Wednesday, December 19, 2012

KONSEP PEMIKIRAN PAULUS TENTANG PEMERINTAHAN YANG BERASAL DARI ALLAH


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.     Latar Belakang Masalah dan Alasan Pemilihan Judul
Pemerintahan memang sangat identik dengan pemimpin. Dalam sebuah pemerintahan pastinya ada satu orang yang menjadi pemerintah. Semua orang yang berada dalam struktur pemerintahan itu diwajibkan untuk patuh dan taat kepada sang pemimpin, karena pemimpin biasanya mempunyai kewenangan untuk membuat sebuah keputusan. Di sinilah sering terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan anggotanya. Tidak semua anggota pasti akan langsung bisa menerima keputusan sang pemimpin dan hal itu akan memicu pro-kontra diantara mereka. Tidak jauh berbeda dengan pemerintahan yang ada di Indonesia ini. Pemerintah seakan-akan tidak memahami lagi bahwa mereka adalah pemerintah yang berasal dari Allah, karena dalam kitab suci orang Kristen (Alkitab) mengatakan dengan jelas bahwa pemerintah berasal dari Allah (Roma 13:1-2). Oleh karena itulah maka manusia diminta untuk selalu patuh kepada pemerintah. Bagaimana orang Kristen harus menghadapi ketegangan yang timbul karena kehadiran mereka dalam sebuah masyarakat dimana kebutuhan untuk mempertahankan integritas mereka sebagai individu dan setia pada pemahaman mereka tentang keilahian Kristus bertentangan dengan tuntutan masyarakat itu.[1]
Dalam Roma 13, Paulus memfokuskan pembahasannya pada ketegangan antara individu dan masyarakat secara umum dalam kaitan dengan masalah ketaatan atau ketidaktaatan. Masalah yang timbul berkaitan dengan tanggung jawab individu terhadap tatanan sosial, sepanjang tatanan sosial itu diatur oleh hukum yang ditegakkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam pemerintahan. Manusia sering kali melakukan kompromi terhadap tanggung jawab individu Kristen atas dasar penerapan perintah Alkitab secara satu pihak. Dengan demikian Roma 13 sering kali dikutip sebagai suatu bukti bahwa pemerintah selalu menuntut dan berhak mendapatkan ketaatan manusia secara total dan tanpa keraguan.[2] Roma 13 tidak menuntut kasih yang umum melainkan sikap, sama seperti apa yang disinggung dalam surat-surat Paulus, yang dengannya sikap politis dikaitkan, yaitu: “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi”. Yang dituntut di sini bukan penindasan, melainkan kemitraan, sebagaimana halnya juga antara suami dengan isteri, anak dengan orang tua. Hamba-hamba harus tunduk kepada tuannya (1 Ptr. 2:18).[3]
Ada perlindungan bagi orang-orang Yahudi pada masa surat Roma ditulis, yaitu kelompok Yahudi mengantongi status yang sedikit istimewa di dalam kekaisaran, sebagai kelompok yang mempunyai izin “collegia licita” yang berarti kepatuhan terhadap penguasa Roma adalah hal yang biasa bagi kelompok Kristen yang berlatar belakang Yahudi, sehingga nasehat ini penting bagi Kristen non-Yahudi. Teks ini lebih dipahami sebagai jembatan untuk pemahaman dunia politik. Konflik soal dunia politik itu berkembang menjadi masalah dalam kelompok Kristen dari dulu sampai sekarang dan biasanya muncul dalam perbedaan kepatuhan kepada Allah dengan kepatuhan kepada pemerintah dunia. Secara umum, Roma 13 mengarah kepada pembuktian pemahaman zaman rasuli atas peraturan negara, kuasa, dan kesetiaan sipil dalam melayani Allah. Perubahan mendasar bisa terjadi dalam penyalahgunaan kuasa yang cenderung menginjak-injak hak azasi manusia berdasarkan tunduk kepada kuasa yang di atas.[4]
Di dalam dunia Perjanjian Baru dilaporkan bahwa Yesus mengajarkan kepada para pengikutnya (orang-orang percaya) untuk membayar pajak. Dimana pajak merupakan penyokong keberlangsungan roda pemerintahan guna membangun suatu bangsa dan negara (Matius 22 : 21). Pesan Yesus tersebut mengajarkan supaya patuh dan menaati keputusan perundang-undangan yang diberlakukan oleh negara dan mengenai Undang-Undang membayar pajak adalah tidak menyalahi, karena sasaran pajak jelas terurai dan dialamatkan. Dengan kata lain, pajak bukan merupakan income (pemasukan) yang memperkaya para pejabat negara, melainkan pajak dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[5]
Rasul Paulus menyebutkan bahwa rakyat harus menyadari kalau pemerintah juga adalah hamba Allah untuk kebaikan bangsa dan negara (Roma 13:4). Inilah yang menjadi dasar bagi masyarakat agar tunduk kepada pemerintah, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah dan pemerintahan-pemerintahan yang ada ditetapkan oleh Allah (Roma 13:1). Rakyat harus mendukung ketetapan pemerintah yang telah diundang-undangkan (lih. Roma 13:7). Demikian juga halnya, sikap saling menghormati merupakan etika yang mendasari hidup dalam berwarga negara. Baik pemerintah maupun rakyat secara bersama membangun kebersamaan dan nilai-nilai luhur dalam menciptakan keharmonisan, kedamaian dan ketentraman sehingga cita-cita kesejahteraan bangsa dan negara tidak menjadi impian belaka, melainkan suatu realisasi yang sungguh.[6]
Pada zaman Perjanjian Lama, tepatnya zaman Nabi Musa, kerajaan bangsa Israel adalah berbentuk Theokrasi, yang artinya Allah yang memerintah atas bangsa Israel. Walaupun Musa, Harun dan Yosua bertindak sebagai pemimpin umat Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan. Tetapi, mereka semua bertindak hanya seturut dengan perintah dari Allah (Yahweh). Bentuk Kerajaan yang Theokrasi mendapat tanggapan dan protes dari umat Israel sendiri pada masa Hakim Samuel, dimana mereka sangat menginginkan seorang raja seperti bangsa-bangsa lain yang telah mempunyai raja terlebih dahulu. Tuntutan itu dikabulkan, lalu terpilihlah Saul sebagai Raja pertama bagi umat Israel. Daud dan Salomo sebagai raja kedua dan ketiga. Akan tetapi, pasca pemerintahan Raja Salomo kerajaan Israel terbagi dua : Israel Utara dan Israel Selatan. Semakin terlihatlah kehancuran bangsa Israel setelah kerajaan berbentuk Theokrasi ditinggalkan dan berubah menjadi Monarki.[7]
Dalam sejarah, gereja dan negara memiliki beberapa bentuk hubungan. Pada bagian ini akan dibahas mengenai hubungan yang terjadi antara gereja dan negara. Banyak orang berpikir bahwa gereja dan negara merupakan dua hal yang sangat berbeda, sehingga mereka menyatakan bahwa negara dan gereja tidak boleh memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya.[8] Di samping itu ada orang yang memiliki pemahaman bahwa gereja dan negara harus saling berhubungan. Artinya gereja sebagai pembina rohani harus memiliki tanggung jawab penuh terhadap negara. Negara harus berada di bawah pengawasan dan kontrol gereja. Pandangan lain menyatakan bahwa negara harus berperan penuh dalam perkembangan yang terjadi di dalam gereja. Artinya negara harus mengontrol gereja.[9] Selain kepercayaan dan keyakinan yang berbeda antara negara dan gereja pada masa itu, hal lain yang menyebabkan keterpisahan gereja dan negara adalah “penganiayaan”. Penindasan yang muncul dari ketakutan pemerintah akan kekristenan menarik banyak masyarakat Roma. Kekristenan menyebabkan banyak warga Roma tidak lagi melakukan penyembahan kepada salah satu dewa atau dewi Romawi. Hal tersebut tentu merusak sistem negara yang telah terbentuk.[10]
Karena banyaknya pengikut Kristen maka kaisar memberi kesan negatif terhadap bangsa Yahudi yaitu seperti cium kudus (cium persaudaraan). Pandangan negara yang negatif terhadap kekeristenan menyebabkan timbulnya penghambatan terhadap gereja. Sekitar tahun 64 M, Kaisar Nero mempersalahkan orang Kristen karena kebakaran besar yang memusnahkan sebagian dari ibu kota negeri itu padahal Nero sendirilah yang menyuruh orangnya melakukan pembakaran. Kaisar Nero melihat orang Kristen sebagai bahaya besar bagi kelangsungan kekaisaran Romawi karena jumlah mereka yang semakin besar dan persembahan kurban yang semakin hari semakin sedikit. Nero melihat apabila orang Kristen tetap diberi kebebasan dalam beribadah, maka akan semakin banyak pengikut mereka. Kaisar Nero menerapkan sikap bermusuhan terhadap orang Kristen. Ia merestui penganiayaan terhadap orang Kristen yang dianggapnya takhayul. Orang Kristen dianiaya dengan sangat ngerinya, misalnya dilabur dengan gala-gala lalu dibakar hidup-hidup dan dijadikan obor pada pesta malam. Komunitas Kristen dituduh sebagai kelompok yang membenci manusia (odium humanis generis atau misanthrophia).[11]
Untuk lebih memahami bagaimana seharusnya para pemerintah itu menjalankan roda pemerintahan yang berada dalam kekuasaanya, maka penulis hendak menggali isi Surat yang dikirimkan Paulus kepada jemaat di Roma, yaitu dengan judul:
KONSEP PEMIKIRAN PAULUS TENTANG PEMERINTAHAN YANG BERASAL DARI ALLAH”
(Suatu Studi Hermeneutis Terhadap Surat Roma 13: 1-7)



1.2.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang pemilihan judul di atas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah untuk mempermudah kinerja dalam pengerjaan skripsi ini. Beberapa rumusan masalah tersebut adalah:
-          Bagaimana konsep pemerintahan yang ada pada zaman Paulus mengirimkan suratnya ke Roma?
-          Apa latar belakang Paulus memasukkan perikop ini ke dalam suratnya?
-          Bagaimana pengaruh tulisan Paulus tentang pemerintahan yang berasal dari Allah terhadap masyarakat pada zamannya?
-          Bagaimana perbandingan pemerintahan yang ada dalam Perjanjian Lama dengan pemerintahan pada zaman Paulus mengirimkan suratnya kepada jemaat Roma?
-          Bagaimana seharusnya gereja melihat bentuk dan konsep pemerintahan yang ada sekarang ini?
1.3.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari pembahasan judul ini, adalah sebagai berikut:
-          Meneliti pemerintahan yang berasal dari Allah
-          Untuk mengetahui perkembangan bentuk pemerintahan berdasarkan surat Roma, dari zaman Perjanjian Lama sampai zaman Roma 13.
-          Untuk mengetahui makna perikop ini terhadap konsep pemerintahan yang berkembang pada zaman Roma 13.
-          Untuk mengetahui tindakan apa yang perlu dilakukan oleh gereja terhadap pemerintahan sekarang.
1.4.     Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan dapat memaparkan dengan jelas pemahaman  nats Roma 13;1-7 bahwa pemerintahan itu berasal dari Allah menurut Paulus. Dengan demikian tulisan ini diharapkan dapat memberikan paradigma dan pola berpikir baru dan kontekstual bagi pembaca, khususnya:
-          Untuk mengembangkan pemahaman teologis terhadap bentuk dan konsep Paulus tentang pemerintahan yang berasal dari Allah, melalui teks Roma 13:1-7
-          Untuk lebih membuka wawasan para mahasiswa/i tentang konsep pemerintahan menurut Paulus.
-          Untuk mengetahui bagaimana seharusnya gereja bertindak terhadap pemerintahan yang ada pada sekarang ini.
1.5.     Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan  hanya terbatas kepada sumber-sumber tulisan ilmiah para Teolog, menelusuri buku-buku yang berhubungan dengan kebenaran dan iman orang percaya.  Dengan metode Literatur dan Historis Kritis penulis dapat memaparkan landasan biblikanya, secara khusus Surat Roma 13;1-7. Penulis akan melihat perbandingan-perbandingan konsep pemerintahan dalam Perjanjian Lama sampai pada zaman Roma 13 agar lebih mudah dalam menjelaskan bagaimana seharusnya pemerintahan yang berasal dari Allah. Penulis juga akan melihat alasan Paulus memasukkan perikop ini kedalam suratnya. Sehingga nantinya akan terlihat dengan jelas “apa dan bagaimana pemerintahan yang berasal dari Allah” itu. Kemudian apa-apa saja kewajiban masyarakat kepada pemerintah yang berasal dari Allah. Demikian juga relevansi atau hubungannya dengan realitas masa kini, sejauh mana Gereja dapat menunjukan dan memahami konsep pemikiran Paulus tentang pemerintah.
1.6.      Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode Historis Kritis karena penulis melihat bahwa teks sangat cocok dijelaskan melalui metode tersebut, dengan melakukan prosedur syarat langkah-langkah hermeneutik pada teks melalui studi Historis. Penulis juga melihat bahwa metode ini dapat mencegah terjadinya pemaksaan penafsiran seseorang dalam budaya yang berbeda dengan konteks nats. Dengan kata lain, metode ini akan membawa penulis pada pemahaman yang benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan teks.
1.7.     Hipotesa
Sesuai dengan konsep pemikiran Paulus, Pemerintah yang berasal dari Allah untuk memberikan kesejahteraan kepada manusia. Negara dan Agama tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Apabila manusia sudah menjalankan semua kewajiban-kewajibannya sebagai masyarakat yang baik, maka pemerintahan itu akan berjalan sesuai dengan kehendak Allah.
1.8.     Sistematika Penulisan
Dalam rangka mempermudah penulisan ini, maka penulis membuat sistematika penulisan. Adapun deskripsi penulisan dari penelitian terhadap teks, yaitu Roma 13;1-7 adalah sebagai berikut:
Bab I. PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang Masalah
1.2      Rumusan Masalah
1.3     Maksud dan Tujuan Penulisan
1.4      Manfaat Penulisan
1.5      Ruang Lingkup Penulisan
1.6      Metode Penulisan
1.7      Hipotesis
1.8      Sistematika Penulisan
BAB II. LANDASAN TEORI
2.1 Studi Etimologi dan Terminologi
2.2. Latar Belakang Historis
2.1.1 Letak Geografis
2.1.2 Penulisan surat Roma
2.1.3 Alamat Penulisan
2.1.4 Konteks Historis Roma 13
2.3 Pendapat Para Ahli tentang Roma 13 :1-7
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Literer
3.1.1 Alasan Pemilihan Metode Literer
3.1.2 Dasar Metode Literer
3.1.3 Manfaat Metode Literer
3.1.4 Prinsip Metode Literer
3.2 Metode Historis Kritis
3.2.1  Alasan Pemilihan Metode Penafsiran Historis Kritis
3.2.2  Manfaat Metode Penafsiran Historis Kritis
3.2.3  Prinsip Metode Penafsiran Historis Kritis

BAB IV. TAFSIRAN DAN TEOLOGI
4.1     Pendekatan Kritik
4.1.1       Nats
4.1.2       Bentuk
4.1.3       Redaksi 
4.1.4       Situasi Historis
4.1.4.1            Tradisi Keagamaan
4.1.4.2            Tradisi Sosial-Ekonomi
4.1.4.3             Tradisi Politik
4.2     Tafsiran
4.3     Thema-thema Teologi
BAB V. RELEVANSI
BAB VI. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Studi Etimologi dan Terminologi
1.      evxousi,aij (exousiais) = kata benda datif feminim jamak, asal kata evxousi,a yang artinya adalah kekuasaan, kebebasan, keadilan, hak-hak kebenaran, kemampuan.
"Kekuasaan atau Authority" dalam bahasa Yunani memakai kata evxousi,a (exousia). Ini berasal dari kata kerja yang berarti exestin[12] yang mencakup (a) suatu tindakan adalah mungkin dalam arti bahwa tidak ada rintangan (b) suatu tindakan tidak dicegah oleh norma yang lebih tinggi. Exousia juga berarti hak untuk melakukan sesuatu yang bermakna pada kebebasan. Dengan mengacu kepada Allah, kekuasaan mutlak dan tak tertandingi (Lukas 12:5; Rom 9:21). Allah dapat memberikan atau mendelegasikan wewenang dalam berbagai cara (Wahyu 6:8; 14:18).[13]
Gereja memiliki "kekuasaan, kuasa" yang berasal dari tindakan Kristus atas namanya. Kristus "memberikan" kunci-kunci kerajaan ke gereja. Dalam Kristus, gereja memiliki exousia, atau "kebebasan" (1 Kor 8:9.). Tapi kebebasan ini harus digunakan untuk kesejahteraan orang lain, dan bukan untuk kepuasan diri sendiri. Kristus memiliki semua kekuasaan, dan ini memiliki implikasi signifikan bagi ekspresi "kekuasaan" diantara umat Kristus: kekuasaan diwujudkan melalui pengorbanan pemberian kehidupan seseorang untuk orang lain, dan dengan menegur satu sama lain dengan Firman Tuhan.[14] Ketika kekuasaan dikatakan berada pada orang karena posisi mereka.
2.      u`potasse,sqw = ‘hupotassestho’: kata kerja present aktif orang ketiga tunggal, asal kata adalah u`potassw – ‘hupotasso’= (menempatkan diri sebagai subjek, patuh, mematuhi, takluk).
Kata Yunani yang diterjemahkan "taat, patuh, takluk" di sini adalah u`potassw = Hupotasso. Ini adalah istilah yang berarti "untuk peringkat di bawah". Dalam banyak kasus, ketaatan merupakan bagian dari hal kepatuhan untuk sebuah kekuasaan yang ada di atas manusia. Kegagalan untuk memahami perbedaan antara penyerahan dan ketaatan telah melahirkan ajaran palsu yang telah menyebabkan beberapa orang untuk mematuhi orang lain dalam hal dosa. Itu tidak pernah diperintahkan dalam Firman Allah.[15]
Dalam bahasa Yunani, kata tersebut u`potassw, (hupotasso) yang berarti "untuk mengatur dalam struktur pemerintahan." Ini sebenarnya adalah sebuah istilah militer, dan di militer ada rasa kuat untuk taat, takluk kepada seseorang yang berpangkat lebih tinggi. Semuanya "diatur dalam urutan ke bawah." Artinya adalah manusia harus mengatur diri sendiri dalam susunan struktur, yaitu, sistematis, strukturalis di bawah yang lain. Hal tampak dalam berbagai terjemahan Alkitab bahasa Inggris selain King James Version (dan bahkan kadang-kadang dalam King James)[16] sebagai bawahan, mematuhi, tunduk, menyerahkan, menyerah, menjadi lemah, menderita, rendah hati, diletakkan di bawah.
Salah satu cara termudah untuk melihat bahwa seseorang dapat hidup tanpa mematuhi perintah durhaka adalah dengan melihat kehidupan Petrus. Petrus membuat beberapa pernyataan yang mencolok dalam 1 Petrus 2:13-14 ketika ia berkata, “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik.” Ini adalah Petrus yang sama yang menolak untuk mematuhi imam-imam kepala ketika mereka diperintahkan untuk tidak berbicara atau mengajar lagi dalam nama Yesus (Kis 4:18-19). Ketika Petrus dan Para Rasul lainnya terus mengajar dan berkhotbah tentang Yesus, imam besar dan tua-tua Yahudi memenjarakan mereka. Namun, secara kuasa Allah, mereka dibebaskan dari penjara oleh malaikat Tuhan yang memberitahu mereka untuk kembali ke kuil dan berkhotbah lagi (Kis 5:17-20).[17]
  1. qeou/ = kata benda genitive tunggal maskulin, asal kata qeoj yang berarti  Allah.
