dan ditulis dalam Kitab Daniel di tengah dunia helenistis (Daniel 2:21). Tetapi
sama seperti dalam Roma 13:1-7, keyakinan itu tidak menjadi alasan untuk
meremehkan kewajiban menaati raja. Dalam Amsal 24:21 ketaatan kepada raja malah
disamakan dengan ketaatan kepada Tuhan. Ketidaktaatan hanya muncul dan
dibenarkan dalam satu hal, yaitu kalau raja (penguasa) mendudukkan diri di
tempat Tuhan, sebagaimana dilakukan raja Nebukadnezar (Daniel 3).
Dalam
Perjanjian Baru, Yesus Kristus menjadi tokoh atau pemimpin yang utama.
Kepemimpinan Yesus diibaratkan sebagai seorang gembala. Gembala: Poimen/poimenos,
berarti pemberi makan atau pelayan. Gembala yang baik mengenal domba-dombaNya
serta memanggil nama mereka (Yoh 10: 3; 14:27), mencari domba yang hilang dan
bergembira ketika menemukan domba itu (Luk. 15:4-5). Pelayanan yang
diperlihatkan adalah sebagai hamba untuk
melayani bukan dilayani. Dalam hal ini Yesus ingin menekankan bahwa pelayan
itu bukanlah suatu kekuasaan (bnd. Mat. 20: 25-26), Yesus juga ingin membuat
suatu kritik dan perbandingan antara gaya kepemimpinan Yahudi dengan gaya
kepemimpinan yang diperbuat Yesus.
Dalam gaya
kepemimpinan Romawi, Kaisar merupakan objek
penyembahan mereka. Pada mulanya Kaisar tersebut bertindak sebagai imam
terbesar (pontifex maximus) yang memberikan korban bagi dewa-dewa di
langit. Secara perlahan-lahan, ternyata korban yang layak untuk diberikan
kepada dewa-dewi mulai diberikan kepada kaisar itu sendiri. Patut dicatat bahwa
kebudayaan untuk menyembah kaisar adalah kebiasaan yang sangat umum dalam
kebudayaan di sekitar Romawi. Keadaan ini pun juga merupakan produk sinkretis
pencampuran kepercayaan, percampuran keagamaan mereka. Sebenarnya adalah lazim
bagi orang Romawi untuk mengangkat kaisar-kaisar mereka terdahulu yang sudah
meninggal menjadi allah. Para kaisar ini disembah bagaikan Allah karena pada
masa itu bangsa Romawi memiliki keyakinan bahwa keselamatan bisa didapatkan
dengan mematuhi dan takluk kepada pemerintah.
Pada zaman Paulus, setiap
kebaktian di rumah ibadah dibuka dengan kalimat yang adalah inti seluruh agama
Yahudi: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa”.
Paulus percaya bahwa ada satu Allah yang menguasai seluruh alam semesta. Bagi
banyak orang yang dikabari Injil oleh Paulus, gagasan itu sama sekali baru,
karena mereka percaya kepada segala macam dewa. Misalnya saja Zeus, pemimpin
segala dewa, demikianlah ada beratus-ratus dewa dan selalu ada lagi dewa yang
baru yang diperkenalkan orang.
Orang-orang Romawi yang dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani
yang terpelajar tentunya akan menertawakan semuanya itu tetapi lain sekali
halnya dengan orang-orang biasa. Mereka hidup dalam ketakutan. Dewa mereka
begitu banyak sehingga mereka tidak merasa pasti, barangkali mereka telah
menyinggung perasaan salah satu dewa atau lupa memberi penghormatan yang layak
diterimanya. Dengan demikian, mereka tidak pernah betul-betul merasa bahagia
dan tidak pernah tanpa rasa khawatir. Maka datanglah Paulus dengan beritanya
bahwa hanya ada satu Allah yang menguasai seluruh alam semesta dan segala yang
terjadi di dunia ini berasal darinya. Orang-orang romawi yang arif dan
bijaksana pastilah merasakan bahwa inilah kebenaran yang selama ini mereka cari
dan rakyat biasa tentunya merasa lega bahwa pada akhirnya mereka dapat bebas
dari rasa takut yang selama ini mencekam mereka.