Dalam Alkitab Perjanjian Lama (Tanakh = Taurat, Nebiim, Khetubim) yang ditulis aslinya dalam bahasa Ibrani banyak dijumpai beberapa nama yang ditujukan kepada Allah, yaitu yang pertama adalah El/Elohim (םיהלא)/Eloah (hoaEl)) dan kemudian Yahweh (יהוה) dan Adonai (andoiA). El (El) biasa untuk menyebut nama diri (proper name) maupun nama sebutan/gelar/jabatan tetapi umumnya digunakan untuk menyebut nama diri Allah yang Maha Tinggi, El Elyon (nEEyol l) dan kemudian untuk menyebut Allah Israel El Elohee Israel (El Elohee Israel). Nama El juga biasa digabung dengan nama lain seperti El Shadday (El Shadday) atau Allah Maha Tinggi, El Olam (El Olam) atau Allah yang Kekal, El Bethel (El Bethel) Allah Bethel, El Roi (El Roi) Allah Maha Tahu, dan El Berith (El Berith) Allah Perjanjian.[18]
Elohim banyak terdapat dalam PL dengan pengertian sama dengan El yaitu baik sebagai nama diri maupun generik tetapi umumnya digunakan dalam bentuk jamak di samping tunggal. Nama Elohim menekankan Tuhan yang mutlak atas ciptaan dan sejarah, dan juga biasa digunakan untuk menyebut Yahweh sebagai Elohim Israel. Eloah adalah bentuk tunggal yang sama dengan Elohim. Baik El, Elohim & Eloah[19] mempunyai pengertian yang sama sekalipun ada juga perbedaannya dalam penggunaan tertentu.[20]
YHWH[21] (biasa dibaca Yahweh) terdiri dari 4 huruf konsonan yang disebut tetragrammaton. Nama ini khusus untuk menyebut nama diri Yahweh. Tetapi perlu diketahui bahwa nama ini baru dinyatakan kepada Musa tetapi belum kepada Abraham, Ishak dan Yakub (Kel.6:1-2). Dalam perkembangan naskah-naskah kuno terlihat bahwa agar nama ini tidak menjadi monopoli Israel kemudian digunakan mundur menjadi Allahnya Abraham Ishak dan Yakub (Kel.3:13-15), dan kemudian juga dijadikan Allah Umat Manusia di zaman Enos (Kej.4:26, Enos artinya manusia), dan kemudian lebih jauh lagi untuk menyebut Allah pencipta langit dan bumi (Kej.2:4). Sekalipun kelihatannya nama Yahweh disebut sebagai nama satu-satunya, kenyataannya dengan namaEl/Elohim/Adonai (terutama El) masih sering dipertukarkan dan bahkan di kitab Yesaya, sesudah pembuangan nama El masih dipakai sebagai nama diri Tuhan (Yes.40:18;43:10,12;45:14).[22]
Berbeda dengan anggapan bahwa nama Allah tidak boleh diterjemahkan, kenyataannya, nama-nama itu diterjemahkan secara resmi. Ketika bahasa Ibrani menjadi bahasa mati (tidak digunakan sebagai bahasa percakapan tetapi sebagai bahasa tulisan kitab suci) pada zaman Ezra (abad IV/V sM.) bahasa Aram menggantikan bahasa Ibrani, dan abad-abad berikutnya (abad IV sM.) kerajaan Yunani menguasai sekitar Laut Tengah dan secara resmi atas permintaan Ptolomeus Philadelphus di Iskandariah, pada abad III sM., Imam Besar Bait Allah Eliezer di Yerusalem menyuruh 72 tua-tua Israel untuk menerjemahkan Tanakh ke bahasa Yunani atas permintaan Ptolomeus Philadelphus dan terjemahan ini disebut Septuaginta.[23]
Dalam Perjanjian Baru, Allah itu diberi nama Qeoj. Kata θεος - THEOS pada mulanya digunakan oleh penyembah berhala, namun dalam Perjanjian Baru Yunani digunakan sebagai nama, gelar, atau panggilan dari Allah yang benar. Penyembah berhala menganggap "ilah-ilah" adalah pencipta dan pengatur segala sesuatu. Orang-orang Yunani purba menggunakan kata ini baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Jika mereka menggunakan bentuk jamak, hal ini mengisyaratkan keyakinan mereka bahwa unsur-unsur ilah itu memiliki tugas penciptaan dan pengaturan masing-masing, misalnya ilah uang yang disebut dengan mamon.[24]
Septuaginta senantiasa menerjemahkan kata Ibrani אלהים - ELOHIM dalam bentuk jamak dengan bentuk tunggal θεος - THEOS dan bukan bentuk jamak θεοι - THEOI bila merujuk kepada Allah yang benar. Alasan penerjemahan ini barangkali adalah pada saat terjemahan Septuaginta dilakukan, penyembahan berhala Yunani mengatasi segala-galanya terutama di Mesir. Ilah-ilah mereka dianggap sebagai roh-roh jahat. Jika para penerjemah menggunakan kata Allah dalam bentuk jamak θεοι - THEOI, maka kata Allah ini tidak konsisten dengan kesatuan hakekat ilahiNya. Dengan menerjemahkan kata אלהים - ELOHIM menjadi θεος - THEOS yang tunggal, untuk menanamkan ide keesaan Allah dan sekaligus tidak membantah keesaan yang kompleks dalam hakekat Allah.[25]
Dalam Perjanjian Baru, ada beberapa nama yang dialamatkan untuk menyebut Allah, yaitu:[26]
1.        Theos (Qeoj)
Nama Allah dalam Perjanjian Baru mempunyai bentuk yang setara dengan nama Allah dalam Perjanjian Lama. Bagi nama El, Elohim dan Elyon, nama dalam bahasa Yunaninya adalah Theos, yang merupakan nama paling umum dari Allah. Seperti juga nama ‘Elohim’, nama ini juga mungkin saja merupakan penyesuaian dari nama ilah bangsa kafir, walaupun sesungguhnya secara tegas nama itu menyatakan keilahian yang esensial. ‘Elyon’ sering disejajarkan dengan Hupistos Theos (u.pistoj Qeoj) (Mark.5:7; Luk.1:32,35,75; Kis.7:48; 16:17; Ibr.7:1). Nama Shaddai dan El-Shaddai disejajarkan dengan Pantokrator dan Theos Pantokrator (2Kor.6:18; Why.1:8; 11:17; 15:3; 16:7,14). Akan tetapi, pada umumnya Theos lebih sering muncul dalam genitif yang menyatakan milik, seperti mou, sou, hemon, humon, sebab di dalam Kristus, Allah dapat dianggap Allah dari segala umat-Nya atau anak-anak-Nya. Ide nasional dari Perjanjian Baru telah memberi tempat bagi orang-orang secara individual dalam agama.

2.        Kurios (Kurioj)
Nama Yahweh dieksplisitkan beberapa kali oleh variasi-variasi dari bentuk deskriptif seperti “Alfa dan Omega”, “yang dulu ada, yang sekarang ada dan yang tetap akan ada”, “yang awal dan yang akhir”, “yang pertama dan yang terakhir.” (Why.1:4,8,17; 2:8; 21:6; 22:13). Akan tetapi selebihnya Perjanjian Baru mengikuti Septuaginta yang menggantikan Adonay dengan kata ini dan menyetarakannya dengan Kurios, yang diturunkan dari kata kuros yang berarti kuasa. Nama ini tidak mempunyai konotasi yang tepat sama dengan Yahweh, tetapi menunjuk Allah sebagai Yang Mahakuasa, Tuhan, Pemilik, Penguasa yang memiliki kekuasaan resmi dan juga otoritas. Kata ini tidak hanya dipakai untuk menunjuk Allah, tetapi juga menunjuk Kristus.
3.        Pater (Pater)
Sering dikatakan bahwa Perjanjian Baru menyebut Allah dengan sebutan baru, yaitu Pater (Bapa). Hal ini hampir tidak benar. Nama “Bapa” dipakai untuk menunjukkan Keilahian, bahkan juga oleh bangsa kafir dalam agama mereka. Kata itu dipakai berulang-ulang dalam Perjanjian Lama untuk menunjuk hubungan antara Allah dan Israel. (Ul.32:6; Mzm.103:13; Yes.63:16; 64:8; Yer.3:4,19; Mal.1:6; 2:10), sedangkan Israel disebut anak Allah (Kel.4:22; Ul.14:1; 32:19; Yes.1:2; Yer.31:20; Hos.1:10; 11:1).
Dalam contoh-contoh itu nama tersebut mengekspresikan hubungan teokratis dimana Allah berdiri bagi Israel. Dalam pengertian yang asli tentang pemulai dan pencipta, kata itu dipakai dalam Perjanjian Baru sebagai berikut: 1Kor.8:6; Ef.3:15; Ibr.12:9; Yak.1:18. Dalam bagian-bagian lain kata itu menunjukkan hubungan yang khusus dimana pribadi pertama dari Allah Tritunggal berelasi dengan Kristus, sebagai Anak Allah, baik dalam pengertian metafisik atau dalam pengertian sebagai pengantara atau hubungan etis dimana Allah berdiri bagi orang percaya sebagai anak-anak rohani-Nya.
2.2. Latar Belakang Historis
                2.2.1 Letak Geografis
Kota Roma mencakup segala macam daerah, iklim, suku bangsa, bahasa, dan kebudayaan, tidak saja dipersatukan oleh politik Romawi tetapi juga oleh kebudayaan Yunani. Seperti dikatakan oleh D. Kuhl, “Dalam pengetahuan umum, kesenian, kesusastraan, dan filsafat/logika kebudayaan Yunanilah yang menjadi alat pemersatu. Sedangkan dalam ilmu hukum, bidang administrasi, dan kemiliteran peranan Romawi yang berpengaruh.” Sesungguhnya hal ini menyatakan bahwa ada dua kekuasaan yang tetap eksis, secara politik oleh Romawi dan kebudayaan oleh Yunani. Keduanya secara berturut-turut menguasai dunia.[27]
Kebudayaan Yunani sangat tinggi sehingga mampu merembesi seluruh daerah Mediterania bahkan ibu kota penguasa dunia pada saat itu, Roma.  Tentang dua kekuasaan ini J. I. Packer menyatakan: Kekuatan politik Yunani telah berlalu, tetapi budaya dan suasana Yunani telah menjadi fondasi bagi kebudayaan kekaisaran Romawi, sebagimana seorang penulis Romawi, Horatius, mengamati bahwa “Orang Yunani yang tertawan telah menawan penawannya.” Kesenian, literatur, dan gaya pemerintahan Yunani berkembang dengan subur hampir sepanjang periode Romawi ini.  Bahkan bahasa Yunani koine tetap menjadi bahasa resmi dunia usaha di Timur Dekat, dan Perjanjian Baru sendiri ditulis dalam bahasa ini.[28]
                2.2.2 Penulisan Surat: Penulis dan Tahun Penulisan
a. Penulis
Pengarang surat ini adalah rasul Paulus, yang memperkenalkan dirinya di awal surat (Roma 1:1) dengan namanya "Paulus", identitasnya "hamba"/budak (doulos) Yesus Kristus, tugas panggilannya "rasul" atau apostolos dan tujuan pekerjaannya "dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah". Surat ini sendiri tidak ditulis tangan oleh Paulus, melainkan menggunakan jasa seorang sekretaris bernama Tertius, yang menyatakan dirinya pada ayat Roma 16:22. Rasul Paulus disebut sebagai penulis surat Roma terdapat dalam Roma 1:1. Ia adalah hamba Yesus Kristus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. Ia seorang Israel, keturunan Abraham, dari suku Banyamin (Rm. 11:1; lih. Flp. 3:5). Menurut Kisah Para Rasul 22:3 (bnd. 21:39) Paulus lahir di kota Tarsus di tanah Kilikia. Sejauh ini perdebatan tentang siapa penulis surat Roma tidak menjadi persoalan. Walaupun para pakar teologi liberal pernah berpendapat bahwa rasul Paulus tidak menulis surat Roma. Namun perdebatan tersebut telah terselesaikan dan hampir semua menerima bahwa rasul Paulus adalah penulis surat Roma.[29] Bukti dalam surat ini sendiri sangat meyakinkan. Sejumlah peristiwa dan tokoh yang ditulis di dalam surat ini juga diceritakan dalam kitab-kitab lain. Misalnya tentang perjalanan Paulus ke Yerusalem untuk membawa persembahan dari Makedonia (Rm. 15:25-27 bnd. Kis. 19:21; 20:1-5; 21:15-19; 1 Kor. 16:1-5; 2 Kor. 8:1-12; dan 9:1-5), mengenai Priskila dan Akwila (Rm. 16:3 bnd. Kis. 18:2-3, 18-19), tentang kerinduan Paulus untuk datang ke Roma (Rm. 1:10-15; 15:22-32 bnd. Kis. 19:21). Dukungan eksternal mengenai eksistensi surat ini juga sangat mendukung kesimpulan di atas. Marcion (seorang bidat) muncul pada pertengahan abad kedua yang berusaha mendirikan gereja baru.[30] Jacob van Bruggen menyatakan, “Gereja Marcion memiliki ajaran sendiri, liturgi sendiri, dan yang terpenting, memiliki kanon sendiri.”[31] Dalam kanonnya gereja Marcion menerima seluruh surat-surat Paulus kecuali surat-surat kepada Timotius dan Titus.[32] Suatu karya dari tokoh lain yaitu dari Eusebius dalam bukunya Sejarah Gereja Kristen (Historia Ecclesiastica) menyinggung tentang hal ini. Di sana dapat ditemukan semacam daftar tulisan Perjanian Baru yang dikelompokkan menurut ciri khasnya masing-masing. Surat-surat Paulus termasuk dalam kelompok homolougomena yang diakui sebagai kanonik dan tidak ada masalah mengenai penulisnya.[33] Data-data yang telah diuraikan di atas menjadi bukti yang kuat terhadap apa yang telah dinyatakan dalam Roma 1:1, yaitu bahwa rasul Paulus adalah penulis surat ini, dan sekaligus menyatakan nilai keotentikkannya yang tidak bisa diragukan.
b. Tempat dan Tahun Penulisan
Informasi dari Surat 1 Korintus, Surat 2 Korintus, Surat Roma ini dan Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa surat ini ditulis di Korintus sekitar waktu Paulus mengumpulkan uang untuk membantu jemaat di Yerusalem yang saat itu sangat miskin dan membutuhkan dana dari berbagai jemaat di sekitar Laut Tengah. Ketika surat ini dibuat, Paulus sudah selesai mengumpulkan dana dan sedang bersiap-siap untuk membawakan dana kepada jemaat di Yerusalem. Diperkirakan bahwa Paulus menulis surat ini ketika tinggal di rumah Gayus di Korintus. Nampaknya Paulus berniat naik kapal langsung dari Korintus ke Yudea. Pada waktu itu juga, Febe, seorang diaken perempuan yang melayani di Kengkrea, akan berangkat dari Korintus ke Roma dan dialah pembawa surat Roma ini, sehingga Paulus meminta jemaat di sana menyambutnya dengan baik.[34]
Semua pelayaran di Laut Tengah praktis dihentikan setelah tanggal 11 November, karena cuaca buruk selama musim dingin, dan baru dimulai lagi tanggal 10 Maret setiap tahunnya, sehingga surat Roma rupanya ditulis sebelumnya, yaitu pada musim gugur tahun 57 M. Rencana Paulus sendiri berubah karena ancaman orang Yahudi, sehingga Paulus tidak jadi naik kapal dari Korintus, melainkan berjalan kaki ke Makedonia dan berlayar ke Yerusalem dari Filipi pada musim semi tahun berikutnya (58 M). Paulus baru sampai di Roma setelah ditangkap dan diadili di Yudea.[35]
                2.2.3 Alamat Penulisan
Surat Paulus ini sudah pasti ditujukan kepada jemaat di Roma. Jemaat Roma pada saat itu sedang mendapat banyak tekanan baik dari orang Yahudi maupun orang-orang Roma sendiri dan selain itu di dalam tubuh jemaat Roma sendiri sedang terjadi konflik. Oleh karena itu Paulus mengirimkan surat ini untuk menasihati jemaat di Roma, bagaimana seharusnya bersikap terhadap keadaan mereka dan bagaimana sikap mereka kepada pemerintah. Paulus menulis surat ini untuk menjelaskan pengertiannya tentang agama Kristen dan tuntutan-tuntutannya yang praktis untuk kehidupan orang-orang Kristen. Sepanjang surat ini, Paulus menekankan bahwa hukum Taurat tidak lagi mengikat sebagai hukum, karena Taurat tersebut tidak lagi berlaku, kecuali sebagai sejarah kudus yang menceritakan bagaimana umat bisa sampai pada keadaan sekarang ini.[36]
                2.2.4 Konteks Historis Roma 13
Beberapa orang menganggap bahwa surat Roma sebagai suatu ringkasan komprehensif dari seluruh teologis Paulus, tetapi itu asumsi yang kurang tepat dan tak berfaedah. Surat Roma lebih baik dipahami sebagai suatu uraian yang disusun secara lebih teratur terhadap tema pokok yang dibahas Paulus dalam surat Galatia dan 1-2 Korintus (terutama 1 Korintus).[37]
Pada masa pemerintahan Claudius, Roma menjadi negara birokrasi, dipimpin oleh pelbagai komisi dan sekretariat. Claudius memperluas hak kewarganegaraan Romawi kepada penduduk yang berkependudukan tinggi di propinsi-propinsi. Claudius berusaha keras untuk mengembalikan dominasi agama Romawi kuno dalam masyarakat seperti pada masa dulunya. Seutonius mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Claudius, orang-orang Yahudi diusir dari Roma karena beberapa kerusuhan yang terjadi “atas anjuran seorang yang bernama Chrestus”. Namun, sebagai misi untuk mewujudkan pemerintahan yang birokratis, maka Claudius memanggil orang-orang Yahudi yang dulu sempat pernah diusir untuk datang kembali ke Roma, dan claudius juga memberokan hak kewarganegaraan kepada penduduknya.[38]
Latar belakang Paulus memasukkan perikop ini ke dalam suratnya adalah karena orang-orang Yahudi suka memberontak sampai ke Palestina, terutama ke Galilea. Selain daripada itu, ada golongan Zelot; mereka yakin bahwa tidak ada raja bagi orang-orang Yahudi kecuali Allah; dan tidak ada upeti yang harus dibayarkan kepada siapapun, kecuali kepada Allah. Mereka juga tidak puas dengan perlawanan pasif. Mereka yakin bahwa Allah tidak akan menolong mereka kecuali mereka memulai tindakan kekerasan untuk menolong diri mereka sendiri. Tujuan mereka ialah untuk meniadakan pemerintahan sipil. Mereka tidak hanya melakukan terror terhadap pemerintah Romawi, mereka juga menghancurkan rumah-rumah dan membakar tanaman dan membunuh sesama Yahudi yang membayar upeti kepada pemerintah romawi. Dalam hal ini, Paulus sangat tidak setuju karena secara langsung berlawanan dengan sikap kristen. Namun setidak-tidaknya bagi sebagian umat Yahudi, sikap itu dibenarkan. Mungkin Paulus menuliskan perikop ini untuk memisahkan kekristenan dari pemberontakan Yudaisme dan untuk menjelaskan bahwa kekristenan dan kewarganegaraan yang baik berjalan bersama-sama.[39]
Tetapi yang lebih penting dari semua itu, pandangan Paulus tentang pemerintah adalah bahwa kekaisaran Romawi sebagai sebuah alat ilahi yang ditunjuk untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan. Jika kekaisaran itu disingkirkan maka dunia akan terpecah-belah. Secara ideal, orang-orang seharusnya diikatkan menjadi satu oleh kasih Kristen untuk bekerja dan Paulus melihat perekat yang menyatukan mereka adalah pemerintah. Paulus melihat pemerintah sebagai suatu alat ditangan Allah untuk menjaga dunia dari kekacauan. Mereka yang mengurus pemerintahan adalah orang-orang yang memainkan bagiannya dalam tugas yang besar itu.[40]

2.3 Pendapat Para Ahli tentang Roma 13 :1-7
2.3.1. Martin Luther[41]
Hubungan Gereja dan Negara menurut Martin Luther
Dalam menjelaskan hubungan antara gereja dan Negara, Luther menggunakan teori atau ajaran tentang “dua kerajaan” atau “dua pemerintahan”. Luther menarik suatu perbedaan antara pemerintahan “spiritual” yang berasal dari Allah yang diberlakukan melalui firman Allah dan tuntunan Roh Kudus, dan pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pengeran-pangeran dan hakim-hakim dengan mempergunakan pedang dan hukum Negara. Luther juga menekankan perbedaan antara konsepsi manusia dan konsepsi Ilahi tentang “kebenaran” atau “keadilan”, suatu tema yang merupakan karakteristik dari “teologi salib”.[42]
Luther mengatakan bahwa Allah memberi kepada gereja kuasa untuk mengurusi kehidupan rohani dari umat yang sudah berada dalam lingkungan kerajaan Allah, sedangkan kepada negara, Allah memberikan kuasa mengurusi kehidupan duniawi untuk menertibkan orang-orang jahat, sekaligus menolong gereja mengupayakan orang-orang yang belum Kristen itu bisa masuk ke dalam naungan kerajaan Allah. Dengan alasan itu pula maka Luther setuju bila orang Kristen duduk dalam pemerintahan. Ia menerima pandangan Augustinus yang mengatakan bahwa pemerintahan Kristen harus memerintah dengan akal, kasih dan kehendak baik. Pemerintah atau pangeran-pangeran itu harus tetap melaksanakan tugas ilahi (Luther mengacu pada Roma 13:1-7, I Petrus 2:13-14).[43]
Dalam menanggapi Roma 13, Luther melihat bahwa percakapan tentang aspek eskatologis di dalam teks menunjuk kepada pemakaian kata evxousi,a dalam ayat 1(2 kali), ayat 2 (1 kali), dan ayat 3 (1 kali). Menurutnya kata itu bisa diterjemahkan ke dalam kuasa malaikat. Implikasinya ditarik dari kepatuhan kepada otoritas politis dalam kerangka kekuasaan ilahi yang terwujud di dalam diri para penguasa politis. Namun banyak penafsir yang menolak pandangan itu, bahwa ide dalam Roma 13:1-7 tidak menyangkut malaikat melainkan semata-mata soal nasehat umum tentang kesetiaan kepada pemerintah.[44]
Kalimat “setiap orang harus takluk kepada pemerintah yang ada di atasnya” menguatkan pandangan Luther, bahwa kalimat itu menghunjuk kepada pemahaman bahwa hal “takluk kepada pemerintah” adalah mutlak. Demikianlah kehendak Tuhan terhadap semua orang, yang Kristen maupun yang bukan Kristen agar jemaat tidak condong kepada kekacaubalauan dan menjadi anarkis.[45]

2.3.2. Irenaeus[46]
Dalam upaya melawan tafsiran Gnostik yang memandang pemerintah sebagai wakil kekuasaan malaikat. Menurutnya, 1 Petrus 2:13-17 adalah tafsiran atas Roma 13, walaupun itu masih bisa dipersoalkan. Bagaimanapun sudah ada jaminan bahwa tema politis ini ada di dalam tradisi berdasarkan pemakaiannya pada daftar nasehat dalam 1 Petrus 2 itu. Tidak bisa diabaikan bahwa pemakaian kata  u,pacouein (= patuh), biasanya menunjukkan kepatuhan yang bebas, sementara kata u`potasse,sqw (tunduk atau patuh) yang dipergunakan Paulus dalam Roma 13:1 menekankan dengan lebih kuat kenyataan bahwa perintah ilahi memerintah dunia yang didirikan oleh Allah dan dengan demikian menghasilkan struktur super and sub-ordination untuk menghindari kekacauan masyarakat. Memang kata ini dapat juga dipergunakan untuk melawan kecenderungan emansipasi budak dan wanita Kristen untuk kesetaraan. Bagi rasul Paulus, kepatuhan kepada Allah didemonstrasikan di dalam bentuk duniawi dengan tidak meninggalkan keadaan subordinasi, tetapi di dalam bentuk kerendahan hati sebagai tanda kehidupan orang Kristen.[47]

2.3.3. Ernst Kaseman[48]
Käsemann mulai memperhatikan ajaran Yahudi secara lebih bersungguh-sungguh dibandingkan dengan kebanyakan rekan-rekan semasanya, dan menganggapnya sebagai bacaan yang sangat penting tentang Paulus dan Dia bahkan terkenal karena menggambarkan apokaliptisisme sebagai “induk teologi Kristen”. Tafsiran Käsemann tentang Surat Roma dari Paulus, yang pertama kali diterbitkan pada 1973, menjadi sebuah karya standar untuk generasi itu.[49]
Dia menunjuk pada tiadanya motivasi kristologis di dalam teks, lagi pula jika ini merupakan kutipan (dari ucapan Yesus), maka Paulus cukup mengatakannya Dan mengulangi kata apodidwnai, kata yang biasanya dipakai untuk membayar pajak. Memang hubungan dan kesinambungan antara perikop di depan, Roma 12:1ff. dan Roma 13:8ff. tidak ada. Jadi apa yang ditampilkan dalam Roma 13:1-7 adalah bentuk kasih yang  istimewa dan khusus. Kata evxousi,a tetagmenai (tetagmenai, berasal dari tassw, artinya mengangkat dan menetapkan; lih. Roma 13:1) menunjuk pada pejabat-pejabat tinggi Romawi. Ketika pejabat kekaisaran mengeluarkan perintah-perintah, tugas yang diberikan Allah, sehingga menjadi diatage ilahi, (diatagh, = ketetapan, Roma 13:2). Artinya ini bukan sesuatu yang abstrak. Hubungan masyarakat dengan ketentuan itu dilukiskan dengan kesetiaan, kepatuhan dan dalam hubungannya dengan menguasai dan kewajiban. Kata kalos (ayat 4) bukan ungkapan yang menyatakan kualitas moral melainkan menunjuk pada tindakan politis yang baik untuk mengingatkan masyarakat akan tugasnya dan membayar pajak tanpa keberatan. Bukti kuat dari paham demikian hanya akan muncul dari keyakinan bahwa teks ini sifatnya hortatoris (mengingatkan, peringatan dengan memberikan dukungan) dan bahwa tekanan bukan pada aspek teologis dan metafisis tetapi pada nasehat agar masyarakat memahami dirinya sebagai bawahan dari mereka yang mempunyai otoritas.[50]
2.3.4. Hasan Sutanto[51]
Sutanto mempergunakan kata “setiap jiwa” untuk “tiap-tiap orang” dari terjemahan LAI, atau every soul (King James Version) dan Pasa Yuch dalam bahasa Yunani. Kata jiwa disini lebih menekankan totalitas manusia yang harus tunduk kepada pemerintah. “Harus tunduk” dipahami sebagai kesetiaan dan kemauan menuruti pemerintah yang kuasanya berasal dari Allah. Kata “hamba Allah”, diakonoj, menunjukkan bahwa pemerintahan adalah suruhan Allah.[52]
                Tidak dapat disangkal bahwa “agama Kaisar” adalah agama yang ketika itu secara politis didukung sangat luas. Namun demikian, pemikiran Paulus lebih banyak dilatarbelakangi oleh Yudaisme dan secara lebih khusus oleh sinagoge diaspora. Ungkapan-ungkapan yang menekankan kesetiaan kepada raja adalah tradisi yang terdapat di sepanjang sejarah. Paulus di sini menghargai dan mengambilalih tradisi-tradisi itu. Ungkapan Perjanjian Baru, Pasa Yuch, “semua jiwa”, mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kuasa yang ada di atasnya. Teks itu kemudian diubah menjadi teks pengakuan rasuli bagi semua bangsa dan zaman, artinya, nasehat itu diubah menjadi proklamasi Taurat bagi seluruh dunia dan rasul Paulus menjadi Musa baru yang membawa Taurat Perjanjian Lama ke dalam universalitas, bahwa oleh kehendak Allah, dunia telah jatuh menjadi menifestasi dan alat keteraturan yang dicipta Allah dan bahwa dalam hal ini Pencipta mendemonstrasikan campur tangan-Nya.[53]
               

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Historis Kritis
Dalam surat Roma ini, konteks permasalahan yang ada pada masa itu adalah perselisihan antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Orang Yahudi menganggap bahwa mereka lebih kuat daripada orang-orang non-Yahudi terkait kedudukannya di Roma. Pada dasarnya, seorang Kristen bukan Yahudi adalah orang yang telah menjadi Kristen secara langsung dari kekafiran tanpa disunat terlebih dahulu. Orang-orang bukan Yahudi kelihatannya diperkenankan menjadi orang Kristen hanya setelah pertama-tema menjadi Yahudi. Pertikaian yang terjadi dalam gereja Roma pada dasarnya terjadi karena orang Yahudi bersikeras bahwa mereka harus disunat dan mereka selalu menindas orang-orang non-Yahudi ini. Pada masa itu, pemerintah Roma juga menetapkan pajak yang tinggi kepada seluruh rakyatnya padahal setengah dari rakyatnya adalah orang miskin. Dengan melihat keadaan inilah maka Paulus menuliskan suratnya dengan memasukkan himbauan-himbauan yang ditujukan kepada gereja yang dituntut supaya lebih bisa menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga yang ada disekitarnya. Roma 13:1-7 dimulai dengan bagian mengenai pemerintahan yang sering disalahtafsirkan.[54] Supaya tidak adanya kesalahan dalam menafsir, maka diperlukanlah adanya penafsiran dan kritik, seperti penafsiran Historis Kritis ini.
3.1.1. Alasan Pemilihan Metode Historis Kritis
Surat Roma 13 :1-7 tidak dituliskan kepada jemaat Kristen pada masa kini, tetapi kepada jemaat Kristen mula-mula. Namun teks tersebut merupakan bagian dari Alkitab yang diwariskan kepada jemaat Kristen pada masa kini sebagai Firman Allah yang hidup. Dalam Roma 13, Paulus memfokuskan pembahasannya pada ketegangan antara individu dan masyarakat secara umum dalam kaitan dengan masalah ketaatan atau ketidaktaatan. Masalah yang timbul berkaitan dengan tanggung jawab individu terhadap tatanan sosial, sepanjang tatanan sosial itu diatur oleh hukum yang ditegakkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam pemerintahan. Dengan kata yang sederhana, sebenarnya Paulus menasehati jemaat di kota Roma agar taat kepada pemerintah Roma pada waktu itu, karena pemerintah Roma dengan program Pax Romana-nya yang hebat itu telah berhasil mewujudkan suatu tata pemerintahan yang relatif adil dan tertib bagi seluruh penduduknya. Pada tahun 63 s.M., kejatuhan Yudea ke pemerintahan Romawi, seluruh kerajaan Yunani jatuh ke tangan kerajaan Romawi kecuali Mesir. Meskipun terjadi peralihan kekuasaan, tetapi kebudayaan Yunani tetap terjaga dan bahkan menjadi satu kesatuan kebudayaan di seluruh pemerintahan Romawi. Hal tersebut ditandai dengan digunakannya bahasa Yunani Koine sebagai bahasa persatuan.[55]
Metode penafsiran Historis Kritis akan menghantarkan penulis masuk ke dalam kehidupan jemaat pada masa lampau dimana mereka telah menerima surat tersebut. Penulis akan melihat dan mengerti dengan pesan yang diberikan oleh Roma 13:1-7 kepada kehidupan jemaat terdahulu sehingga dapat menjawab pergumulan iman di dalam konteks kehidupan masa tersebut.[56]
3.1.2. Dasar Metode Historis Kritis
Metode historis kritis adalah salah usaha mendekati pengertian perjanjian lama, untuk mendekati dunia Perjanjian Baru dari sistem-sistem, seperti pendekatan antropologi, religio-historis, kesusastraan, sosiologi, arkeologi dan teologi. Apabila Perjanjian Baru dipandang sebagai saksi Firman dan Tindakan Allah”, maka sifat-sifat manusia yang ada di sekitar dunia Perjanjian Baru itu dapat dipelajari kaidah dan tujuannya. Untuk para penafsir, kaidah itu harus berpedoman supaya tetap sesuai dengan Alkitab. Kewibawaan Alkitab adalah yang pokok untuk ukuran-ukuran mengerjakan ilmu tafsir.[57]
                Hubungan penafsir di dalam meneliti nats tidak cukup hanya dengan pengarang-pengarang kitabnya saja, tetapi lebih dari itu, “hubungan kehidupan” dijumpai pada manusia sekarang, pada manusia di sepanjang sejarah Alkitab, termasuk sifat-sifat umum yang dibutuhkan atau yang dihayati sebagai ciptaan Allah.[58]
3.1.3. Manfaat Metode Historis Kritis
Tujuan metode ini bukanlah untuk mengubah nats-nats yang ada, bukan pula hendak merombak, sehingga menyusun suatu konstruksi yang baru, melainkan untuk mendakati kedudukan nats dengan benar serta menerangkannya dengan baik, apa isi pemberitaannya untuk gereja dan manusia yang ada di sepanjang zaman. Fungsi metode ini adalah sebagai “alat” untuk membuka aspek-aspek yang kurang jelas di sekitar nats, tetapi juga menguji pandangan-pandangan dalam sesuatu ajaran yang menyangkut iman gereja, baik dalam pemberitaannya maupun dalam pengajarannya.[59]
Teks Roma 13 :1-7 telah mengalami sejarah panjang di dalam penggunaannya, baik itu ketika diterjemahkan ke dalam bahasa setiap bangsa, maupun ketika ditafsirkan oleh para penafsir kepada kehidupan di masanya, sampai kepada peredaksian terakhir dan digunakan oleh setiap orang di seluruh dunia. Teks ini berbicara tentang hubungan pemerintah dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Paulus menyebutkan bahwa seluruh manusia harus tunduk kepada Pemerintahan yang ada di atasnya karena semua pemerintahan itu berasal dari Allah dan menjadi alat Allah di dunia ini untuk mengatur kehidupan manusia sesuai dengan tatanan kemasyarakatan. Interpretasi Roma 13:1-7 telah diubah dengan sejarah menginformasikan refleksi Kristen pada tanggung jawab politik. Awalnya teks diterima sebagai nasehat mendesak komunitas Kristen untuk tidak menolak upaya negara untuk memerintah, tanpa dukungan dari negara atau kebijakannya. Namun, pada abad kelima, itu dibaca cukup berbeda.[60]
Dengan metode Historis Kritis, maka penulis dapat melihat setiap proses yang telah terjadi di dalam teks tersebut. Metode Hermeneutis Historis Kritis ini digunakan bukanlah dalam rangka mengubah teks, atau merombaknya dan menyusun konstruksi yang baru, tetapi mendekati kedudukan teks ini yang benar dan menjelaskannya. Dengan demikian metode ini dapat menguji ajaran yang menyangkut iman gereja, baik dalam pemberitaan maupun pengajaran.[61]
3.1.4. Langkah-langkah Metode Historis Kritis
Dr. A.A. Sitompul dan Dr. Ulrich Beyer, kemudian menjelaskan prinsip-prinsip yang akan digunakan oleh penulis dalam melakukan penafsiran dengan metode Historis Kritis, antara lain:[62]
1.        Kritik Nats
Di dalam kitab Novum Testamentum Graece, Nestle-Aland versi ke-26, teks Roma 13 :1-7 memiliki banyak komentar apparatus, yang berarti teks ini memerlukan pendekatan nats, sehingga penulis dapat menentukan tulisan teks aslinya. Misalnya Papirus-papirus yang ada di Dublin: Chester beatty dan Ann arbor, Mich kira-kira pada tahun 200 dan Papirus yang lainya menyarankan mengganti Pa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqw menjadi Parais exou uperec upotassesqe. Dengan demikian, akan banyak terjadi pertimbangan-pertimbangan dalam hal menentukan saran-saran pergantian dari Apparatus tersebut.[63]
Teks Roma 13 :1-7 juga dituliskan dalam bahasa Yunani, maka diperlukan pendekatan kepada teks asli, jika memungkinkan penulis dapat menggunakan salinan-salinan tua, terjemahan-terjemahan yang lama dan kutipan-kutipan teks tersebut yang digunakan oleh bapa gereja. Dengan demikian penulis dapat lebih dekat kepada teks asli dari Roma 13 :1-7 yang kemudian akan ditafsirkan ke dalam konteks terjemahan pada masa kini. Dengan kritik nats, maka penulis akan menggabungkan atau mengumpulkan bukti-bukti, serta membandingkan teks asli dengan manuskrip yang ada, sehingga dapat diketahui kesalahan atau perubahan teks, serta alasannya mengapa terjadi perubahan tersebut. Dengan demikian penulis dapat merekonstruksi sejarah teks terhadap kemungkinan yang telah dimiliki tersebut.[64]
2.        Kritik  Bentuk
Tugas dalam analisis bentuk adalah menganalisis nats melalui bentuk bahasa, susunan dari satuan nats, demikian pula bidang kehidupannya atau secara harafiah disebut “sitz im Leben” (bagaimana teks itu dipahami oleh orang-orang yang ada pada masa itu dan bagaimana teks itu diajarkan pada masanya). Bukan tentang kapan nats itu dituliskan tapi bagaimana dan pada saat apa nats itu diperdengarkan pertama kalinya. Surat Roma 13:1-7 bila dilihat dari sudut pandang yang murni sastra, dokumen ini akan menyajikan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang telah dibicarakan sejauh ini dalam semua surat Paulus, dimana isi suratnya selalu mempunyai kaitan langsung dengan keadaan jemaat. 
3.        Analisis Sejarah Peredaksian
Makna dasar yang harus kita pahami dalam meneliti sejarah peredaksian adalah melihat proses penulisan dari tahap pertama sampai paa bentuk suatu tulisan yang ada hingga saat ini. Selanjutnya dalam analisis sejarah peredaksian adalah kemampuan dalam membedakan analisis ini dengan analisis sastra. Di dalam menganalisis sejarah peredaksian kita melihat kemungkinan perubahan dalam nats, sebab ada kemungkinan bentuk terakhir tradisi lisan mendapat perubahan pada waktu memasuki tahap penyusunan karya redaktur atau penulis-penulisnya. Kemudian kita harus melihat suatu nats terutama pada sejumlah teks itu sendiri dalam bentuknya yang terakhir secara tertulis. Analisis ini penting ketika membahas Roma 13:1-7 karena adanya sedikit peralihan pembahasan di pasal sebelumnya dan perikop selanjutnya. Pada Roma 12:9-21, Paulus masih membahas tentang “nasehat untuk hidup dalam kasih”. Tetapi pada Roma 13:1-7, Paulus langsung membahas tentang “kepatuhan kepada pemerintah”. Hal ini perlu dibahas dan hendak melihat bagaimana sebenarnya yang terjadi ketika itu sehingga Paulus memasukkannya dalam perikop suratnya.
4.        Kritik Tradisi
Tugas metode sejarah tradisi ialah untuk meneliti suatu nats, teristimewa isinya atau keadaan yang tersangkut dalam tradisi tersebut. Yang dimaksud dengan sejarah tradisi ialah tradisi suatu nats, di mana penulisnya hidup dalam suatu lapisan kerohanian dan dalam masyarakat yang khsusus, yang dapat membentuk suatu pemikiran teologis yang tertentu atau suatu tema. Seperti dalam surat Roma 13:1-7, penulis secara spesifik akan membahas tentang tradisi keagamaan, sosial ekonomi dan tradisi politik karena hal ini lebih diperlukan dalam proses penggalian teks ini. Misalnya dalam tradisi politik ini, penulis akan menggali apa maksud dan tujuan Paulus dalam memasukkan perikop ini ke dalam suratnya.
5.        Tafsiran
Dalam bagian ini, penulis akan menafsir surat Roma 13:1-7 dari bahasa aslinya dan dari pendapat para ahli. Akan banyak pertimbangan-pertimbangan pada sesuatu kata, pada suatu kalimat dalam satuannya, yang bergerak dari bentuk strukturnya serta jenisnya. Harus diperhatikan hubungan kritik nats, tradisi dan bidang kehidupannya supaya dapat mengerti maksud dan tujuan perikop itu dimasukkan pada zamannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah kedudukan kalimat dalam ayat tersebut yang akan menjelaskan keadaan dalam kalimat itu. Selanjutnya adalah kedudukan kalimat yang ditentukan oleh kata kerjanya yang akan menjelaskan sebuah kejadian dan suatu tindakan.[65]
6.        Thema-Thema Teologi
Setelah semua analisis yang diuraikan di atas, maka penulis akan mengambil tema-tema teologi. Di sini penulis akan menuliskan beberapa kesimpulan yang didapat dari analisa-analisa sebelumnya. Kesimpulan itu nantinya akan menjadi tema teologis tentang apa yang hendak disampaikan Paulus dalam suratnya, terkhusus Roma 13:1-7. Tema teologis itu nantinya akan mengantar pembaca untuk lebih bisa memahami bagaimana sebenarnya takluk dan kepatuhan terhadap pemerintah serta tidak adanya lagi kesalahan dalam penafsiran tentang perikop ini.


BAB IV
TAFSIRAN DAN TEOLOGI
4.4     Kritik Teks
                        4.1.1. Kritik Apparatus[66]
1) Ayat 1: äPa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqwåÅ ouv ga.r e;stin evxousi,a eiv mh. Ýu`po. qeou/( ai` de. ou=sai Þ u`po.  Þ qeou/ tetagme,nai eivsi,nÅ
a. Ada sebuah pergantian Pa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqw (Pa/sa (pasa): kata benda nominatif feminim tunggal, artinya tiap-tiap; yuch. (psukhê): kata benda nominatif feminim tunggal, artinya jiwa; evxousi,aij (exousiais): kata benda datif feminim jamak, kata dasar εξουσια, yang artinya pemerintahan; u`perecou,saij (huperekhousais): kata kerja present partisif aktif datif feminim jamak, kata dasar υπερεχw, yang artinya untuk melebihi; u`potasse,sqw (hupotassesthô): kata kerja present imperatif pasif, orang ke-3 tunggal, kata dasar υποτασσω, yang artinya harus tunduk, patuh) menjadi Pasaij exou uperec upotassesqe (Pasaij (pasais): kata benda datif feminim jamak, artinya bagi kamu sekalian; exou (exou): kata benda genetif maskulin tunggal, artinya milik pemerintahan; u,perec (huperech): kata sifat penunjuk, akusatif neuter tunggal, kata dasar u,perecw, artinya ini melebihi; u.potassesqe (hupotassesthe): kata kerja present indikatif pasif, orang ke-3 jamak, kata dasar u.potassw, artinya kamu sekalian sedang tunduk) yang diusulkan oleh î46 D* F G it; dan bapa-bapa gereja seperti Irlat Ambst tetapi kodeks א A B D2 Y 33 1739 1881 Û lat sy co berusaha untuk mempertahankannya.