Nasehat Paulus yang mengharuskan orang Kristen untuk selalu
mentaati pemerintah dan selalu memenuhi kewajiban-kewajiban yang berhubungan
dengan itu, misalnya pajak, telah membuat perubahan yang sangat signifikan bagi
kehidupan Kristen pada masa itu. Yang pada awalnya orang-orang Yahudi dituduh
sebagai orang-orang yang membuat kerusuhan, ketika pada masa kekaisaran Constantinus,
dia membela orang-orang Kristen dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk
menjalankan kepercayaan mereka sesuai dengan yang mereka yakini. Constantinus
beranggapan bahwa kabar sukacita yang disampaikan oleh Paulus ada benarnya.
Kata-kata Paulus yang paling disorotinya adalah bahwa pemerintahan itu berasal
dari Allah untuk mengatur seluruh dunia ini. Dia pun percaya bahwa Kaisar itu
harus bertindak sebagai Hamba Allah yang membagi-bagikan rahmat Allah kepada
manusia melalui perlindungan-perlindungan dan menjalankan pemerintahan itu
sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Secara otomatis, ketika kaisar atau
negara memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk menjalankan sesuatu yang
dia yakini, maka dengan sendirinya mereka akan mematuhi semua ketetapan-ketetapan
yang telah dibuat oleh negara.
Bila terjadi bahwa pemerintah yang ada di atas orang
percaya ternyata menyalahgunakan kekuasaan yang dipegangnya, dan malah membuat
orang Kristen harus bergumul dengan ketaatan imannya kepada Allah, maka prinsip
yang dalam filsafat disebut sebagai prinsip yang pada dasarnya mengatakan bahwa
kalau ada dua prinsip moral berbenturan pada suatu saat misalnya, mana yang
harus dipilih apakah harus menyelamatkan nyawa seseorang pejuang yang dicari
penjajah atau berbohong dengan mengatakan tidak tahu tentang keberadaan si
pejuang maka
prinsip yang lebih tinggi harus didahulukan. Dalam hal ini berbohong menjadi
bisa dibenarkan secara moral karena pada saat yang bersamaan prinsip kasih
(menyelamatkan nyawa manusia) harus dilaksanakan dan tidak ada cara lain lagi.
Mirip dengan prinsip di atas, kalau sampai terjadi pemerintah yang dipercaya
Allah ternyata malahan “merusak” dan mengabaikan hukum Allah, dan malahan
membuat orang Kristen harus bergumul dengan imannya kepada Allah, maka
pemerintah yang demikian tidak harus dipatuhi. Dengan kata lain kesetiaan dan
ketaatan kita terhadap pemerintah berhenti, ketika pemerintah itu mulai
bertindak tidak sesuai dengan hukum Allah. Ketaatan kepada Allah dan hukumnya
harus lebih utama daripada ketaatan kepada pemerintah.
Ini sesuai dengan argumentasi Paulus dalam Roma 13 ayat 1
di atas, bahwa karena pemerintah itu dari Allah dia harus taat dan tunduk
kepada kehendak Allah. Sehingga saat pemerintah tidak bersedia tunduk dan taat
kepada kehendak Allah maka sebenarnya pada saat itu juga ia telah kehilangan
legitimasinya. Dan pemerintah yang demikian , tentu tidak perlu lagi ditaati.
Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa ketaatan seorang Kristen kepada
pemerintah tidak pernah menjadi sebuah ketaatan yang absolut, tetapi ketaatan
yang bersyarat. Sepanjang pemerintah itu memberlakukan hukum Allah dan menjaga
tata tertib serta mensejahterakan warganya ia mutlak harus ditaati. Tetapi
kalau pemerintah itu tidak mampu menjadi perpanjangan tangan Allah dalam
mengatur dan menertibkan dunia ini, maka ia tidak harus ditaati.