·          Penggantian kata Pasa menjadi Pasaij menyebabkan perbedaan makna yaitu dari tiap-tiap menjadi bagi kamu semua. Perubahan arti kata ini akan sangat berpengaruh kepada kata selanjutnya.
·          evxousi,aij menjadi exou juga akan memberikan perubahan terhadap makna kata dengan tidak mengikutkan lagi kata yuch (jiwa) padahal Paulus ingin menunjukkan bahwa takluk itu berasal dari jiwa tiap-tiap orang.
·          u`perecou,saij menjadi u,perec akan memberikan grammar dan pola kata yang lebih baik karena berusaha untuk menunjukkan bahwa ini melebihi.
·          u`potasse,sqw menjadi u.potassesqe memberikan pengaruh besar dalam pemaknaan teks ini. Paulus pada dasarnya hendak menyampaikan bahwa tiap-tiap orang itu harus takluk kepada pemerintah dari jiwanya, tetapi apparatus menawarkan pola kata yang berbeda yaitu sedang takluk.
·          Apparatus jadinya hanya melihat bahwa semua orang harus takluk kepada pemerintah tanpa membicarakan tentang jiwa padahal Paulus ingin menekankan bahwa semua orang harus takluk kepada pemerintah dari jiwanya. Perubahannya adalah jika mengikuti apparatus, ketaklukan semua orang itu bukan dari jiwa (yuch).
·          Kata Pa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqw tetap dipertahankan karena kata ini merupakan penekanan maksud yang hendak disampaikan oleh Paulus. Kodeks-kodeks yang lebih tua juga setuju apabila kata ini dipertahankan agar maksud dan tujuan penulisan surat ini lebih mengena kepada orang-orang pada zamannya.
b. Kata u`po. (hupo): preposisi + genetif, artinya oleh disarankan diganti apo (apo): preposisi + genetif, artinya dari, pergi dari sebelah, oleh kodeks D* F G 629 945 pc
·          Penggantian preposisi tersebut lebih memperbaiki makna kata dan lebih menekankan bahwa setiap pemerintahan yang dimaksudkan Paulus berasal dari Allah (apo qeou) bukan oleh Allah (u`po qeou).
c. Aparatus mengusulkan bahwa diantara kata ou=sai u`po (ousai): kata kerja present partisif aktif nominatif feminim jamak, artinya yang ada: u`po. (hupo): preposisi + genetif, artinya oleh disisipkan kata exousiai (exousia): kata benda nominatif jamak feminim, kata dasar εξουσια, sehingga menjadi pemerintahan-pemerintahan, seperti kodeks D2 Y 33 Û sy tetapi kodeks א A B D* F G 0285vid 6 81 1506 1739 1881 al lat co; dan bapa-bapa gereja Irlat Or tetap pada teks.
·          Penyisipan kata exousiai (pemerintahan-pemerintahan) merujuk kepada pemerintahan Allah. Dalam konteks teks ini, Paulus tidak ada menyinggung kerajaan atau pemerintahan Allah. Dia (Paulus) hanya menyoroti pemerintahan yang ada di dunia, bukan pemerintahan Allah. Hal ini akan membuat perbedaan arti dan maksud Paulus serta dapat dilihat juga dari banyaknya kodeks yang tidak kata ini untuk ditambahkan karena memang Paulus tidak memaksudkan pemerintahan Allah.
d.        Aparatus mengusulkan diantara kata u`po (hupo): preposisi + genetif, artinya oleh; qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah; disisipkan kata tou (tou): kata depan, seperti kodeks אc Y 33 Û dan bapa gereja Ir tetapi kodeks א* A B D F G P 0285vid 81 104 365 1506 1739 1881 dan bapa gereja Or
·          Penyisipan kata tou ini akan lebih memperbaiki struktur dan padanan kalimat serta tidak mempengaruhi makna teks. Teks itu akan semakin lengkap grammarnya dengan penambahan itu karena dalam bahasa Indonesia, kasus Genitif dinyatakan oleh susunan kata bukan bentuk kata.
·          Dengan penambahan tou maka susunannya akan menjadi u`po tou qeou. Dengan tou ini, maka kata ini akan semakin mempertegas bahwa pemerintahan itu berasal dari Allah bukan dari manusia.
2) Ayat 3: oi` ga.r a;rcontej ouvk eivsi.n fo,boj ätw/| avgaqw/| e;rgwå| avlla. ä. tw/| kakw| .å qe,leij de. mh. fobei/sqai th.n evxousi,an\ to. avgaqo.n poi,ei( kai. e[xeij e;painon evx auvth/j
a. Kata tw/| avgaqw/| e;rgw (tw/| : kata depan datif; avgaqw : kata sifat normal datif neuter tunggal, kata dasar αγαθος, artinya baik; e;rgw: kata benda datif neuter tunggal, kata dasar εργoν, artinya perbuatan, pekerjaan, tindakan) diganti menjadi tw agaqoergw (tw: kata depan datif; agaqo: kata penunjuk atau pengganti nominatif neuter tunggal, kata dasar αγαθος, artinya ini baik; ergw: kata benda datif neuter tunggal, kata dasar εργoν, artinya perbuatan, pekerjaan, tindakan) oleh kodeks F*
·          Tidak ada sanggahan untuk mempertahankan kata ini. Tetapi apabila pergantian ini disetujui maka akan ada terdapat perubahan maksud kalimat Paulus tersebut. Maksudnya adalah nominatif yang dipasangkan dengan datif secara bersamaan. Kalimat itu tidak sedang menunjukkan sebuah perbuatan baik tetapi hendak menganjurkan manusia untuk berbuat baik. Maksudnya adalah tw/| avgaqw/| e;rgw (perbuatan baik) bukan tw agaqoergw (ini sebuah perbuatan baik). Sebaiknya teks tetap dipertahankan yaitu tw/| avgaqw/| e;rgw, untuk menjaga kecocokan grammar yang ada dalam kalimat.
b. Usulan penggantian kata tw/| kakw (tw/|: kata depan datif; kakw: kata sifat datif normal neuter tunggal, kata dasar κακoς, artinya bagi yang salah, jahat) menjadi twn kakwn (twn: kata depan genitif; kakwn: kata sifat genitif normal neuter tunggal, kata dasar κακoς, artinya dari yang salah) oleh kodeks D2 Y 33 Û tetapi kodeks î46 א A B D* Fc G P 0285 6 630 1506 1739 1881 dan oleh bapa-bapa gereja Irlat Cl mempertahankan kata ini.
·          Apabila kata ini diganti dengan kata yang diusulkan oleh apparatus, maka perubahan makna kata akan terjadi. Awalnya tw/| kakw (bagi yang salah) menjadi twn kakwn (dari yang salah). Dalam penggantian ini berarti ada yang salah, padahal yang dimaksudkan Paulus adalah bagi orang-orang yang salah­-lah seharusnya takut kepada pemerintah bukan dari orang-orang yang salah. Pergantian yang diberikan oleh apparatus tidak bisa diterima karena akan mengganggu maksud Paulus dan kodeks-kodeks tua juga terus mempertahankan kata ini.
3) Ayat 4: qeou/ ga.r dia,kono,j evstin 0soi. eivj 01to. avgaqo,nÅ eva.n de. to. kako.n poih/|j( fobou/\ ouv ga.r eivkh/| th.n ma,cairan forei/\ qeou/ ga.r dia,kono,j evstin äe;kdikoj eivj ovrgh.n|å tw/| to. kako.n pra,ssonti
a. Apparatus mengusulkan untuk menghilangkan kata soi. (kata ganti orang ke-3 tunggal, artinya dia) seperti kodeks F G boms
·          Penghilangan kata soi ini maka akan terjadi perubahan makna karena apabila kata itu dihilangkan, avgaqo,n (kebaikan) para dia,kono,j (hamba Allah, Pemerintah) tidak tahu ditujukan kemana dan kepada siapa. Oleh karena itu, kata ini tidak bisa dihilangkan dari kalimat. Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikan, kebaikan di sini tidak tahu untuk kebaikan siapa atau ditujukan untuk apa dan kepada siapa. Maksud Paulus adalah pemerintah itu ada dan sebagai hamba Allah untuk kebaikan manusia (soi = dia, mu, nya).
b. Apparatus juga mengusulkan untuk menghilangkan kata to. (kata depan akusatif neuter tunggal) seperti kodeks B dari kata avgaqo,n
·          Apabila kata to dihilangkan dari kalimat itu, maka akan terjadi gangguan pada gramar kalimat tetapi perubahan itu tidak mengubah makna asli dari kalimat. Hal ini akan mengurangi penekanan terhadap kata avgaqo,n.
c. Terjadinya pergantian posisi kata e;kdikoj eivj ovrgh.n (e;kdikoj: kata sifat nominatif maskulin tunggal, artinya yang membalas kata sifat nominatif maskulin tunggal, artinya yang membalas; eivj: preposisi akusatif, artinya kepada, untuk; ovrgh.n: kata benda akusatif tunggal feminim, kata dasar οργη, artinya kemurkaan, hukuman Allah) menjadi eivj ovrgh.n e;kdikoj yang diusulkan oleh kodeks D* F G tetapi dipertahankan oleh kodeks א* D2 Yc 33 945 175 1241 pm î46 אc A B L P Y* 048 81 104 365 630 1505 1739 1881 dan oleh bapa-bapa gereja Irlat
·          Proses perpindahan tempat posisi kata ini tidak terlalu berpengaruh terhadap arti dan makna kata tetapi mungkin akan lebih memperbaiki pola susunan kata dalam kalimat. Preposisi eivj memang lebih baik berada didepan objek ovrgh.n supaya lebih dapat menjelaskan maksud Paulus bahwa Pemerintah ada untuk membalaskan kemurkaan Allah kepada orang yang berbuat jahat. Jadi perpindahan ini bisa diterima untuk pemaknaan kata yang lebih baik.
4) Ayat 5: dio. äavna,gkh u`pota,ssesqaiå( ouv mo,non dia. th.n ovrgh.n avlla. kai. dia. th.n sunei,dhsin
a. Kodeks î46 D F G it dan bapa-bapa gereja Irlat Ambst untuk mengganti kata avna,gkh u`pota,ssesqai (avna,gkh: kata benda nominatif feminim tunggal, artinya keadaan yang sukar, keperluan, keharusan; u`pota,ssesqai: kata kerja present infinitif pasif, kata dasar υποτασσω, yang artinya kamu harus ditundukkan, dipatuhkan) menjadi upotassesqe (upotassesqe: kata kerja present indikatif infinitif pasif, kata dasar υποτασσω, yang artinya kamu sekalian sedang ditundukkan), tetapi kodeks א A B Y 048 33 1739 1881 Û(vg) sy co mempertahankannya
·          Proses penggantian kata avna,gkh u`pota,ssesqai ke upotassesqe akan mempengaruhi arti kata secara keseluruhan. Apabila menggantinya, maka penekanan terhadap hal kamu harus ditundukkan karena sebuah keadaan sukar menjadi tidak terasa karena saran kata yang menggantikannya adalah kamu sekalian sedang ditundukkan tanpa sebuah alasan karena kata avna,gkh (sebuah keadaan sukar) akan hilang. Pergantian ini akan merusak sistem gramar dan pola kata karena menjadi tidak sesuai lagi dengan maksud Paulus ketika itu, maka pergantian ini sebaiknya tidak perlu untuk dilakukan.
4.5     Analisa Teks
4.2.1 Terjemahan
1. Ayat 1: Pa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqwÅ ouv ga.r e;stin evxousi,a eiv mh. u`po. qeou/( ai` de. ou=sai u`po. qeou/ tetagme,nai eivsi,nÅ
·          Pa/sa (pasa): kata sifat nominatif feminim tunggal, artinya tiap-tiap
·          yuch. (psukhê): kata benda nominatif feminim tunggal, artinya jiwa
·           evxousi,aij (exousiais): kata benda datif feminim jamak, kata dasar εξουσια, yang artinya orang yang berkuasa, pemerintahan
·          u`perecou,saij (huperekhousais): kata kerja present partisif aktif datif feminim jamak, kata dasar υπερεχw, yang artinya untuk melebihi
·          u`potasse,sqw (hupotassesthô): kata kerja present imperatif pasif, orang ke-3 tunggal, kata dasar υποτασσω, yang artinya harus tunduk, patuh
·          ouv ga.r e;stin (ou gar estin): kata keterangan (tidak), konjugasi (sebab), kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3 tunggal, artinya ada
·          evxousi,a (exousia): kata benda nominatif feminim tunggal, yang artinya orang yang berkuasa, pemerintahan
·          eiv mh. u`po.. (ei me upo): konjungsi subordinasi (kecuali), preposisi genetif (dari)
·          qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah
·          ai` de. ou=sai (ai de ousai): definitif artikel nominatif feminim jamak, konjugasi (tapi), kata kerja present partisif aktif nominatif feminim jamak, artinya yang ada
·          u`po. (upo): preposisi genetif (dari)
·          tou qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah
·          tetagme,nai (tetagmenai): kata kerja perfek partisif pasif nominatif feminim jamak, kata dasar τασσω, yang artinya telah ditetapkan
·          eivsi,n (eisin): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3 jamak, artinya adalah
Terjemahan: Tiap-tiap jiwa harus tunduk, untuk tidak melebihi pemerintahan, sebab tidak ada pemerintahan yang tidak dari Allah, dan pemerintahan yang ada telah ditetapkan oleh Allah
2. Ayat 2: w[ste o` avntitasso,menoj th/| evxousi,a| th/| tou/ qeou/ diatagh/| avnqe,sthken( oi` de. avnqesthko,tej e`autoi/j kri,ma lh,myontaiÅ  
·          w[ste (hoste): konjungsi subordinasi, artinya sebab itu
·          o` avntitasso,menoj (ho antitassomenos): kata kerja present partisif nominatif maskulin tunggal, kata dasar αντιτασσομαι, artinya orang yang menentang, melawan
·          th/| evxousi,a| (te exousia): kata benda datif feminim tunggal, artinya orang yang yang berkuasa, pemerintahan
·          th/| tou/ qeou/ (tou Theou): kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya dari Allah
·          diatagh/| (diatage): kata benda datif feminim tunggal, artinya dekrit, surat keputusan/ketetapan. titah, peraturan
·          avnqe,sthken (anthestêken): kata kerja perfek indikatif aktif, orang ke-3 tunggal, kata dasar ανθιστημι, artinya menentang, melawan
·          oi` de. (oi de): konjungsi subordinasi (tapi)
·          avnqesthko,tej (anthestêkotes): kata kerja perfek partisip aktif nominatif maskulin jamak, kata dasar ανθιστημι, artinya menentang, melawan
·          e`autoi/j (eautois): kata ganti refleksif datif maskulin jamak, kata dasar εαυτου, artinya atas diri mereka
·          kri,ma (krima): kata benda neuter akusatif tunggal, artinya pendapat, keputusan, hukuman
·          lh,myontai (lepsontai): kata kerja future indikatif, orang ke-3 jamak, kata dasar lambanw, artinya akan mengambil, menerima
Terjemahan: sebab itu orang yang melawan pemerintahan, menentang ketetapan Allah dan orang yang menentang itu akan meneriman hukuman atas diri mereka.
3. Ayat 3: oi` ga.r a;rcontej ouvk eivsi.n fo,boj tw/| avgaqw/| e;rgw| avlla. tw/| kakw/|Å qe,leij de. mh. fobei/sqai th.n evxousi,an\ to. avgaqo.n poi,ei( kai. e[xeij e;painon evx auvth/j\  
·          oi` ga.r (hoi gar): konjungsi koordinasi (sebab, jika)
·          a;rcontej (arkhontes): kata benda nominative maskulin jamak, kata dasar αρχwn, artinya penguasa-penguasa
·          ouvk (ouk): kata keterangan (tidak)
·          eivsi.n (eisin): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3 jamak, kata dasar ειmi, artinya mereka adalah
·          fo,boj (phobos): kata benda nominatif maskulin tunggal, artinya takut
·          tw/| avgaqw/| (to agatho): kata sifat normal datif neuter tunggal tak menentu, kata dasar αγαθος, artinya baik
·          e;rgw| (ergo): kata benda datif neuter tunggal, kata dasar εργoν, artinya perbuatan, pekerjaan, tindakan
·          avlla. (alla): konjungsi koordinasi (tapi)
·          tw/| kakw/| (to kako): kata sifat datif normal neuter tunggal, kata dasar κακoς, artinya bagi yang salah, jahat
·          qe,leij (theleis): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar θελω, artinya hasrat, keinginan, hendak
·          de. mh. (de me): konjungsi (tapi, maka), partikel (tidak)
·          fobei/sqai (phobeisthai): kata kerja present infinitif, kata dasar φοβεomai, artinya takut kepada
·          th.n evxousi,an (ten exousian): kata benda akusatif feminim tunggal, kata dasar εξουσια, artinya yang berkuasa, pemerintah
·          to. avgaqo.n (to agathon): kata sifat akusatif neuter tunggal, kata dasar αγαθος, artinya baik
·          poi,ei (poiei): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar ποιεω, artinya berbuatlah
·          kai. e[xeij (kai exeis): kata kerja future indikatif aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar εξω, artinya dan engkau akan memperoleh
·          e;painon (epainon): kata benda akusatif tunggal maskulin, kata dasar επαινος, artinya pujian
·          evx auvth/j (ex autes): preposisi genetif (dari), kata ganti personal genitif feminim tunggal, kata dasar αυτος, artinya nya
Terjemahan: sebab jika mereka mengerjakan yang baik, tidak perlu takut kepada pemerintah, takut itu bagi yang salah. Ada keinginan tidak takut kepada pemerintah, berbuatlah yang baik dan engkau akan memperoleh pujian darinya.
4. Ayat 4: qeou/ ga.r dia,kono,j evstin soi. eivj to. avgaqo,nÅ eva.n de. to. kako.n poih/|j( fobou/\ ouv ga.r eivkh/| th.n ma,cairan forei/\ qeou/ ga.r dia,kono,j evstin e;kdikoj eivj ovrgh.n tw/| to. kako.n pra,ssontiÅ  
·          qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah
·          ga.r dia,kono,j (gar diakonos): konjungsi (karena), kata benda nominatif tunggal maskulin, artinya pelayan, hamba
·          evstin soi. eivj (estin soi eis): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3 jamak, kata dasar ειmi, artinya bukanlah, kata ganti orang datif tunggal (kamu), preposisi akusatif (kepada, untuk)
·          to. avgaqo,n (to agathon): kata sifat akusatif neuter tunggal, kata dasar αγαθος, artinya kebaikan
·          eva.n de. (aen de): konjungsi (jika, ketika, tetapi)
·          to. kako.n (to kakon): kata sifat normal neuter tunggal, kata dasar κακoς, artinya bagi yang salah, jahat
·          poih/|j (poies): kata kerja present subjungtif aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar ποιew, artinya engkau berbuat
·          fobou/ (phobou): kata kerja presnet imperatif aktif, orang ke-2 tunggal, kata dasar φοβεomai, artinya takut kepada
·          ouv ga.r eivkh/| (ou gar eike): konjungsi (karena), kata keterangan (tanpa tujuan)
·          th.n ma,cairan (ten makhairan): kata benda akusatif feminim tunggal, kata dasar μαχαιρα, artinya pedang
·          forei/ (phorei): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3 tunggal, kata dasar φορεw, artinya ia menyandang, memakai
·          qeou/ (theou): kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah
·          ga.r dia,kono,j (gar diakonos): konjungsi (karena), kata benda nominatif tunggal maskulin, artinya pelayan, hamba
·          evstin e;kdikoj (estin ekdikos): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3 jamak, kata dasar ειmi, artinya ia adalah, kata sifat nominatif maskulin tunggal, artinya yang membalas
·          eivj ovrgh.n (eis orgen): preposisi akusatif (kepada, untuk), kata benda akusatif tunggal feminim, kata dasar οργη, artinya kemurkaan, hukuman Allah
·          tw/| to. kako.n (to to kakon): kata sifat normal neuter tunggal, kata dasar κακoς, artinya bagi yang salah, jahat
·          pra,ssonti (prassonti): kata kerja present partisip aktif datif feminim tunggal, kata dasar πρασσw, artinya berbuat, bertindak
Terjemahan: karena pemerintah adalah pelayan Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah kepada dia yang menyandang pedang karena ia adalah hamba Allah yang membalas kemurkaan Allah atas orang yang berbuat jahat.
5. Ayat 5: dio. avna,gkh u`pota,ssesqai( ouv mo,non dia. th.n ovrgh.n avlla. kai. dia. th.n sunei,dhsinÅ  
·          dio. avna,gkh (dio anagke): konjungsi(sebab itu), kata benda nominatif feminim tunggal, artinya keadaan yang sukar, keperluan, keharusan
·          u`pota,ssesqai (hupotassesthai): kata kerja present infinitif pasif, kata dasar υποτασσω, yang artinya harus tunduk, patuh
·          ouv mo,non (ou monon): kata keterangan (tidak), kata keterangan (hanya)
·          dia. th.n ovrgh.n (dia ten orgen): preposisi akusatif (terus, karena), kata benda akusatif tunggal feminim, kata dasar οργη, artinya kemurkaan, hukuman Allah
·          avlla. kai. dia. (alla kai dia): konjungsi koordinasi (tapi), konjugasi (dan), preposisi akusatif (terus, karena)
·          th.n sunei,dhsin (ten suneidesin): kata benda akusatif feminin tunggal, kata dasar συνειδησις, artinya kata hati, suara hati, hati nurani
Terjemahan: sebab itu perlu tunduk tidak hanya terus karena kemurkaan Allah tetapi terus tunduk karena suara hati kita juga.
6. Ayat 6: dia. tou/to ga.r kai. fo,rouj telei/te\ leitourgoi. ga.r qeou/ eivsin eivj auvto. tou/to proskarterou/ntejÅ  
·          dia. tou/to (dia touto): preposisi akusatif (terus, karena), kata ganti akusatif deminstratif neuter tunggal (itulah)
·          ga.r kai. fo,rouj (gar kai phorous): konjungsi (karena, maka), konjugasi (dan), kata benda akusatif maskulin jamak, kata dasar φορος, artinya pajak-pajak
·          telei/te\ (teleite): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-2 jamak, kata dasar τελεw, artinya kalian menyelesaikan, membayar
·          leitourgoi. (leitourgoi): kata benda akusatif maskulin jamak, kata dasar λειτουργος, artinya pelayan-pelayan
·          ga.r qeou/ (gar Theou): konjungsi (karena, maka), kata benda genitif maskulin tunggal, yang artinya Allah
·          eivsin eivj auvto. (eisin eis auto): kata kerja present indikatif aktif, orang ke-3 jamak, kata dasar ειmi, artinya mereka adalah, preposisi akusatif (kepada, untuk), kata ganti orang akusatif neuter tunggal, kata dasar αυτος, artinya hal inilah
·          tou/to proskarterou/ntej (touto proskarterountes): kata kerja present partisip aktif nominatif maskulin jamak, kata dasar προσκαρτερw, artinya bertekun, terus menekuni
Terjemahan: itulah sebabnya kamu membayar pajak karena mereka yang bertekun untuk hal ini adalah pelayan-pelayan Allah.
7. Ayat 7: avpo,dote pa/sin ta.j ovfeila,j( tw/| to.n fo,ron to.n fo,ron( tw/| to. te,loj to. te,loj( tw/| to.n fo,bon to.n fo,bon( tw/| th.n timh.n th.n timh,nÅ
·          avpo,dote (apodote): kata kerja aorist imperatif aktif, orang ke-2 jamak, kata dasar apodidwmi, artinya bayarlah, penuhilah
·          pa/sin (pasin): kata sifat indefinitif datif maskulin jamak, kata dasar πασ, artinya kepada semua orang
·          ta.j ovfeila,j (tas opheilas): kata benda akusatif feminim jamak, kata dasar οφειλh, artinya apa yang diwajibkan
·          tw/| to.n fo,ron (to ton phoron): konjungsi (kepada orang yang berhak), kata benda akusatif maskulin tunggal, kata dasar φορος, artinya pajak
·          to.n fo,ron (ton phoron): kata benda akusatif maskulin tunggal, kata dasar φορος, artinya pajak
·          tw/| to. te,loj (to to telos): konjungsi (kepada orang yang berhak), kata benda akusatif neuter tunggal, kata dasar τελος, artinya cukai
·          to. te,loj (to telos): kata benda akusatif neuter tunggal, kata dasar τελος, artinya cukai
·          tw/| to.n fo,bon (to ton phobon): konjungsi (kepada orang yang berhak), kata benda akusatif maskulin tunggal, kata dasar φοβος, artinya rasa takut
·          to.n fo,bon (ton phobon): kata benda akusatif maskulin tunggal, kata dasar φοβος, artinya rasa takut
·          tw/| th.n timh.n (to ten timen): konjungsi (kepada orang yang berhak), kata benda akusatif feminim tunggal, kata dasar τιμη, artinya hormat, kehormatan
·          th.n timh,n (ten timen): kata benda akusatif feminim tunggal, kata dasar τιμη, artinya hormat, kehormatan
Terjemahan: Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.
4.6     Bentuk
Paulus mengirimkan surat ini kepada gereja yang tidak didirikannya dan yang tidak pernah dikunjunginya. Karena itu, tidak heran kalau dokumen ini berbeda sifatnya dengan surat-surat Rasul yang lainnya. Ia tidak dapat mengacu kepada kunjungannya kepada gereja itu ataupun peristiwa-peristiwa yang telah terjadi setelah keberangkatannya. Ia pun tidak membahas dalam suratnya ini tentang urusan-urusannya dengan gereja itu. Oleh sebab itu, pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa ia sampai menulis surat itu. Sebuah alasan yang bisa diberikan adalah bahwa Paulus akhirnya bermaksud untuk memenuhi kerinduannya yang telah lama tersimpan (bnd. 1:13) untuk mengunjungi gereja itu (15:22). Namun yang menjadikannya aneh adalah Paulus hanya sambil lalu saja berbicara mengenai rencananya itu dan tidak dapat dikatakan bahwa rencana itu adalah tema suratnya. Pada kenyataannya, surat ini memberikan kesan sebagai suatu risalat yang bercorak sastra seperti surat-surat Paulus yang lain tetapi surat yang satu ini lebih cenderung kepada surat yang berbentuk amanat dan nasehat-nasehat.[67]
Kalau demikian halnya, dari sudut pandang yang murni sastra, dokumen ini akan menyajikan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang telah dibicarakan sejauh ini dalam semua surat Paulus, dimana isi suratnya selalu mempunyai kaitan langsung dengan keadaan jemaat. Kalau surat itu merupakan risalat, maka pada prinsipnya harus dipertimbangkan keadaan itu hanya sejauh hal itu berhubungan dengan keadaan umum jemaat-jemaat Paulus, seperti yang dilihat oleh rasul itu pada masanya. Karena itu, masalah corak sastra dokumen ini merupakan masalah pengantar yang sangat penting. Apabila salah ditafsirkan, maka akan terjadi kesalahpahaman akan keseluruhan isi dokumen itu.[68]
4.7     Redaksi
Roma 13:1-7 datang di tengah-tengah bagian yang dimulai dengan pasal 12:1. Hal ini dimulai dengan perintah, "Jangan menjadi serupa dengan dunia ini" (12:2). Paulus menggunakan "dunia ini" sebagai generalisasi -dunia ini termasuk orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir, pemerintah baik dan buruk-, Paulus mengatakan kepada orang-orang Kristen di Roma bahwa mereka tidak bisa begitu saja sesuai dengan setiap tradisi sosial atau tren yang terjadi pada masa itu. Standar perilaku diatur oleh Tuhan, bukan oleh masyarakat.[69]
Paulus mengikuti kata hatinya untuk selalu menekankan kerendahan hati (12:3). Paulus mengambil tema ini lagi dalam pasal 14-15, ketika ia membahas bagaimana orang-orang Kristen yang berbeda keyakinan perlu bergaul satu dengan yang lain. Ayat 4-8 menggambarkan karunia rohani untuk layanan bersama. Tema saling membantu -hubungan di dalam kekristenan- mendominasi pasal 12:9-16. Dalam kritik sastra, Roma 13:1-7 adalah dalam konteks hubungan dengan orang-orang kafir. Ini membahas masalah yang spesifik dari hubungan Kristen dengan pemerintah. Orang-orang Kristen mungkin ingin memberontak terhadap pemerintah, sehingga Paulus memberitahu mereka untuk mematuhinya dan membayar pajak.[70]
Peralihan dari 12:21 ke 13:1 agaknya bersifat mendadak. Kenyataan itu menyebabkan sebagian orang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara bahan pasal 12:9-21 dengan pokok pembahasan 13:1-7 dan ada yang menyatakan bahwa 13:1-7 memutuskan hubungan yang memang terdapat antara 12:21 dan 13:8 dst. Oleh karena itu, mereka memandang 13:1-7 sebagai nasehat tersendiri, yang disisipkan sesudah 12:21, entah oleh Paulus sendiri atau oleh salah satu tokoh sesudahnya. Namun teori ini pun menimbulkan persoalan. Tetapi bila diperhatikan kosakata pasal12-13, dapat ditemukan titik kesamaan. Yang pertama, munculnya pasangan kata “baik-jahat” dalam 12:21 dan dalam 13:3, dan adanya kata kerja “harus/berhutang” (teks Yunaninya sama) yang mengaitkan 13:1-7 dengan bagian sebelumnya dan sesudahnya. Demikian juga pasangan kata “pembalasan-murka” dalam 12:19 dan 13:4, dan mungkin juga “semua orang” dalam 12:7 dan 13:7.[71]
Yang kedua, munculnya pasangan kata “baik-jahat” itu menunjukkan pokok bersama 12:9-21 dan seluruh pasal 13, yaitu: keharusan berbuat baik. Bagian pertama, yaitu 12:9-13, mengandung nasihat berkenaan dengan kebaikan terhadap sesama anggota jemaat, 12:14-21 mengenai kebaikan dalam hubungan dengan orang-orang luar, khususnya musuh-musuh. Lalu 13:1-7 menyangkut sikap terhadap pemerintah dan peranan para penguasa melindungi orang yang berbuat baik dan menghukum mereka yang berbuat jahat.[72] 
4.8     Kritik Tradisi
4.8.1.1              Tradisi Keagamaan
Bangsa Romawi merupakan bangsa yang sangat toleran kepada kepercayaan-kepercayaan lain yang memang majemuk atau beragam pada saat sekitar tahun 46-56 sM pada masa kekaisaran Julius Caesar. Kondisi itu tidak jauh berbeda dengan Indonesia pada saat ini, di mana di dalam satu negara ada berbagai agama yang diakui dan dilaksanakan sekaligus oleh penganutnya. Demikian kondisi yang dimiliki oleh kekaisaran Romawi yang besar tersebut. Bangsa Romawi bukanlah bangsa yang tidak memiliki agama. Kepercayaan mereka bersifat animistis, yakni menyembah roh-roh dari hutan, sungai, gunung, dan alam. Kendati memiliki kepercayaan sendiri kekaisaran Romawi memiliki ideologi atau gagasan atau pemikiran yang membuat mereka bisa hidup berdampingan dengan agama lainnya. Pemikiran ini yang juga akan mempengaruhi cara mereka memerintah nantinya.[73]
Toleransi mereka bukanlah sekedar menghargai pandangan-pandangan agama yang ada. Kekaisaran Romawi cenderung tidak bersikap bermusuhan dengan agama-agama di sekitarnya, namun orang Romawi justru cenderung bercampur baur dengan mudah terhadap agama-agama yang beragam itu. Kondisi itu disebabkan oleh ketertarikan orang Romawi terhadap agama-agama yang ditemuinya di sekitar perbatasan kekaisaran. Ketertarikan tersebut akhirnya membawa bangsa Romawi “mengadopsi” dewa-dewi dari berbagai agama tersebut ke dalam kepercayaan mereka. Selain Juno, Mars, dan Minerva, dewa-dewi seperti Zeus dan Hera yang merupakan dewa-dewi Yunani juga termasuk di dalam koleksi ilah-ilah mereka. Dewa-dewi seperti Baal, Isis, Osiris, Mitras, dan masih banyak dari budaya lainnya amat mudah untuk “digabungkan” ke dalam kepercayaan Romawi dasar yang animistis tersebut. Bisa dikatakan agama mereka memang sangat campur-aduk hingga tidak jelas bentuk bakunya. Kira-kira sama seperti Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) masa kini yang meletakkan Yesus, Buddha, dan dewa-dewi lainnya dalam tataran yang sama sebagai koleksi allah-allah mereka.[74]
Tidak berhenti di situ, tidak hanya dewa-dewi yang tidak kelihatan yang mereka jadikan ilah, namun Kaisar itu sendiri merupakan objek penyembahan mereka. Pada mulanya Kaisar tersebut bertindak sebagai imam terbesar (pontifex maximus) yang memberikan korban bagi dewa-dewa di langit. Secara perlahan-lahan, ternyata korban yang layak untuk diberikan kepada dewa-dewi mulai diberikan kepada kaisar itu sendiri. Patut dicatat bahwa kebudayaan untuk menyembah kaisar adalah kebiasaan yang sangat umum dalam kebudayaan di sekitar Romawi. Keadaan ini pun juga merupakan produk sinkretis pencampuran kepercayaan, percampuran keagamaan mereka. Sebenarnya adalah lazim bagi orang Romawi untuk mengangkat kaisar-kaisar mereka terdahulu yang sudah meninggal menjadi allah. Namun pada zaman Greco-Roman tersebut Kaisar yang masih hidup pun diberikan korban seperti kepada ilah. Para kaisar ini disembah bagaikan Allah karena pada masa itu bangsa Romawi memiliki keyakinan bahwa keselamatan bisa didapatkan dengan mematuhi dan takluk kepada pemerintah (dalam hal ini adalah Kaisar). Inilah yang disebut Kultus Imperium[75], atau pemujaan terhadap Kaisar.[76] Masyarakat pun menjadikan Kaisar sama dengan Sang Ilahi. Salah satu Kaisar yang dianggap sebagai Sang Ilahi adalah Kaisar Agustus.[77]
Kondisi Kultus Imperium inilah yang mempersulit kehidupan umat Yahudi yang hanya mau menyembah satu Allah saja (tentu saja karena orang Yahudi hendak taat pada Taurat). Bayangkan, dewa-dewi yang begitu rupa dan banyaknya itu saja sudah merupakan ancaman bagi orang-orang Yahudi, ditambah dengan kewajiban untuk menyembah Kaisar. Koin mata uang Romawi seringkali memiliki potret Kaisar dengan gelar-gelarnya seperti divi filius (anak dari yang ilahi), dan pontifex maximus (imam terbesar), sementara di balik koin itu dipajang potret seorang ilah lain. Keadaan tersebut menunjukkan ideologi dan kepercayaan pada saat itu bahwa pemerintahan Kaisar didasari oleh pemerintahan dari para dewa. Ia memerintah dengan hak yang ilahi, dan keberhasilannya merupakan pertanda kemurahan yang ilahi.[78]
4.8.1.2              Tradisi Sosial-Ekonomi
Pada zaman Perjanjian Baru dunia Timur Tengah kuno dan sekitar Laut Tengah, yaitu dunia Romawi-Yunani merupakan dunia kekaisaran Romawi. Kebudayaannya adalah kebudayaan Yunani-Romawi; pemerintahannya adalah pemerintahan Romawi dengan sistem pemerintahan yang bercorak tersendiri. Masyarakat Romawi-Yunani mengenal perbedaan kelas secara tajam, meskipun mereka semua berhak menjadi warga negara Romawi. Kelas yang terendah adalah kelas para hamba, yang jumlahnya jauh lebih besar daripada kelas-kelas lain. Di kota-kota tertentu terdapat kelompok-kelompok penduduk Yahudi, yang juga mendapat hak untuk menjalankan agama serta kewajiban Yahudinya. Mereka adalah orang-orang Yahudi perantau (Yahudi diaspora).[79]
                Orang-orang kaya dan berpengaruh sering kali tinggal di rumah-rumah yang seperti istana di perbukitan; rumah-rumah mereka dipelihara oleh sekelompok besar hamba dan budak, adakalanya berjumlah ratusan. Di daerah lembah di bawah, rakyat jelata tinggal berdesak-desakan dalam insulae yang sangat besar, semacam apartemen yang memiliki beberapa tingkat, dengan batas ketinggian 21m menurut ketetapan Agustus. Blok-blok perumahan ini dipisahkan oleh jalan sempit yang berkelok-kelok dan kotor, penuh dengan lalu-lintas dan kebobrokan yang umum di kota-kota besar. Di kawasan-kawasan miskin inilah kebakaran bersejarah tahun 64 M mengakibatkan penderitaan dan korban jiwa terbesar.[80]
Hanya segelintir orang di Roma yang dapat disebut golongan menengah; orang-orang kaya hanyalah minoritas kecil. Sewaktu Paulus pertama kali tiba di Roma, mungkin setengah penduduknya adalah budak, yang dibawa ke sana sebagai tawanan perang, penjahat, atau anak-anak yang dijual orang tuanya, budak-budak yang tidak memiliki hak-hak hukum. Di antara setengah penduduknya yang merdeka, sebagian besar adalah orang melarat yang boleh dikatakan hidup dari subsidi pemerintah. Negara menyediakan dua hal, makanan dan hiburan, untuk menjaga agar orang-orang miskin tidak membuat huru-hara, sehingga timbul ungkapan bernada satire, panem et circenses (roti dan sirkus), yang menyiratkan bahwa hanya kedua hal inilah yang dibutuhkan untuk memuaskan orang miskin di Roma. Sejak tahun 58 sM, gandum pada umumnya dibagikan secara gratis, demikian juga dengan air, yang dialirkan ke dalam kota melalui akuaduk yang panjangnya berkilo-kilo meter. Anggur merupakan komoditas yang murah.[81]