6.2 SARAN
Sebagai seorang percaya kepada
Tuhan kita memiliki 2 status kewarganegaraan yaitu sebagai warga kerajaan Allah
dan warga sebuah negara. Panggilan sebagai warga negara diatur oleh
undang-undang baik dalam hal kewajiban maupun hak. Manusia harus menjalankan
kewajibannya dan akan mendapatkan hak yang diberikan oleh negara. Tugas yang
harus dilakukan sebagai warga negara, seperti yang firman Tuhan katakan adalah:
a.
Taat kepada
peraturan dan hukum negara (ay 2). Sebuah negara harus memiliki peraturan atau
hukum untuk mengatur ketertiban bersama. Sebagai orang percaya kita wajib
mengikuti semua ketetapan dan aturan yang ditetapkan oleh negara, jika kita
tidak mentaati aturan sebenarnya kita dikatakan melawan dan melanggar ketetapan
Allah, karena Allah yang menetapkan suatu pemerintahan. Tidak ada satu negara
yang bisa berdiri jika Allah tidak menetapkannya. Ketaatan kita kepada
pemerintah bisa menjadi kesaksian yang baik.
b.
Melakukan kewajiban
sebagai warga negara. Dalam memajukan dan membangun sebuah negara pasti
memerlukan dana yang sangat besar. Dana negara diperoleh dari komoditas hasil
bumi serta kekayaan alam dan kewajiban warga dalam mebayar pajak. Oleh sebab
itu kita wajib dan bertanggung jawab membayar pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di negara kita.
Tidak ada negara yang tidak
diijinkan Allah untuk berdiri sendiri, meskipun ada pemerintahan ataupun
penyelenggara pemerintahan yang melakukan penyelewengan
dan korupsi kita harus tetap belajar menjadi warga negara yang baik. Ketaatan
kita tidak berdasarkan pada orang lain tetapi berdasar pada Allah.
[1] Zakarias Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994: hlm. 78.
[2] Thomas van den End, Surat
Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1997: hlm. 34.
[3] H. A. Kennedy, The Letter to the Romans, The
Westminster Press, Phildelphia 1959: hlm. 109.
[4] Ibid,
hlm. 110-111.
[5] Charles M.Whelan, “Governement Attempts
to Define Church and Religion,” di dalam The Uneasy
Boundary and State, ed. Dean M. Kelley, The Annals of
the American Academy of Political and Social Science, vol. 446, Abingdon Press, New York 1979:
hal. 33.
[6] A.N. Sherwin-White, Roman
Society and Roman Law in the New Testament, Clarendon, Oxford 1965:
hlm. 97.
[7] S. Wismoady Wahono, Disini Kutemukan, BPK Gunung Mulia,
Jakarta 2004: hlm. 87-89.
[8] Stuart Briscoe, Mastering The Old Testament, Word
Publishing, Dallas 1987: hlm. 368-369.
[9] Ibid,
hlm. 119
[10] Yohanes Calvin, Institutio, Pengajaran Agama Kristen,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1985: hlm. 133-134
[11] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa,
Kanisius, Yogyakarta 2002: hlm. 42.
[12] W. Foerster, “Exestin, Exousia” dalam Theological
Dictionary of The New Testament, Vol. 2, (ed. G. Kittel), SCM Press Ltd., London 1956: hlm. 560.
[13] Marjorie Warkentin, “Authority &
Ordination” dalam Ordination: A Biblical-Historical View,
W.M. B. Eermands Publishing Company, Michigan 1982: hlm. 173-183.
[14] James L. Ainslie, “The Powers of the
Reformed Ministerial Order” dalam The Doctrines of the Ministerial Order in
the Reformed Churches of the 16th & 17th Centuries, T. & T.
Clark Ltd., New York 1940: hlm. 62-90.
[15] Eugene A. Nida, A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans,
T. & T. Clark, Edinburgh 1979: hlm. 662.
[16] Johannes P. Louw, Greek-English Lexicon of the New Testament Based on Semantic Domains
(United Bible Societies, New York 1988: hlm. 426.