Sesuai dengan Roma 13:1-7, semua jiwa (orang) diharuskan takluk kepada pemerintah dan membayar semua kewajiban-kewajiban sebagai masyarakat seperti pajak. Dengan keadaan rakyat yang hanya sebagian kecil orang kaya maka untuk memenuhi tuntutan pajak yang ditetapkan kaisar sangatlah sulit. Untuk melakukan pembayaran pajak ini, dibutuhkan sebuah kerendahan hati dari seluruh warga negara Roma dan harus mendengar kata hati bahwa seluruh ketetapan yang ada itu berasal dari Allah.[82]
4.8.1.3              Tradisi Politik
Selama berabad-abad, Roma bereksperimen dengan banyak jenis pemerintahan politik. Beberapa lembaga diadaptasi dari bangsa lain; ada juga yang mereka ciptakan sendiri. Dalam Pocket History of the World, H. G. Wells menyatakan, ”Kuasa Roma yang baru ini, yang bangkit untuk mendominasi dunia Barat pada abad kedua dan pertama SM, dalam beberapa hal berbeda dari imperium besar mana pun yang hingga saat itu berjaya di dunia beradab.” (1943, hlm. 149) Wajah politik Roma terus berubah seraya berbagai gaya pemerintahan muncul silih berganti. Gaya-gaya ini mencakup koalisi kepala-kepala suku patriarkat, kerajaan, pemerintahan yang terpusat di tangan segelintir keluarga bangsawan, kediktatoran, dan berbagai bentuk pemerintah republik yang kekuasaannya secara bervariasi ada di tangan para senator, konsul, dan triumvirat (koalisi pemerintahan tiga orang), yang diwarnai pertikaian partai yang khas antara golongan dan faksi. Pada tahun-tahun belakangan, imperium itu dikuasai serangkaian kaisar. Sebagaimana pemerintahan manusia pada umumnya, sejarah politik Roma diwarnai oleh kebencian, kecemburuan, dan pembunuhan, disertai banyak adu intrik yang muncul dari pertikaian dalam negeri dan peperangan luar negeri. Roma menguasai dunia secara bertahap. Mula-mula, pengaruhnya menyebar ke seluruh Semenanjung Italia, akhirnya ke daerah di sekitar Laut Tengah dan bahkan lebih jauh lagi. Nama kota itu praktis bersinonim dengan nama imperium tersebut.[83]
Dalam urusan internasional, Roma mencapai puncak kejayaannya di bawah para Kaisar. Urutan pertama dalam daftar para kaisar ini adalah Julius Caesar, yang dilantik menjadi diktator selama sepuluh tahun pada tahun 46 SM, tetapi dibunuh oleh suatu komplotan pada tahun 44 SM. Setelah suatu selang waktu manakala suatu triumvirat saling berebut kekuasaan di antara mereka, Oktavianus akhirnya menjadi penguasa tunggal Imperium Romawi (31 SM–14 M). Pada tahun 27 SM, ia berhasil menjadi kaisar, dan diproklamasikan sebagai ”Agustus”. Pada masa pemerintahan Agustus inilah Yesus lahir pada tahun 2 SM. (Luk 2:1-7) Penerus Agustus, Tiberius (14-37 M), memerintah semasa pelayanan Yesus. (Luk 3:1, 2, 21-23) Berikutnya adalah Gayus (Kaligula) (37-41 M) dan Klaudius (41-54 M) yang mengeluarkan dekret untuk mengusir orang Yahudi dari Roma. (Kis 18:1, 2) Setelah itu Nero memerintah (54-68 M), dan kepada dialah Paulus naik banding. (bnd. Kis 25:11, 12, 21).[84]
Para kaisar Romawi secara berurutan setelah Nero (sepanjang abad pertama) adalah Galba (68-69 M); Oto dan Vitelius (69 M); Vespasianus (69-79 M), pada masa pemerintahannya Yerusalem dihancurkan; Titus (79-81 M), yang sebelumnya memimpin penyerangan ke Yerusalem dan berhasil; Domitianus (81-96 M), konon, selama pemerintahannya Yohanes dibuang ke Patmos sebagai hukuman; Nerva (96-98 M); dan Trayanus (98-117 M). Di bawah pemerintahan Trayanuslah imperium itu mencapai batas terluasnya, yang pada waktu itu membentang jauh ke segala penjuru sampai Sungai Rhine dan Laut Utara, Sungai Donau, Sungai Efrat, riam-riam Sungai Nil, Gurun Afrika yang luas, dan Samudra Atlantik di sebelah barat. Kaisar selama tahun-tahun kemerosotan Imperium Romawi ialah Konstantin Agung (306-337 M). Setelah merebut kekuasaan, ia memindahkan ibu kota ke Bizantium (Konstantinopel). Pada abad berikutnya, persisnya pada tahun 476 M, Roma jatuh, dan panglima perang Jerman, Odoaker, menjadi raja ”barbar”nya yang pertama.[85]
Melihat dari bentuk dan susunan pemerintahan dan cara-cara pemerintahnya memimpin Romawi, dapat disebutkan bahwa mereka tidaklah pelayan atau hamba Allah. Hal ini dapat dilihat dari gaya pemerintahannya yaitu mencakup koalisi kepala-kepala suku patriarkat, kerajaan, pemerintahan yang terpusat di tangan segelintir keluarga bangsawan, kediktatoran. Dengan cara seperti ini, yang berkuasa itu tentunya tidak menjalankan mandat sesuai dengan kehendak Allah dalam memimpin umatnya. Pemerintah yang disorot dalam Roma 13:1-7 itu adalah pemerintah yang menjalankan roda kepemimpinan sesuai dengan keinginan Tuhan. Seperti kasus yang terjadi pada masa kaisar Nero adalah salah satu contoh kaisar yang tidak menjalankan pekerjaannya sebagai hamba Allah.[86]
4.9     Tafsiran Ayat per ayat
- Ayat 1a : "Tiap-tiap jiwa harus tunduk, untuk tidak melebihi pemerintahan",
'Tiap-tiap orang', Yunani "πασα ψυχη - pasa psukhe", 'setiap jiwa', bandingkan Ibrani "KOL-NEFESY" (bandingkan Kejadian 9:10, dan Roma 2:9). εξουσια - exousia = terjemahan istilah Latin "potestas", 'kekuasaan', 'penguasa'; jamak 'para penguasa'. υπερεχοντες – huperekhontes, yang oleh bahasa Indonesia sehari-hari (BIS) digabungkan dengan exousiais menjadi pemerintah, berarti: yang melebihi, yang berada di atas, atasan.[87]
Dengan memakai kata-kata tiap-tiap jiwa Paulus beralih dari pemakaian orang kedua (12:9-21) ke orang ketiga (13:1-3). Peralihan ini menandakan awal nasihat yang baru, yaitu mengenai pemerintahan duniawi dan mengenai sikap orang Kristen terhadapnya. Sebagaimana telah dikatakan di atas, nasehat baru ini dapat dianggap menyambung nasehat 12: 14-21 mengenai sikap orang Kristen terhadap orang di luar jemaat.[88]
Seluruh isi ayat 1-7 tercantum dalam kata-kata pertama: "Tiap-tiap jiwa harus tunduk, tidak melebihi pemerintahan". Kalau dikatakan tiap tiap jiwa, artinya bahwa demikianlah kehendak Tuhan terhadap semua orang, baik yang Kristen maupun yang bukan Kristen. Namun. dalam hubungan surat ini Paulus tentu menyapa orang Kristen. Janganlah mereka beranggapan bahwa kedudukan mereka sebagai orang Kristen membebaskan mereka dari kewajiban mereka terhadap negara. "Setiap orang": harfiah : setiap jiwa. Ungkapan itu tidak merupakan bahasa Yunani tetapi berasal dari istilah bahasa Ibrani, artinya dari Perjanjian Lama. Pemakaian ungkapan dari Perjanjian Lama itu meningkatkan sifat khidmat nasihat Paulus, sehingga nasihat itu menuntut perhatian lebih besar lagi.[89]
Dalam terjemahan LAI disebut pemerintah dalam bahasa asli memakai bentuk jamak. Jadi, dapat memakai terjemahan penguasa-penguasa. Dengan demikian nasihat ini menjadi lebih konkret. Pemerintah merupakan tempat yang jauh, pengertian abstrak, Presiden dan menteri yang wajahnya dilihat dalam koran atau majalah, tapi yang tidak pernah dijumpai. Tetapi penguasa adalah jajaran orang yang berwenang, para pejabat sipil, petugas kepolisian, komandan-komandan distrik militer. Tiap orang harus berurusan dengan mereka, Tentang mereka dikatakan bahwa mereka berada di atas. Karena itu harus takluk kepada mereka.[90]
Menurut beberapa ahli: penguasa-penguasa di sini mempunyai arti ganda. Sebab di belakang insan-insan penguasa bersembunyi kuasa-kuasa, yaitu malaikat-malaikat. Mereka inilah yang memerintah dunia, dan para penguasa duniawi hanya alat di tangan mereka. Karena itu orang Kristen harus lebih taat lagi kepada penguasa duniawi. Dalam hubungan dengan teori ini dapat dicatat, bahwa dalam Perjanjian Baru istilah εξουσια - exousia memang dipakai sebagai sebutan malaikat-malaikat (misalnya 1 Korintus 15:24; Efesus 1:21; 3:10; 6: 12; Kolose 1:16 dan 2: 10, 15). Tetapi tidak pernah orang Kristen disuruh takluk kepada kuasa-kuasa itu; sebaliknya, kuasa-kuasa itu ditaklukkan oleh Kristus (1 Korintus 15:24; Kolose 2:15). Maka di sini dan dalam 1 Korintus 2:8 serta Titus 3:1 yang dimaksud ialah insan-insan penguasa semata-mata.[91]
Nasihat Paulus ini menyangkut bidang kehidupan yang penting, yaitu bidang politis. Karena itu, perkataan takluk itu layak  dibicarakan tersendiri. Kata kerja Yunani : υποτασσω – hupotassô sering muncul dalam PB. Arti harfiahnya: 'menempatkan diri di bawah'. Yang diungkapkannya ialah sikap yang seharusnya diambil seorang Kristen terhadap Allah (Yakobus 4:7) dan hukum Allah (Roma 8:7), terhadap Kristus (Efesus 5:24), tetapi juga terhadap para pelayan gereja (1 Korintus 16:16). Menurut Efesus 5:22, seorang istri Kristen harus takluk kepada suaminya, dan menurut 1 Petrus 2:18 seorang budak Kristen kepada tuannya. Tetapi Efesus 5:21 menyatakan bahwa anggota jemaat harus takluk (LAI: merendahkan diri) yang seorang kepada yang lain. Kata takluk yang dimaksudkan dalam teks ini bukan seperti defenisi takluk yang biasa diartikan yaitu taat dan patuh terhadap atasannya walaupun atasannya itu melakukan kesalahan tetapi bagaimana seorang warga negara (baik orang kaya-miskin, jenderal, polisi, pegawai negeri, pejabat pemerintahan) bisa menempatkan dirinya berada di bawah sesama manusia yang mempunyai jabatan yang lebih tinggi darinya. Maksudnya adalah bagaimana manusia itu bisa menerima keberadaan orang lain dan menyadari bahwa kedudukan seseorang itu lebih tinggi darinya. Ke-takluk­-an yang dimaksudkan Paulus seharusnya memang dilakukan oleh setiap jiwa karena mereka (pemerintah) ada untuk kebaikanmu. Setiap kewajiban dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah hendaknya ditaati oleh setiap jiwa.[92]
Nats terakhir itu seharusnya membuat sadar tentang apa sebenarnya sifat ketaklukan yang dianjurkan kepada kita orang Kristen. Menurut pola dunia ini, orang takluk kepada penguasa atau kepada orang lain sebab takut, atau karena mengharapkan sesuatu. Tentu seorang penguasa tidak akan menganggap dirinya takluk kepada kaum bawahannya. Tetapi menurut kehendak Allah orang Kristen takluk karena alasan lain. Alasan itu diungkapkan Calvin dalam tafsiran Efesus 5:21. Katanya, 'Allah telah mengikat kita yang seorang kepada yang lain begitu rupa, sehingga tak seorang pun boleh menganggap dirinya dibebaskan dari kewajiban takluk. Di mana pun kasih berkuasa, di situ orang saling melayani. Aku malah tidak mengecualikan kaum raja dan penguasa lainnya, sebab yang merupakan makna pemerintahannya ialah pelayanan.' Sebab itu sepatutnya rasul menasihati semua orang agar mereka takluk yang seorang kepada yang lain. Jadi, sikap seorang Kristen terhadap pemerintah tidak ditentukan oleh rasa takut, tetapi berdasarkan asas kasih (Roma 12:9; 13:8).[93]
- Ayat 1b : "sebab tidak ada pemerintah, yang tidak dari Allah; dan pemerintahan yang ada telah ditetapkan oleh Allah."
"υπο του θεου – hupo tou theou", sebetulnya 'oleh Allah', "υποτασσεσθω - hupotassesthô" (takluk) dan "τεταγμεναι – tetagmenai" (ditetapkan).
Dalam nats ini dan dalam ayat-ayat berikutnya tersurat apa yang tersirat dalam perkataan takluk. Pertama-tama dikatakan bahwa "tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah". Kalimat ini mengandung tiga unsur yang patut diperhatikan: Pertama, bahwa setiap jiwa harus takluk kepada penguasa sebab pemerintah itu mewakili Allah. Dalam ayat 1b ini jelas dikatakan bahwa pemerintah itu ditetapkan oleh Allah untuk menjalankan roda kepemimpinan di dunia sesuai dengan kehendak Allah. Bila menghadapi penguasa, tidak sekadar berurusan dengan manusia yang sederajat, tetapi secara tidak langsung berurusan dengan Tuhan sendiri. Kedua, bahwa kuasa apa pun tidak mempunyai dasar selain ketetapan Allah. Dasarnya bukanlah kepercayaan bahwa orang atau golongan tertentu merupakan keturunan dewa. Bukan juga kepercayaan pada kesaktian (kasakten) seseorang yang dianggap telah menerima wahyu. Dasarnya bukan juga kekerasan senjata atau kemauan rakyat semata-mata. Ketiga, kata-kata ini menunjukkan batas kuasa kaum penguasa. Mereka harus melaksanakan kehendak Tuhan. Tuhan ingin supaya semua orang selamat, dan pemerintah seharusnya menjadi sarana dalam menjalankan rencana keselamatan itu. Dia meninggikan orang yang dengan rendah hati melaksanakan tugas yang diserahkan-Nya.kepada mereka, dan Dia merendahkan mereka yang berhati tinggi dan tidak mengakui kuasa-Nya atas diri mereka.[94]
Kalau kekuasaan para penguasa berdasarkan salah satu sifat mereka sendiri, mereka tidak juga terikat pada salah satu hukum di luar diri mereka sendiri. Apa pun yang dilakukan penguasa harus diterima. Dengan perkatatan lain, kuasanya bersifat total. Ia dapat dianggap bersalah hanya kalau ia gagal mencapai tujuannya. Demikianlah ideologi kerajaan ketimuran, antara lain dalam kerajaan-kerajaan helenistis pada abad-abad terakhir sM. Dalam Perjanjian Lama, di Israel dan di dunia luar tidak ada raja yang tidak ditetapkan oleh Allah, oleh karena itu, raja-raja itu terikat pada hukum Tuhan. Pemerintahan yang seperti ini dikenal dengan istilah “Kepemimpinan Teokrasi” di mana Allah sendiri yang bertindak langsung sebagai penuntun, memberi tujuan dan sebuah komunitas yang diikat dalam perjanjian dengan Yahwe. Dalam persekutan tersebut Yahwe merupakan pemimpin tertinggi. Mereka menjadi alat pemerintahan-Nya atas umat manusia dan karena itu wajib menegakkan keadilan dan mengupayakan kemakmuran rakyatnya. Wawasan ini terdapat dengan sangat jelas dalam firman Nabi Yesaya mengenai raja diraja Persia, Koresy (Yesaya 45:1-8). Dia memecat raja dan mengangkat raja, demikian dikatakan Daniel di hadapan raja Babel mahadewa, dan ditulis dalam Kitab Daniel di tengah dunia helenistis (Daniel 2:21). Tetapi sama seperti dalam Roma 13:1-7, keyakinan itu tidak menjadi alasan untuk meremehkan kewajiban menaati raja. Dalam Amsal 24:21 ketaatan kepada raja malah disamakan dengan ketaatan kepada Tuhan. Ketidaktaatan hanya muncul dan dibenarkan dalam satu hal, yaitu kalau raja (penguasa) mendudukkan diri di tempat Tuhan, sebagaimana dilakukan raja Nebukadnezar (Daniel 3).[95]
Selanjutnya ditambahkan lagi: "dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah". Mungkin kata-kata ini sekadar mengulang dengan nada positif kalimat negatif yang mendahuluinya. Tetapi kata-kata ini lebih bermakna kalau ditafsirkan pemerintah yang ada sebagai penguasa-penguasa yang kamu hadapi, yaitu para penguasa Romawi, mulai dari kaisar sampai aparat pemerintahan di propinsi dan kotapraja. Kita tahu bahwa penguasa-penguasa itu menyembah dewa, dan kadang-kadang mengambil tindakan yang merugikan orang Kristen. Kendati demikian, mereka harus dianggap sebagai pemerintah yang ditetapkan oleh Allah.[96]
Dikemudian hari penguasa Romawi menganiaya jemaat. Mereka pun mendudukkan diri di tempat Tuhan dengan menuntut persembahan kurban. Ketika orang Kristen menolak mempersembahkan kurban dupa kepada roh kaisar, negara malah berupaya membasmi gereja Kristen. Namun, gereja lama tidak pernah menyimpang dari pendapat Paulus yang terdapat dalam ayat ini dan yang berikut. Orang Kristen tetap mendoakan kaisar dan semua penguasa dalam ibadah mereka. Tidak pernah terpikirkan oleh tokoh-tokoh Kristen pada zaman gereja lama mengangkat senjata melawan kaum penganiaya.[97]
- Ayat 2: Sebab itu orang yang melawan pemerintahan, menentang ketetapan Allah dan orang yang menentang itu akan menerima hukuman atas diri mereka.