[17] Eugene A. Nida,
Op. Cit., hlm. 664
[18] N. H. G. Robinson, “God”, A
Dictionary of Christian Theology, (ed. Alan Richardson), SCM Press Ltd.,
London 1969: hlm. 137-138
[19] El
dan Eloah adalah sebutan kata umum dalam dunia Semit yang disebut untuk
menyebut Pribadi Dia Yang Maha Tinggi. Kata El dan Eloah ini memiliki asal usul
kata dari nama Illahi suku bangsa Kanaan. nama El digunakan secara ekslusif
oleh suku bangsa Kanaan dan orang-orang Ibrani yang tinggal di tanah Kanaan.
Sedangkan, Eloah juga populer di lingkungan sekitar Kanaan (bnd. Ayub 1: 1). Elohim merupakan penggabungan dua kata,
yaitu Eloah dan Im. Kata akhiran im
ini menunjuk pada bentuk jamak. Maka
Elohim merupakan bentuk jamak dari kata tunggal Eloah (bnd. Kej. 1: 26a). Adonay berasal dari kata adon dan ay.
Arti pertama dari kata Adon
adalah Tuan, akhiran ay menunjuk kepada kata ganti orang pada kata benda jamak.
Dengan demikian, kata adonay bisa berarti my
Lord, Tuhanku. Gelar nama Adonay sering disejajarkan dengan nama YHWH, oleh
sebab itu nama Adonay disejajarkan dengan nama YHWH pada teks tulis kitab PL,
maka umat Israel menggunakan kata Adonay sebagai ucapan lisan kata pengganti
bagi teks tulis nama YHWH. Dan dalam Perjanjian Baru nama Allah dalam
Perjanjian Lama tersebut hampir tidak ditemukan, melainkan diterjemahkan dengan
sebutan Theos dan Kyrios. Menurut para sarjana Kitab Suci Yahudi, Theos merupakan terjemahan dari El,
Eloah dan Elohim. Dan kata Kyrios memiliki arti yang sama dengan kata Ibrani
Adonay. Lih, I. J. Satyabudi, Kontroversi
Nama Allah, Wacana Press, Jakarta
2004:hlm. 88-106.
[20] N. H. G. Robinson, Op. Cit., hlm. 139
[21] Allah memperkenalkan namaNya
dengan יהוה (YHWH), vokalnya tidak diketahui dengan
pasti karena sejak zaman Perjanjian Lama, nama ini tidak pernah diucapkan tetapi selalu diganti
dengan kata אדני (Adonay), sesuai dengan Tradisi Yahudi bahwa
nama itu tidak boleh diucapkan langsung. Namun, para ahli menduga pada mulanya
nama tersebut diucapkan “Yahweh”. Secara umum teolog modern mendukung teks Alkitab memperkenalkan nama
Yahweh dari akar kata (hayah) yang
artinya “Menjadi”. Lih. G. Johannes Botterweck and Helmer Ringgren (ed), Theological Dictionary of the Old
Testament, William B. Eerdmans
Publishing, Grand Rapids, Michigan 1974: hlm. 513
[22] G. W. Bromiley, “God”, The International Standard Bible
Encyclopedia, Vol I, A-D (ed. J. Hutchison), W. B. Eerdmans Publishing
Company, Grand Rapids, Michigan 1979: hlm. 365-366
[23] Gerhard Friedrich, “Qeoj”
dalam The Dictionary of New Testament, Vol. 5 (ed.
Gerhard Kittel), W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan
1967: hlm. 267-268
[24] Ibid, hlm.
269-270
[25] Ibid, hlm.
271
[26] James Kallas, New Testament Studies, W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids,
Michigan 1965: hlm. 365-370
[27] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja Jilid I:
Gereja Mula-mula di dalam Lingkungan Kebudayaan Yunani-Romawi (30-500), Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil
Indonesia [YPPII], Jawa Timur 1998: hlm. 30
[28] J. I. Packer dkk, Op.
Cit., hlm. 70
[29] Donald Guthrie, New Testament Introduction, IV Press, Leicester
1990: hlm. 204-206
[30]Dietrich Kuhl, Sejarah
Gereja Jilid I: Gereja Mula-mula di dalam Lingkungan Kebudayaan Yunani-Romawi
(30-500 M), Yayasan
Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPPII), Jawa Timur 1998: hlm. 30
[31] Ibid,
hlm. 35
[32] Jakob van Bruggen, Siapa yang Membuat Alkitab? Penyelesaian dan Kewibawaan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Momentum Surabaya 2002: hlm. 49
[33] Henry H. Halley, Penuntun ke dalam Perjanjian Baru,
Yakin Tromolpos, Surabaya 1965: hlm. 199.
[34] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, BPK Gunung
Mulia. Jakarta 2005: hlm. 369-372.
[35] Samuel
Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah,
Pengantar dan Pokok-Pokok Teologisnya, Bina Media Informasi, Bandung 2010:
hlm. 201-210.
[36] Frank
Tielman, The Theology of The New
Testament, Zondervan Grand Rapids Michigan 2005: hlm. 368-370.
[37] John Drane, Op. Cit, hlm., 369
[38] Merrill
C.Tenney, Op. Cit., hlm. 8-9.
[39] Marcus Borg, “A New Context for Romans XIII,” New Testament Studies, W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan
1976: hlm. 205-218.
[40] James D. Tabor, Op. Cit., hlm. 330
[41] Martin Luther lahir pada
tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Saxonia, dan wafat pada tanggal 18
Februari 1546. Ia berasal dari keluarga petani, dan mengaku,”Ich bin ein
Bauern Sohn” (Saya anak petani). Ayahnya bernama Hans Luther, dan ibunya
Margaret Ziegler. Pada musim panas 1484, keluarga Luder pindah ke Mansfeld, Magdeburg
dan Einsenach. Pada tahun 1501, Luther belajar di Universitas Erfurt dan meraih
gelar MA (Magister Artium) pada tahun 1505 melalui Trivum dan
Quadrivium. Kemudian sesuai dengan keinginan ayahnya, ia melanjutkan studi
dengan memasuki fakultas hukum. Tetapi ketika ia baru memulainya, ia mengalami
kejadian yang amat menentukan masa depannya, yaitu ketika ia berjalan di tempat
terbuka dalam cuaca yang buruk, ia hampir-hampir tersambar petir; takut akan
mati, dan berjanji kepada Santa Anna, bahwa ia akan masuk ke biara. Lih. Jan S.
Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam
dan di Sekitar Gereja, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2000: hlm. 31.
[42] W. J. Kooiman, Op. Cit., hlm. 37.
[43] Heiko A. Obermann, Luther: Man Between God and The Devil, Yale University Press, New
Haven 1989: hlm. 86.
[44] Ibid,
hlm. 320.
[45] Ibid,
hlm. 321.
[46] Dia adalah orang Yunani, yang lahir di Asia Kecil dari keluarga Kristen.
Waktu kecil dia mendengarkan Policarpus, Uskup Smirna yang pernah mengenal
Yohanes. Sebagai pemuda dia pindah ke Lyon di Gallia (Prancis), tempat dimana
dia menjadi presbiter. Dia dipengaruhi oleh Yustinus[46] dan dia menjadi
jembatan antara teologi Yunani Purba dan teologi Latin Barat. Sumbangan utama
Irenaeus ialah dalam membuktikan ketidakbenaran ajaran sesat dan dalam
memaparkan kekristenan rasuli. Karyanya yang terpenting adalah Sangkalan Dan Penggulungan dari apa yang
secara salah disebut Pengetahuan (gnosis), yang umumnya dikenal dengan
judul singkatnya Adversus Haereses (melawan
Ajaran-ajaran sesat). Tulisan ini khusunya ditujukan terhadap aliran Gnostik. Gnostik adalah istilah modern untuk
berbagai sekte abad ke-2 yang mempunyai persamaan dalam unsure-unsur tertentu.