'Melawan' (Yunani, "αντιτασσομενος – antitassomenos", yang serumpun dengan "υποτασσεσθω - hupotassesthô" (takluk) dan "τεταγμεναι – tetagmenai" (ditetapkan) dalam ayat 1, dan dengan "διαταγη - diatagê" (ketetapan dalam ayat 2. Sebaliknya, melawan yang kedua merupakan terjemahan "ανθεστηκεν - anthestêken". αντιτασσω antitassô di sini mempunyai arti  menempatkan diri berhadapan dengan, dari situ menentang, melawan "ληψονται – lêpsontai" adalah mendatangkan atas dirinya.[98]
Ayat 2 menarik kesimpulan dari apa yang dikatakan dalam ayat 1b "barang siapa lawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah" Orang demikian akan mendatangkan hukuman atas dirinya. Tetapi, yang lebih parah, hukuman itu juga hukuman Allah, yang mempertahankan ketetapan-Nya dan menghukum mereka yang melanggar ketetapan itu.[99]
Peringatan dalam ayat 2 ini tidak ada dalam 1 Timotius 2:1; Titus 3:1; 1 Petrus 2.13-17. Maka timbul pertanyaan, mengapa Paulus di sini menganggap perlu dengan begitu tegas mengancam hukuman kepada mereka yang melawan pemerintah? Jemaat Kristen di Roma bersimpati pada gerakan kaum Zelot atau orang Kristen di Roma terhanyut oleh keyakinan bahwa akhir dunia sudah dekat sehingga mereka memandang rendah segala hal duniawi, termasuk negara. Tetapi pandangan-pandangan ini tidak didukung oleh bukti yang nyata. Ayat 11 malah langsung bertentangan dengan dugaan kedua itu. Ada juga ahli sejarah yang menerangkan, sekitar tahun 58 M penduduk kota Roma melancarkan aksi protes melawan pajak yang tinggi, sampai-sampai melakukan unjuk rasa di hadapan kaisar Nero. Kemungkinan nasihat Paulus di sini (bandingkan juga ayat 6) ada hubungan dengan aksi-aksi itu. Tetapi dugaan ini pun tidak didukung bukti yang jelas.[100]
- Ayat 3: sebab jika mereka mngerjakan yang baik, tidak perlu takut kepada pemeritah, takut itu bagi yang salah. Ada keinginan tidak takut kepada pemerintah, berbuatlah yang baik dan engkau akan memperoleh pujian darinya”
Dalam ayat 3a LAI merombak susunan kalimat Yunani. Terjemahan harfiah berbunyi: Sebab yang berwajib tidak menjadi alasan untuk takut bagi perbuatan yang baik, tetapi bagi yang jahat. Pemerintah di sini terjemahan arkhontes: tokoh-tokoh pemerintahan. Nats ini diawali kata “sebab”, maka dapat ditafsirkan ayat 3 bersama ayat 4 sebagai penjelasan ayat 2b. Tetapi istilah yang jahat bersifat sangat umum, maka agaknya lebih masuk akal kalau isi ayat 3-4 dipandang sebagai alasan kedua penaklukan kepada penguasa yang dianjurkan dalam ayat 1. Alasan itu dapat disimpulkan sebagai berikut: Mereka yang berwajib bukanlah musuhmu, asalkan kamu melakukan yang baik, bukan yang jahat. Yang tersirat di dalamnya ialah sudah barang tentu seorang Kristen tidak akan berbuat jahat, maka ia tidak perlu takut akan yang berwajib. Sebaliknya, ia dapat berharap akan beroleh pujian dari penguasa. Mungkin sekali pujian itu tidak hanya merupakan kiasan. Para penguasa Romawi di propinsi-propinsi biasa mengajukan warga yang berjasa kepada kaisar agar mereka diberi surat pujian yaitu seperti mendapat piagam penghargaan dari kaisar dan piagam itu diberikan oleh kaisar secara langsung (bnd. Bintang Mahaputra, penghargaan Kalpataru yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada warga-negara yang berjasa). Hal ini hampir sama dengan yang dimaksudkan Paulus. Apabila warga negara melakukan perbuatan baik dan mematuhi segala ketetapan yang telah dibuat oleh pemerintah maka dia akan mendapat pujian dari pemerintah itu.[101]
Di sini, sekadar mencatat bahwa istilah yang baik dapat menimbulkan salah paham seakan-akan menurut anjuran Paulus di sini cukuplah kalau seorang Kristen menaati hukum negara. Roma 13:1-7 termasuk keseluruhan Roma 12-13. Apa itu yang baik telah ditentukan sebelumnya, yaitu dalam 12:9-21, bahkan dalam 12:1. Maka kebaikan yang di sini dituntut dari seorang Kristen bukan (bukan hanya) kebaikan menurut hukum negara atau menurut kaidah kesopanan yang berlaku dalam masyarakat.[102]
- Ayat 4: “Karena pemerintah adalah pelayan Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah kepada dia yang menyandang pedang karena ia adalah hamba Allah yang membalas kemurkaan Allah atas orang yang berbuat jahat”
Ayat 4 jelas meneruskan argumentasi ayat 3. Hamba disini maksudnya adalah pelayan Tuhan (Yunani, διακονος - diakonos, harfiah pelayan). Isitilah diakonos ini dalam pemerintahan Romawi dimaksudkan sebagai pelayan Tuhan yang mewakili semua maksud Tuhan untuk dijalankan oleh sang pemimpin itu di dunia ini. Pemerintah itu dipercayai masyarakat Romawi sebagai utusan Tuhan untuk memimpin dan mengatur semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Apabila pemerintah itu tidak ada, maka mungkin semua yang berhubungan dengan negara akan kacau balau. Untuk kebaikanmu, Yunani "σοι εις το αγαθον - soi eis to agathon", harfiah bagi engkau untuk kebaikan/yang baik. Dapat menerjemahkannya sesuai dengan Roma 16:19 (supaya engkau berbuat baik) atau juga sesuai dengan 8:28 (demi kebaikanmu). Dalam tafsiran bertolak dari terjemahan yang kedua. εκδικος - ekdikos, pembalas, dapat juga berarti wakil dalam melaksanakan urusan hukum, atau wakil penguasa tinggi dalam melaksanakan tindakan.[103]
Ayat 4 terdiri dari tiga kalimat. Kalimat pertama menunjukkan alasan pernyataan dalam ayat 3b. Orang Kristen boleh percaya kepada pemerintah karena pemerintah adalah hamba Allah. Dalam bahasa Yunani istilah yang dipakai di sini ialah διακονος - diakonos, diaken. Pemerintah menjadi hamba Allah ketika dia menjalankan roda pemerintahan itu sesuai dengan keinginan Allah bukan melalui keinginan pribadi untuk menguasai apa yang ada padanya (jabatan). Jabatan yang ada padanya di yakini berasal dari Allah dan apabila dia menjalankan pemerintahan itu sesuai dengan kehendak hatinya sendiri maka jabatan yang ada itu bisa diambil kembali oleh Allah. Istilah itu bertentangan dengan pandangan orang Yunani dan Romawi tentang negara. Kaum abdi negara memang 'hamba' (lihat di depan), tetapi negara sendiri tidak berhamba kepada siapa pun juga. Sebaliknya negara merupakan penguasa tertinggi yang menuntut loyalitas (kesetiaan) mutlak dari pihak rakyat. Pada zaman Paulus tuntutan itu sudah mulai berwujud dalam kultus kaisar (persembahan kurban kepada roh kaisar sebagai perwujudtan negara). Di sini Paulus tidak langsung mempersoalkan loyalitas kepada negara, bahkan ia menyuruh orang Kristen taat kepada negara. Namun, ketaatan itu ditempatkannya dalam kerangka yang sama sekali baru dengan menyebut negara hamba Allah. Tatanan yang sedang berlaku tidak diserang langsung. Namun, tatanan itu ditempatkan dalam kerangka yang baru, misalnya dalam hal perbudakan. Dengan demikian dimulai upaya perubahan tatanan lama itu yang berangsur-angsur, namun radikal.[104]
Arti dasar istilah διακονος - diakonos ialah hamba atau pelayan (pembantu) yang melayani di meja makan, yang atas perintah tuannya membagi-bagi makanan. Fungsi penguasa sebagai hamba Allah serupa: atas perintah Tuhan negara membagi-bagikan pemberian-Nya. Fungsi pemerintah sebagai diakonos adalah membagikan semua kebaikan sesuai dengan ketetapan Allah. Kepada orang yang berbuat baik, penguasa membagikan kebaikan. Arti kebaikan itu dapat kita simpulkan dari 1 Timotius 2:2. Di sana tertulis: agar kita dapat hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Fungsi pemerintahan itu memang paling bermanfaat bagi mereka yang berbuat baik, sebab justru merekalah yang perlu dilindungi dari orang jahat. Pemerintah dapat memberikan perlindungan kepada rakyatnya misalnya membinasakan kejahatan.[105]
Sebaliknya, "jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang". Demikianlah kalimat kedua dalam ayat ini. Pemerintah tidak hanya bertugas melindungi orang baik. Ia harus juga mengekang orang jahat. Dalam hubungan ini Paulus memakai semacam kiasan: penguasa menyandang pedang. Pada zaman itu, bila mengenakan pakaian kebesaran, kaisar menyandang pedang pendek sebagai tanda kuasanya menentukan hidup atau mati para bawahannya. Begitu pula sebagian petugas kepolisian, dan sudah tentu prajurit-prajurit dalam tentara bersenjatakan pedang. Dengan demikian kiasan Paulus di sini menunjukkan kemampuan dan wewenang penguasa menghukum orang-orang jahat.[106]
Sebagaimana bila melindungi orang baik, demikian juga bila menghukum orang jahat penguasa adalah hamba Allah. Dalam hubungan ini Paulus memakai istilah dari tata hukum Romawi (lihat penjelasan di atas). Di sini istilah itu dapat diterjemahkan: wakil untuk melaksanakan tindakan penguasa tertinggi. Sebagaimana kaum penguasa adalah abdi negara, begitu negara sendiri dan dengan demikian semua orang yang memegang kekuasaan adalah hamba Allah, dan menjadi wakil-Nya dalam melaksanakan hukuman-Nya. Ternyata di sini juga berlaku hubungan yang tadi kita temukan antara kebaikan dan keselamatan kekal. Hukuman pemerintah merupakan perwujudan sementara, yang masih terbatas, dari hukuman Allah yang akan ditimpakan-Nya pada hari kiamat.[107]
- Ayat 5: “sebab itu perlu tunduk tidak hanya terus karena kemurkaan Allah tetapi terus tunduk karena suara hati kita juga”
Menaklukkan diri dalam bahasa Yunani memakai kata kerja yang sama seperti takluk dalam ayat 1. Perlu, Yunani αναγκη – anagkê, baca anangkê, mempunyai lebih kuat daripada sekadar perlu melainkan harus’ (bandingkan 1 Korintus 7:37, terpaksa). "ou monon ... alla kai" dapat diterjemahkan tidak hanya (bnd. 5:3; 9:10). Kata 'Allah' merupakan tambahan LAI untuk memberikan keterangan yang berkaitan dengan konteks ayat.[108]
Ayat ini menarik kesimpulan dari ayat 1-4. Sebab itu, yakni 'sebab segala sesuatu yang dikatakan dalam ayat-ayat terdahulu, "perlu kita menaklukkan diri". Perlu sebelumnya belum cukup keras. Bahasa Yunani memakai istilah αναγκη – anagkê = harus. Mutlak perlu, yang memiliki makna terpaksa kita takluk kepada penguasa. Harus yang dimaksudkan di sini adalah tidak ada alasan untuk tidak takluk atau patuh kepada pemerintah. Suatu keharusan disini bermakna absolut untuk selalu mematuhi perintah-perintah dan kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh penguasa karena semua penguasa itu berasal dari Allah dan telah ditetapkan olehNya. Alasanya disebut dalam bagian kedua nats ini. Malah ada dua alasan: "bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita". Dicatat dulu bahwa kedua alasan tersebut tidak seimbang. Yang kedua lebih berat daripada yang pertama (bandingkan Roma 5:3; 9:10). Keduanya berkaitan dengan nasihat dalam kedua ayat terdahulu: jika seorang berbuat baik ... tetapi jika engkau berbuat jahat. Kalau cenderung melanggar peraturan, sepatutnya takut akan hukuman, dan rasa takut itu dapat mendorong untuk meninggalkan kejahatan. Tetapi kalau hidup dalam Roh (Roma 8:9) dan mematikan perbuatan-perbuatan tubuh (Roma 8:13) maka telah menjadi sadar akan kehendak Tuhan. Sama seperti dalam Roma 2:15 suara hati adalah kesaksian dalam batin kita mengenai kehendak Tuhan. Hukum Tuhan menjadi pokok kesenangan bagi seorang percaya (Mazmur 119). Maka yang dikatakan di sini ialah seorang percaya takluk kepada penguasa, tidak hanya. karena hukuman yang ia takuti, tetapi terutama karena hukum yang Ia senangi. Sebab ia tahu bahwa Tuhan telah memberi para penguasa tugas mempertahankan dan menjalankan hukum itu.[109]
Dengan demikian jelaslah juga bahwa paksaan yang disebut dalam bagian pertama nats ini tidak sama bagi kedua belah pihak. Bagi orang yang taat karena takut akan hukuman, paksaan itu datang dari luar, dan layak mendapat nama itu. Sebaliknya, bagi orang yang takluk karena memakai hukum Tuhan paksaan itu lebih pantas disebut dorongan batin’. Berkat dorongan itu, ia dengan senang hati melaksanakan hukum Tuhan. dan dengan demikian memenuhi tuntutan agar ia taat kepada pemerintah duniawi, yang telah diberi tugas mempertahankan hukum itu.[110]
- Ayat 6: “Itulah sebabnya kamu membayar pajak karena mereka yang bertekun untuk hal ini adalah pelayan-pelayan Allah”.
"δια τουτο - dia touto", 'itulah sebabnya', di sini mengacu ke belakang, bukan ke depan, τελειτε–teleite (kalian membayar) serumpun dengan "telônês", 'pemungut cukai'. Bentuk "teleite" dapat berarti kamu bayar atau kamu harus bayar (imperatif). Karena didahului "gar" maka di sini agaknya yang pertama yang tepat. Pelayan (Yunani λειτουργοι - leitourgoi, bandingkan istilah liturgi. Kata kerja προσκαρτερουντες - proskarterountes muncul pula dalam Roma 12:12. Dalam kalimat 6b, pelayan-pelayan Allah berada di depan, sehingga mendapat tekanan.[111]
Pajak merupakan iuran yang wajib di bayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara. Ada banyak macam pajak menurut apa yang di pakai dasar pemungutan iuran itu, seperti bumi (tanah), jalan, kekayaan, kendaraan, pembangunan, pendapatan (penghasilan, pencarian), peralihan, perseroan, radio, rumah tangga, tontonan, upah surat dan lain sebagainya. Di palestina di bawah pemerintahan Roma, orang harus membayar pajak perseorangan kepada kaisar (Mat. 22:17). Orang Yahudi membayar pula pajak bait suci sebanyak dua dirham setahun (Mat. 17:24) dan berbagai kewajiban pajak lain (Mrk. 2:14).[112] Menurut Rom. 13: 6, 7, Paulus menganggap salah satu kesetiaan kepada pemerintah untuk membayar pajak. Hal ini menegaskan  bahwa gereja Romawi memenuhi pajak kepada pemerintah, dan biasanya diikuti dengan rumusan teguran membayar pajak lebih lanjut dan tepat untuk mematuhi pemerintahan Romawi. Beberapa pertimbangan ini merupakan rekomendasi peningkatan dari suatu pajak di Negara bagian dan pembangkangan yang muncul kembali di roma dibawah pemerintahan Nero beberapa tahun sebelum 58 AD.[113]
Dalam ayat 5 Paulus telah menarik kesimpulan dari ayat 3-4, yaitu bahwa orang Kristen wajib taat kepada pemerintah, karena pemerintah adalah hamba Allah. Kini, dalam bagian pertama ayat 6, Paulus menyebut kenyataan bahwa orang Kristen di Roma membayar pajak. Kenyataan itu membuktikan bahwa keyakinan yang telah ia ungkapkan dalam ayat 3-4 bukan omong kosong belaka, dan bahwa desakannya dalam ayat 5, agar orang Kristen menaati pemerintah, memang wajar. Sebab dengan membayar pajak, yang mungkin justru pada tahun-tahun itu sangat berat, orang Kristen memperlihatkan bahwa mereka rela takluk kepada pemerintah (ayat 1, 5). Pembayaran pajak itu merupakan pengakuan mereka terhadap pemerintah sebagai hamba Allah (ayat 3-4).[114]
Dalam bagian kedua ayat 6 Paulus menyebut pemerintah dengan memakai gelar yang lebih terhormat daripada hamba. Dalam bahasa Yunani istilah λειτουργος - leitourgos dipakai bagi orang yang menyelenggarakan pelayanan umum (seperti kantor balas jasa atau kantor-kantor perpajakan). Bisa dibilang, dalam hal ini leiturgos ini sebagai pembantu untuk diakonos. Pengertian kata ini berbeda dengan pengertian διακονος - diakonos ialah hamba atau pelayan (pembantu) yang melayani di meja makan, yang atas perintah tuannya membagi-bagi makanan. Pelayanan itu bisa di bidang keagamaan (demikian biasanya dalam Alkitab). Tetapi dalam bahasa Yunani umum leitourgos biasanya berarti orang yang melayani negara, apakah sebagai pegawai, atau sebagai orang swasta. Para penguasa dan pegawai negeri memang mengabdi kepada negara. Tetapi temyata mereka adalah abdi instansi yang lebih tinggi lagi, yaitu Tuhan sendiri. Karena itu, mereka berusaha dengan tekun (bandingkan Roma 12:12, lihat penjelasan di atas) mengumpulkan dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan tugas yang oleh Tuhan dibebankan kepada mereka. Tetapi keduanya memiliki kesamaan dalam bentuk pelayanannya yaitu sama-sama melayani pemerintah yang ada di atasnya. Mereka hanya dibedakan dari tempat melayani dan porsi pelayanannya. Pelayan dalam pengertian διακονος - diakonos adalah Hamba Allah yang berwujud pemerintah tetapi pelayan dalam pengertian λειτουργος - leitourgos berwujud pelayan atau bawahan dari pemerintah itu.[115]
- Ayat 7: Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.
Apodidonai berarti: memberi apa yang wajib diberikan (bandingkan Markus 12: 17). LAI yang harus kamu bayar, Yunani "τας οφειλας - tas opheilas" = hutang, kewajiban. φοrος – phoros adalah pajak langsung; τελος – telos pajak tidak langsung (cukai). "πασιν - pasin" (kepada semua orang) diterjemahkan bebas: mereka/pemerintah yang berhak menerima melengkapkan ungkapan singkat yang harafiah berbunyi: kepada yang pajak, pajak.[116]
Ayat 7 ini menutup nasihat mengenai hal pemerintahan, sekaligus merupakan peralihan ke bagian yang berikut. Ayat 1-6 ini sangat erat kaitannya dengan ayat 7, yaitu hendak menunjukkan ketaklukan rakyat itu melalui kepatuhannya dalam membayar kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah. Di ayat ini, Paulus hendak mengajarkan kepada setiap jiwa bahwa harus membayar semua yang harus dibayar. Dari ayat 1-6 telah jelas dijabarkan apa-apa saja kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara yang takluk kepada pemerintahan yang ada dari Allah. Dalam hubungan ayat-ayat terdahulu semua orang berarti: semua golongan orang yang menjalankan kekuasaan atas manusia atas nama Allah dan demi kebaikanmu. Karena tadi dipakai contoh pajak maka yang disebut pertama ialah golongan pemungut pajak dan cukai. Menyusullah dua golongan lain yang agaknya bersifat lebih umum. "Orang yang berhak menerima rasa takut" harus dihadapi dengan rasa takut yang wajar. "Orang yang berhak menerima hormat" harus dihadapi dengan rasa hormat yang patut. Mungkin takut dan hormat sejajar, sehingga harus digabungkan. Dalam hal itu yang berhak menerima rasa takut dan yang berhak menerima hormat merupakan satu golongan saja, yaitu penguasa pada umumnya. Hanya, tafsiran itu menimbulkan persoalan. Bagaimana rasul dapat menasihati orang Kristen supaya takut akan penguasa, padahal dalam ayat 3-4 ia menyatakan bahwa hanya orang jahatlah yang perlu merasa takut akan alat-alat negara? Bukankah dalam Perjanjian Baru yang patut ditakuti (dalam arti positif) ialah Allah sendiri? Maka mungkin anjuran ketiga dalam ayat ini harus diartikan sebagai nasihat untuk merasa takut kepada Allah, sehingga Roma 13:7b sama isinya seperti 1 Petrus 2: 17.[117]
Apakah orang yang berhak menerima rasa takut; merupakan golongan penguasa yang lebih tinggi daripada yang berhak menerima hormat? Atau yang ditakuti ialah penguasa dan yang dihormati ialah mereka yang berbuat baik (ayat 3)? Tetapi: bagaimana Paulus dapat menasehati orang Kristen agar merasa takut terhadap penguasa, padahal dalam ayat 3-4 ia menganjurkan kepada mereka agar hidup tanpa takut? Yang dimaksudkan Paulus “takut” disini bukan seperti takut yang biasa diartikan. Takut yang dimaksudkan lebih kepada takluk dan taat, tidak memberontak karena setiap jiwa telah dianjurkan supaya takluk kepada pemerintahan. Berikanlah rasa hormat kepada orang yang berhak menerima rasa hormat, hormat yang dimaksudkan Paulus adalah rasa segan atau dapat menerima keberadaan orang lain diatasnya. Dalam 1 Petrus 2:17 dikatakan: 'takutlah akan Allah, hormatilah raja (= kaisar). Dalam PB tidak pemah orang percaya dinasihati agar takut akan pemerintahan duniawi. Di pihak lain tidak mungkin Allah tercantum dalam semua orang, bersama pemungut pajak dan penguasa duniawi lainnya. Namun, pendapat bahwa yang berhak menerima rasa takut ialah Allah itu dapat dipertahankan melalui acuan pada Amsal 24:21 dan Markus 12:17. Perkataan Amsal 24:21 yang dikutip Yesus itu agaknya termasuk bahan-bahan yang beredar dalam jemaat-jemaat purba dan diajarkan kepada orang percaya. Justru karena firman itu lazim dipakai, Paulus tenggat waktu mendiktekan ayat ini dan mengutipnya, meskipun tidak cocok dengan bagian pertama ayatnya (semua orang).[118]
4.3     Thema-thema Teologi
1.        Pemerintah adalah merupakan Hamba Allah
Dalam tulisan Paulus, ditemukan bukti-bukti tentang kuasa-kuasa lain yang melakukan kejahatan sebagai latar belakang pandangan tentang keselamatan manusia. Hal-hal yang bisa mempengaruhi keadaan manusia adalah kuasa-kuasa rohani yang bersifat bermusuhan dan yang bekerja secara aktif di belakang penguasa-penguasa dunia ini. Ungkapan Paulus yang paling khas ialah “pemerintah-pemerintah dan kuasa-kuasa” (arkhai dan dunameis), “penguasa-penguasa” (exousia), “penguasa-penguasa dunia” (kosmokratores).  Pemahaman yang tepat akan istilah-istilah ini sangat diperlukan supaya dapat mempunyai pengertian yang benar mengenai pengajaran Paulus tentang pendekatan Kristen terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan. Dia menyebutkan bahwa pemerintah-pemerintah dan kuasa-kuasa dalam daftar mengenai hal-hal yang tidak dapat memisahkan manusia dari kasih Allah (Rm. 8:38-39). Kristus jauh lebih tinggi daripada segala pemerintah dan penguasa (Ef. 1:21). Nasehat dalam Roma 13:1 dan Titus 3:1 agar takluk kepada pemerintah menggunakan kata yang sama dan hal ini memperlihatkan bahwa dalam pemikiran Paulus terdapat hubungan yang erat antara pemerintah dan kuasa-kuasa rohani yang menyebabkan pemerintah itu sering disebutnya sebagai hamba Allah yang menyampaikan kehendak Allah akan dunia ini.[119]
Pemerintah adalah hamba Allah (harfiah "diaken"), "untuk menyanggupkan hamba Allah yang lain agar berhasil dengan tugas melakukan kehendak Allah." Jadi para pemimpin bertanggung jawab melaksanakannya. Dengan pimpinan Roh Allah Paulus menulis kepada Timotius, “Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk para raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (ITim 2:1-4). Salah satu fungsi pemerintah sebagai hamba Allah ialah untuk menetapkan dan menegakkan hukum dan peraturan agar Injil dapat dikabarkan. Sebagai orang Kristen kita perlu berdoa bagi pemerintah kita setiap hari. Itu adalah bagian dari tanggung jawab Kekristenan kita.