Penganut-penganutnya percaya pada satu Allah Yang Mahatinggi yang jauh dari
dunia ini. Allah tidak turut serta dalam penciptaan-itu adalah hasil otak atik
ilah yang lebih rendah yang biasanya diidentifikasikan dengan Allah Perjanjian
Lama. Antara dunia yang jahat ini dengan Allah Yang Mahatinggi terdapat semacam
hierarki mahkluk-mahkluk ilahi. Keselamatan dicapai karena pengetahuan (bahasa
Yunani gnosis). (Ibid, hlm. 9.)
[47] Charles R. Eerdman, The Epistle of Paul to the Romans, The
Westminster Press, Philadelphia 1942: hlm. 138.
[48] Ernst Käsemann, lahir di Bochum-Dahlhausen,
12 September
1906, adalah seorang teolog
Lutheran
dan profesor Perjanjian Baru di Mainz (1946-1951), Göttingen
(1951-1959) dan Tübingen (1959-1971). Käsemann memperoleh gelar Ph.D. dalam Perjanjian
Baru di Universitas Marburg pada 1931, setelah menulis
disertasi tentang eklesiologi Paulin, dengan Rudolf
Bultmann sebagai pembimbing disertasinya. Käsemann adalah salah
seorang murid Bultmann yang terkenal karena secara politik beraliran kiri.
Käsemann bergabung dengan gerakan Gereja yang Mengaku pada 1933; pada tahun yang
sama, ia diangkat sebagai pendeta di Gelsenkirchen,
di sebuah distrik yang kebanyakan masyarakatnya adalah buruh tambang. Pada
musim gugur 1937
ia melewati beberapa minggu di tahanan Gestapo,
setelah secara terbuka mendukung para buruh tambang yang komunis.
Pada 1939, ia menyelesaikan habilitasinya, yang
membuatnya memenuhi syarat untuk mengajar di universitas-universitas;
disertasinya adalah tentang Surat Ibrani
di dalam Perjanjian Baru. Käsemann belakangan direkrut menjadi tentara, dan
kembali ke karya teologisnya pada 1946, setelah beberapa tahun berdinas di
ketentaraan dan menjadi seorang tahanan perang. Lih. E. F. Osborn, “Ernst
Käsemann” dalam Dictionary of Biblical Interpretation, Hayes, J H
(ed), Vol. 2, Abingdon, Nashville 1999: hlm. 14-16.
[49] Ernst Kasemann, Commentary on Romans, Geoffrey W. Bromiley (ed.), William B.
Eerdsmans P. Company, Grand Rapids 1980: hlm. 350.
[50] E. F. Bruce, The Letter of Paul to The Romans- An Introduction and Commentary, InterVarsity
Press, Leicester 1987: hlm. 218.
[51] Dia adalah seorang Pendeta yang mendapat pendidikan
teologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Azusa Pacific University. Dia pernah
melayani di Gereja Persekutuan Kristen Pangkalpinang Dan menjadi Dosen di
Seminari Alkitab Asia Tenggara. Beban pelayanannya adalah mengajak umat Tuhan
kembali kepada ajaran Alkitab dan meningkatkan mutu pendidikan teologi di tanah
air. Kini, selain mengajar di Trinity Theological College, Singapura,
perhatiannya juga dicurahkan kepada penerjemahan Alkitab, penulisan tafsiran
dan pelayanan berkhotbah. Lih. Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, Literatur SAAT,
Malang 2007: hlm. 432
[52] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia, (Jilid I dan II),
Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 2002: hlm. 866-867.
[53] Th. Van den End, Tafsir Surat Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995: hlm. 597-599.
[54] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, BPK Gunung
Mulia, Jakarta 2006: hlm. 105-111
[55] J.I. Packer,
Merrill C. Tenney, William White, Jr., Dunia
Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang 2004: hlm. 64; pemerintahan
“internasional” sebelumnya adalah kekuasaan Yunani, yaitu generasi penerus dari
Aleksander Agung, kemudian setelah tahun 202 s.M. bangsa Romawi mulai masuk
dalam pentas politk dunia, dan kemudian akan menguasai seluruh wilayah
kekuasaan Yunani, dan bahkan masuk sampai ke Asia. Bnd. H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: hlm. 48
[56] Ibid., hlm.
30
[57]
Ibid., hlm. 30.
[58]
Ibid., hlm. 31.
[59] Ibid.,
hlm. 34.
[60] H. Jagersma, Op. Cit., hlm. 55
[61] A.A. Sitompul, Op. Cit., hlm. 32
[62] Ibid,
hlm. 215-217
[63] Nestle-Aland, Novum Testamentum
Graece: Edition 26, Deutsche Bibelgesellshaft, Stuttgart 1983: hlm. 432-433
[64] A.A. Sitompul, hlm. Op. Cit., 215-216
[65] A.A. Sitompul, Op. Cit., hlm. 187-188
[66] Beberapa sumber yang digunakan untuk
menjelaskan Kritik Aparatus, antara lain:
Ø
Nestle-Aland, Novum
Testamentum Graece: Edition 26, Deutsche Bibelgesellshaft, Stuttgart 1983
Ø
Hasan Sutanto,
Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, Literatur Saat,
Malang 2007: hlm. 250-252
Ø
Alfred
Wikenhauser, New Testament Introduction, Herder and Herder, New York
1958: hlm. 62-90
[67] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm.
105-107
[68] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm.
369-370
[69] Th. van den End, Tafsiran Alkitab: Kitab Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta
2008: hlm. 784
[70] Ibid,
hlm. 785
[71] Willi Marxsen, Op. Cit., hlm. 110
[72] Bruce Clinton, Studi Perjanjian Baru Bagi Pemula, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004:
hlm. 69-70
[73] F.F. Bruce, Dokumen-Dokumen
Perjanjian Baru, BPK
Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 118-119
[74] Ibid,
hlm. 120
[75] Bermula dari kesadaran
akan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh penguasa, masyarakat mulai
mengenali pemerintah mereka sebagai ilah. Pemikiran ini bahkan ditemukan dalam
buku anak-anak yang bertulisankan “Apakah sebuah allah itu? Yaitu dia yang
setara dengan yang ilahi.” Orang-orang yang memiliki kemampuan lebih
dibandingkan orang lain, gubernur, jenderal, firaun, atau monarki Helenistis
(Yunani), biasa diletakkan sebagai yang setara atau yang dekat kepada yang
ilahi. Lih. C. B. E. Cranfield, Romans,
A Shorter Commentary, T & T Clark, London 1985: hlm. 35-36
[76] Lukas Tjandra, Latar
Belakang Perjanjian Baru, jld. II (Agama), Literatur SAAT,
Malang 2008: hlm. 58
[77] Ibid,
hlm. 60-61
[78] John Staumbaugh, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm. 197
[79] S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, BPK Gunung Mulia,
Jakarta 2004: hlm. 412-413
[80] Joseph P. Free, Arkeologis dan Sejarah Alkitab, Gandum Mas, Malang
1997: hlm. 426
[81] Linwood Urban, Sejarah
Ringkas Pemikiran Kristen,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1996: hlm. 170-171
[82] C. B. E. Cranfield, Op. Cit., hlm. 40
[83] H. G. Wells, Pocket History of The World,
W. E. Erdsmans Pubishing Company, Michigan 1943: hlm. 149-153
[84] Ibid,
hlm. 153-154
[85] Jagersma, Dari
Aleksander Agung sampai Bar Kokhba (Sejarah israel dari ± 330 SM-335 M), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: hlm.
13-20
[86] C. B. E. Cranfield, Op. Cit., hlm. 47-48
[87] George Arthur Buttrick, The Interpreter’s of The Bible, Abingdon
Press, Nasville, New York 1962: hlm. 112-113
[88] Karl Barth, The Epistle to The Romans, (ed. Edwyn C. Hoskyns), Oxford
University Press, Toronto, New York 1933: hlm. 240
[89] Anders Nygren, Commentary on Romans, Muhlenberg Press, Philadelphia 1944: hlm. 270
[91] John Calvin, Calvin’s Commentaries: Romans,
edisi 1540 (trans. R. Mackenzie), W. B. Eerdmans, Grand Rapids, Michigan 1960:
hlm. 256-257
[92] George Arthur Buttrick, Op. Cit., hlm. 114
[93] John Calvin, Op. Cit., hlm. 258.
[94] Ernst Käsemann, Op. Cit., hlm. 357
[95] Ben Witherington III, Paul’s Letter to The Romans: A Social Rehtorical Commentary, W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan
2004: hlm. 12
[96] Ibid,
hlm. 14
[97] Ibid,
hlm. 15
[98] Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani, Kalam Hidup, Bandung
2004: hlm. 4
[99] Ibid,
hlm. 6
[100] Th. van den End, Op. Cit., hlm. 784
[101] Luke Timothy Johnson, Reading
Romans: A literary and Theological Commentary, Crossroad Press, New
York 1997: hlm. 135-136
[102] Ibid,
hlm. 138
[103] Dave Hagelberg, Op. Cit., hlm. 9
[104] Th. van den End, Op. Cit., hlm. 786
[105] John Calvin, Op. Cit., hlm. 260-261
[106] Ibid,
hlm. 264
[107] Ibid,
hlm. 237
[108] Dave Hagelberg, Op. Cit., hlm. 13
[109] Martin Luther, Op. Cit., hlm. 240-241
[110] Joseph Fitzmeyer, The Anchor Bible: Romans, Doubleday Press, Toronto
1993: hlm. 199
[111] Dave Hagelberg, Op. Cit., hlm. 21
[112] Joseph Fitzmeyer,
Op. Cit., hlm.
200
[113] Horst Balz (ed),
Exegetical
Dictionary Of The New Testamen Vol 3, W.M. B. Eermands Publishing
Company, Michigan 1993: hlm. 436-437
[114] Joseph Fitzmeyer, Op. Cit., hlm. 203-204
[115] Charles Hodge, Commentary
on The Epistle to The Romans, William B. Eerdmans Publishing
Company, Grand Rapids, Michigan 1994: hlm. 35-36
[116] Dave Hagelberg, Op. Cit., hlm. 27
[117] Charles Hodge, Op. Cit., hlm. 40-41
[118] Ibid,
hlm. 45-46
[119] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008: hlm.
136-137
[120] Ibid,
hlm. 140
[121] Walter Wink, The
Powers: Theology For a New Millennium, Doubleday, New York 1998:
hlm. 78-79.
[122] Robert P. Borrong, Etika Politik Kristen : Serba-serbi politik Praktis, Unit Publikasi
dan Informasi dan Pusat Studi STT Jakarta, Jakarta 2006: hlm. 13-14
[123] Ibid,
hlm. 15
[124] Jhon C. Bennet, When Christian Make Political Decision, Association Press, New York
1964: hlm. 26
[125] Ibid,
hlm. 28
[126] Eka Darmaputera, Aspek-Aspek Etis Teologia Hubungan Gereja Dan Negara Dan Implikasinya
Dalam Negara Pancasila, BPK- Gunung Mulia, Jakarta 1994: hlm. 239-240
[127] Op.
Cit., Jhon C. Bennet, hlm. 30
[128] William H. Elder III, Understanding Christian Ethics: An Interpretive
Approach, Bradman Press, Nashville, Tennessee 1988: hlm. 123-124
[129] J. Verkuyl, Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja dan Negara, BPK- Gunung Mulia,
Jakarta, 1992: hlm. 238
[130] Paul L.Lehmann, Ethics in a Christian Context, Harper & Row, New
York 1963: hlm. 117
[131] Yohanes Calvin, Institutio, Pengajaran Agama Kristen,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1985: hlm. 134
[132] Koson
Srisang, Perspectives on Political Ethics, an
Ecumenical Enquiry, WCC Publishers, Switzerland 1983: hlm.
97-101
[133] Robin Gill, A Textbook of Christian Ethics,
T & T. Clark Ltd, Scotland 1985: hlm. 34-36.
No comments:
Post a Comment