2.        Kepatuhan kepada Pemerintah
Sebagai warga, Allah memerintahkan orang Kristen untuk taat kepada pemerintah, karena pemerintah merupakan lembaga yang didirikan dan ditetapkan Allah (Rm. 13:1). Selain itu, pemerintah adalah hamba Allah di dunia ini (Rm. 13:4). Tujuannya karena hidup di dunia yang tercemar dosa ini memerlukan pembatasan tertentu untuk melindungi manusia dari kekacauan dan pelanggaran hukum. Jadi Allah menetapkan pemerintah sebagai pelaksana keadilan dan membatasi kejahatan dengan menghukum para pelaku kejahatan dan melindungi yang baik dalam masyarakat (Rm. 13:3-4; 1Ptr. 2:13-17). Namun pada saat tujuan ini mulai melenceng dan pemerintah tidak lagi melakukan fungsinya sebagai hamba Allah, misalnya pemerintah menuntut sesuatu yang bertentangan dengan firman Allah, maka orang Kristen harus lebih mentaati Allah daripada manusia (Kis. 5:29; Dan. 3:16-18; 6:7-11). Paulus menekankan pentingnya kepatuhan warga negara karena bangsa Yahudi sebagai suatu umat telah terkenal memberontak. Palestina pada abad pertama menjadi negara yang terus-terusan memberontak. Para pemimpin berasal dari partai Zelot (fanatik), yang sangat yakin bahwa orang Yahudi tidak boleh mempunyai raja selain Allah. Orang-orang Zelot menolak membayar pajak kepada pemerintah Roma dan menganjurkan penggulingan pemerintahan dengan kekerasan.[120]
                Salah satu dari pengajaran Kristus yang paling hebat ada dalam Mat 22:21, "Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Alah." Kristus juga menjelaskan dalam Matius 22, seperti Paulus dalam Roma 13, bahwa kekuasaan pemerintah tidak absolut. Ada sesuatu kesadaran bahwa di luar wilayah juridis pemerintah duniawi, adalah kepunyaan Allah. Kristus mengajarkan bahwa gereja dan negara adalah dua bidang dan bahwa seseorang Kristen mempunyai tanggung jawab terhadap keduanya. tetapi Ia tidak mengatakan bahwa dua bidang itu sama. Dalam Matius 22, Ia juga tidak menyatakan mana yang paling penting, tetapi Ia menekankan bahwa pengikut-Nya mempunyai tanggung jawab kepada pemerintah Roma dalam hal membayar pajak.[121]

BAB V
RELEVANSI
Dalam Roma 13:1-7 ini, Paulus menekankan sebuah kerendahan hati untuk setiap jiwa manusia yaitu untuk dapat menerima keberadaan orang lain yang lebih tinggi darinya. Kerendahan hati yang dimaksud adalah takluk dan tunduk kepada seluruh ketetapan pemerintah yang memang sebagai hamba Allah untuk menjalankan roda kepemimpinan di dunia ini. Apabila berbicara manusia atau orang Kristen, tentunya hal ini berkaitan erat dengan Gereja dan berbicara tentang pemerintahan maka akan berkaitan dengan Negara.[122]
Gereja dan negara merupakan dua institusi yang berbeda. Namun keduanya memiliki hubungan yang tidak dapat dipungkiri. Warga jemaat atau warga gereja adalah warga negara, oleh karena itu seharusnya terbina hubungan yang baik antara gereja dan negara. Sejarah telah memperlihatkan bahwa gereja yang mengusai negara membawa kepada masa kegelapan gereja. Demikian halnya dengan masa dimana negara menguasai gereja, ini adalah masa yang suram di dalam perkembangan kekristenan.[123]
Negara dan gereja tidak boleh saling menguasai satu dengan yang lainnya. Gereja harus menghormati negara sebagai otoritas yang mengelola wilayah tempat gereja berada. Demikian juga negara seharusnya menghormati  gereja sebagai sebuah lembaga yang terbentuk dari perkumpulan warga negara yang memiliki kesamaan kepercayaan. Dengan adanya saling menghormati, maka gereja dan negara akan hidup berdampingan dengan damai. Gereja akan hidup dalam damai sejahtera untuk membina kerohanian warga negara yang percaya kepada Kristus. Kerohanian yang baik akan membawa warga negara dan juga membawa negara kepada kesejahteraan.[124]
Bagi orang kristen, terlibat dalam dunia politik merupakan anugerah yang terbesar, mengingat misteri inkarnasi sendiri langsung berkaitan dengan hal tersebut. Allah menjadi manusia merupakan pencerahan bagi manusia karena Allah turut berpartisipasi dengan kehidupan manusia dan rela menjadi bagian dari anggota masyarakat. Kekotoran dunia ini tidak menghalangi rencana Allah untuk terlibat aktif dan menjadi bagian dari kekotoran dunia itu. Maka secara teologis, keterlibatan umat beriman dalam politik bangsa mendapat akarnya dalam misteri Inkarnasi. Keterlibatan anggota Gereja dalam politik merupakan rahmat terbesar karena sudah memenuhi panggilan terbesar untuk peduli terhadap persoalan dan cita-cita hidup bermasyarakat dan berbangsa. Politik dibagi dalam dua bentuk yaitu politik kekuasaan dan politik kepeduliaan sosial (kemanusiaan). Politik kekuasaan berurusan dengan tehnik dan organisasi untuk memiliki kekuasaan dan mempertahankannya. Sementara mereka yang tidak terjun dalam pertarungan perebutan kekuasaan, mengaplikasikan politk dalam kepeduliaan sosial, tanggung jawab dan panggilan kewarganegaraan. Keberadaan kita dalam satu lingkungan sosial (negara) adalah keberadaan politis.[125]
Peranan umat Kristen dalam kancah politik adalah menjadi garam dan terang dunia (bnd. Matius 5:13-14). Di samping itu, gereja berperan sebagai salah satu institusi keagamaan yang mengawali dan melestarikan sikap kritis jika suatu gereja itu hendak eksis sebagai pelayan yang menggarami dan menerangi dunia ini. Sehingga tidak ada alasan bagi gereja untuk membiarkan situasi bangsa dan negara menjadi kacau tanpa memandang masa depan yang berarti dan menjanjikan. Berdasarkan jawaban Petrus dan para rasul di hadapan Mahkamah Agama (bnd. Kisah Para Rasul 5 : 29), maka gereja harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Selanjutnya, berpegang kepada jiwa dan semangat juang Rasul Paulus dalam memberitakan Injil Kebenaran, seperti Injil Kristus yang menyebutkan : “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (bnd. Filipi 1 : 29).[126]
Orang kristen sebagai orang yang percaya yang terpanggil dan telah menerima tugas dari Yesus Kristus harus menunjukkan ketaatan kepada Tuhan di segala bidang kehidupan. Orang Kristen harus mempunyai kebiasaan untuk melihat seluruh masyarakat yang berpolitik dan peraturan-peraturan politik dibawah penghukuman dan anugerah Allah.[127] Itu dapat diartikan bahwa orang Kristen berpartisipasi dibidang politik ialah karena segi politik itu tetap di bawah kuasa dan anugerah Allah (lih. Rom.13:4). Orang kristen atau Pendeta sebagai warga negara harus aktif dalam politik dengan cara tetap hidup sebagai garam dan terang. Orang Kristen tidak hanya sebagai warga negara yang baik tetapi dia harus mampu menggambarkan atau memperlihatkan kehendak Allah di dalam kehidupannya yaitu di dalam kehidupan berpolitik.[128] Orang Kristen bertanggung jawab untuk memelihara dan menumbuhkan kesatuan dan persatuan antara umat yang berbeda agama (bnd. Mat. 5:13-16; I Ptr. 2:12).
Suara nyaring gereja sangat dirindukan oleh warga dan masyarakat pada saat ini, dimana gereja diyakini wajib menyerukan suara kenabiannya untuk menyatakan kebenaran Allah di tengah-tengah dunia. Sejak era Reformasi di tahun 1998, masih banyak kenyataan pahit yang dialami oleh bangsa dan rakyat Indonesia hingga detik ini, seperti masih merajalelanya kasus-kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), penegakan hukum yang (sepertinya) dikendalikan oleh elit politik dan penguasa yang terkesan tidak tersentuh oleh hukum. Pengangguran makin bertambah, keamanan kian terusik, pembobolan bank dimana-mana, maraknya sindikat penjualan obat-obat terlarang dari luar negeri, pencemaran lingkungan oleh pabrik-pabrik raksasa, pranata pemerintah yang sangat rawan konflik, dan lain sebagainya.[129]
Ketika kesemua masalah itu terjadi, bukankah seharusnya gereja peka dan bersuara melalui doa, saluran media dan melalui warganya guna memberi penghiburan, penguatan dan pembelaan kepada mereka yang teraniaya, yang tertindas dan yang diberlakukan secara tidak adil. Dalam hal inilah bahwa gereja diutus oleh Tuhan dan ditempatkan di dunia ini untuk menggarami dan menerangi politik dan kekuasaan dunia agar mereka (para politisi dan pemerintah) menjadi pelayan, bukan hanya yang gemar dilayani oleh masyarakat.Perjuangan, keberpihakan dan keterlibatan Gereja terhadap masalah-masalah kemanusiaan dalam kerangka politik kemanusiaan. Karena yang diperjuangkan oleh Gereja adalah harkat dan martabat manusia baik sebagai personal maupun sosial dan bukan kekuasaan. Gereja memberikan ajaran sosialnya tentang nilai-nilai kemanusiaan luhur dan yang perlu dijamin serta tentang hak-hak dan kewajiban moral yang harus diperhatikan. Walaupun berpolitik dewasa ini tidaklah mudah, namun iman menuntut manusia untuk berkiprah di bidang ekspresi iman. Sebab tujuan manusia adalah terwujudnya kerajaan Allah dalam suasana yang nyata yaitu dalam kenyataan hidup yang kelihatan dan manusia membawa Kristus yang tak kelihatan itu ke dunia yang kelihatan yaitu dunia yang penuh dengan catatan hitam kemiskinan, kejahatan dan ketidakadilan yang harus diselamatkan oleh-Nya yang tak kelihatan.[130]
Dalam etika Kristen, ajaran itu mendasarkan diri pada pemikiran Paulus sebagaimana terdapat dalam Roma 13:1-7. Di situ Paulus berbicara tentang hubungan umat beriman dengan pemerintah (kaisar). Tidak tertutup kemungkinan penguasa politik justru menjadi representasi dari kuasa Iblis ketimbang Allah. Oleh karena itu pendasaran biblis atas etika Kristen perlu mulai dievaluasi dan direvisi. Tidak berarti bahwa perikop itu tidak berlaku lagi. Melainkan diperlukan suatu pemahaman yang lebih mendasar dan komprehensif.[131]
Ada beberapa hal yang penting diketahui tentang etika politik Kristen dari sudut pandang Alkitab:[132]
  1. Perlunya pemahaman yang holistik mengenai kesaksian alkitabiah
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa pendasaran etika Kristen hanya pada bagian-bagian tertentu saja dari kesaksian Alkitab, tidaklah memadai. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan dan pemahaman yang lebih holistik atas isi Alkitab. Pendekatan yang holistik akan menolak segala bentuk absolutisasi atas bagian-bagian tertentu dalam Alkitab, menerima dan menggunakan secara kreatif keberbagaian kontekstual, dan fokus utama pada kesaksian biblis tentang Yesus Kristus dan Kerajaan Allah. Penekanan atas keutuhan dan keseluruhan Alkitab tidak berarti mengabaikan berbagai tekanan yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab.
2.      Keterkaitan antara yang historis dengan yang eskatologis
Umat beriman yang hidup di dalam dunia ini berada dalam konteks sejarah. Ia bagian dari sejarah dan dengan demikian menjadi bagian pula dari realitas politik yang ada baik lokal maupun global. Namun pada saat yang sama setiap orang beriman juga hidup dalam janji dan pengharapan eskatologis. Tugas umat beriman adalah menjaga ketegangan ini secara kreatif. Benar bahwa kedua realitas ini berbeda; segala tindakan manusia dalam sejarah bersifat relatif, dan semuanya itu harus dilihat dalam terang tindakan Allah yang akan menggenapi janji eskatologisNya. Oleh karena itu segala tindakan politik umat beriman juga harus senantiasa dilakukan dalam terang dan mengacu pada janji eskatologis Allah yang akan menghadirkan KerajaanNya secara sempurna.
Berdasarkan prinsip-prinsip etis tersebut di atas, maka keterlibatan orang kristen dalam kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan:[133]
  1. Kekuasaan sebagai anugerah Allah.
Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Ia hendaknya dipahami sebagai anugerah Allah. Dan setiap anugerah Allah haruslah dipergunakan untuk menjadi berkat bagi sesamanya. Dengan demikian jabatan dan kekuasaan itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan kepada Tuhan.
  1. Tunduk terhadap pemerintah
Setiap orang Kristen harusnya memiliki kesadaran untuk selalu tunduk kepada pemerintah karena pemerintah merupakan hamba Allah untuk kebaikan manusia. Allah melalui Paulus mengatakan kepada seluruh manusia supaya takluk bukan hanya karena kemurkaan Allah tetapi karena dorongan suara hati. Allah ingin supaya manusia benar-benar memahami bahwa pemerintahan itu ada karena ketetapan Allah dan mereka menjadi hamba Allah untuk menjalankan roda kepemimpinan yang ada di dunia.
  1. Bayarlah seluruh kewajiban
Bagian inilah yang sering diabaikan oleh orang-orang Kristen yang tidak paham mengenai tujuan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah. Manusia cenderung hanya mau memakai tanpa mau membayar semua kewajibannya kepada pemerintah.
  1. Keberpihakan kepada yang lemah
Para politikus Kristen dipanggil memiliki keberpihakan kepada yang lemah, karena dua alasan penting, yaitu, pertama, kelompok masyarakat inilah yang seringkali menjadi korban penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka tidak boleh dilandasi oleh sentimen-sentimen yang bersifat primordial (suku, ras atau agama), dan yang kedua, kelompok inilah yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia, khususnya mereka yang lemah secara sosial-ekonomi. Namun keberpihakan itu juga tidak membuta, dalam arti bahwa aturan dan hukum tidak berlaku bagi kelompok ini.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1           KESIMPULAN
Dalam Perjanjian Lama, di Israel dan di dunia luar tidak ada raja yang tidak ditetapkan oleh Allah. Karena itu, raja-raja itu terikat pada hukum Tuhan. Pemerintahan yang seperti ini dikenal dengan istilah “Kepemimpinan Teokrasi” di mana Allah sendiri yang bertindak langsung sebagai penuntun, memberi tujuan dan sebuah komunitas yang diikat dalam perjanjian dengan Yahwe. Dalam persekutan tersebut Yahwe merupakan pemimpin tertinggi. Mereka menjadi alat pemerintahan-Nya atas umat manusia dan karena itu wajib menegakkan keadilan dan mengupayakan kemakmuran rakyatnya. Wawasan ini terdapat dengan sangat jelas dalam firman Nabi Yesaya mengenai raja diraja Persia, Koresy (Yesaya 45:1-8). Dia memecat raja dan mengangkat raja, demikian dikatakan Daniel di hadapan raja Babel mahadewa, dan ditulis dalam Kitab Daniel di tengah dunia helenistis (Daniel 2:21). Tetapi sama seperti dalam Roma 13:1-7, keyakinan itu tidak menjadi alasan untuk meremehkan kewajiban menaati raja. Dalam Amsal 24:21 ketaatan kepada raja malah disamakan dengan ketaatan kepada Tuhan. Ketidaktaatan hanya muncul dan dibenarkan dalam satu hal, yaitu kalau raja (penguasa) mendudukkan diri di tempat Tuhan, sebagaimana dilakukan raja Nebukadnezar (Daniel 3).
Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus menjadi tokoh atau pemimpin yang utama. Kepemimpinan Yesus diibaratkan sebagai seorang gembala. Gembala: Poimen/poimenos, berarti pemberi makan atau pelayan. Gembala yang baik mengenal domba-dombaNya serta memanggil nama mereka (Yoh 10: 3; 14:27), mencari domba yang hilang dan bergembira ketika menemukan domba itu (Luk. 15:4-5). Pelayanan yang diperlihatkan adalah sebagai hamba untuk  melayani bukan dilayani. Dalam hal ini Yesus ingin menekankan bahwa pelayan itu bukanlah suatu kekuasaan (bnd. Mat. 20: 25-26), Yesus juga ingin membuat suatu kritik dan perbandingan antara gaya kepemimpinan Yahudi dengan gaya kepemimpinan yang diperbuat Yesus.
Dalam gaya kepemimpinan Romawi, Kaisar merupakan objek penyembahan mereka. Pada mulanya Kaisar tersebut bertindak sebagai imam terbesar (pontifex maximus) yang memberikan korban bagi dewa-dewa di langit. Secara perlahan-lahan, ternyata korban yang layak untuk diberikan kepada dewa-dewi mulai diberikan kepada kaisar itu sendiri. Patut dicatat bahwa kebudayaan untuk menyembah kaisar adalah kebiasaan yang sangat umum dalam kebudayaan di sekitar Romawi. Keadaan ini pun juga merupakan produk sinkretis pencampuran kepercayaan, percampuran keagamaan mereka. Sebenarnya adalah lazim bagi orang Romawi untuk mengangkat kaisar-kaisar mereka terdahulu yang sudah meninggal menjadi allah. Para kaisar ini disembah bagaikan Allah karena pada masa itu bangsa Romawi memiliki keyakinan bahwa keselamatan bisa didapatkan dengan mematuhi dan takluk kepada pemerintah.
Pada zaman Paulus, setiap kebaktian di rumah ibadah dibuka dengan kalimat yang adalah inti seluruh agama Yahudi: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa”. Paulus percaya bahwa ada satu Allah yang menguasai seluruh alam semesta. Bagi banyak orang yang dikabari Injil oleh Paulus, gagasan itu sama sekali baru, karena mereka percaya kepada segala macam dewa. Misalnya saja Zeus, pemimpin segala dewa, demikianlah ada beratus-ratus dewa dan selalu ada lagi dewa yang baru yang diperkenalkan orang.
Orang-orang Romawi yang dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani yang terpelajar tentunya akan menertawakan semuanya itu tetapi lain sekali halnya dengan orang-orang biasa. Mereka hidup dalam ketakutan. Dewa mereka begitu banyak sehingga mereka tidak merasa pasti, barangkali mereka telah menyinggung perasaan salah satu dewa atau lupa memberi penghormatan yang layak diterimanya. Dengan demikian, mereka tidak pernah betul-betul merasa bahagia dan tidak pernah tanpa rasa khawatir. Maka datanglah Paulus dengan beritanya bahwa hanya ada satu Allah yang menguasai seluruh alam semesta dan segala yang terjadi di dunia ini berasal darinya. Orang-orang romawi yang arif dan bijaksana pastilah merasakan bahwa inilah kebenaran yang selama ini mereka cari dan rakyat biasa tentunya merasa lega bahwa pada akhirnya mereka dapat bebas dari rasa takut yang selama ini mencekam mereka.
Nasehat Paulus yang mengharuskan orang Kristen untuk selalu mentaati pemerintah dan selalu memenuhi kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan itu, misalnya pajak, telah membuat perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan Kristen pada masa itu. Yang pada awalnya orang-orang Yahudi dituduh sebagai orang-orang yang membuat kerusuhan, ketika pada masa kekaisaran Constantinus, dia membela orang-orang Kristen dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk menjalankan kepercayaan mereka sesuai dengan yang mereka yakini. Constantinus beranggapan bahwa kabar sukacita yang disampaikan oleh Paulus ada benarnya. Kata-kata Paulus yang paling disorotinya adalah bahwa pemerintahan itu berasal dari Allah untuk mengatur seluruh dunia ini. Dia pun percaya bahwa Kaisar itu harus bertindak sebagai Hamba Allah yang membagi-bagikan rahmat Allah kepada manusia melalui perlindungan-perlindungan dan menjalankan pemerintahan itu sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Secara otomatis, ketika kaisar atau negara memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk menjalankan sesuatu yang dia yakini, maka dengan sendirinya mereka akan mematuhi semua ketetapan-ketetapan yang telah dibuat oleh negara.
Bila terjadi bahwa pemerintah yang ada di atas orang percaya ternyata menyalahgunakan kekuasaan yang dipegangnya, dan malah membuat orang Kristen harus bergumul dengan ketaatan imannya kepada Allah, maka prinsip yang dalam filsafat disebut sebagai prinsip yang pada dasarnya mengatakan bahwa kalau ada dua prinsip moral berbenturan pada suatu saat misalnya, mana yang harus dipilih apakah harus menyelamatkan nyawa seseorang pejuang yang dicari penjajah atau berbohong dengan mengatakan tidak tahu tentang keberadaan si pejuang maka prinsip yang lebih tinggi harus didahulukan. Dalam hal ini berbohong menjadi bisa dibenarkan secara moral karena pada saat yang bersamaan prinsip kasih (menyelamatkan nyawa manusia) harus dilaksanakan dan tidak ada cara lain lagi. Mirip dengan prinsip di atas, kalau sampai terjadi pemerintah yang dipercaya Allah ternyata malahan “merusak” dan mengabaikan hukum Allah, dan malahan membuat orang Kristen harus bergumul dengan imannya kepada Allah, maka pemerintah yang demikian tidak harus dipatuhi. Dengan kata lain kesetiaan dan ketaatan kita terhadap pemerintah berhenti, ketika pemerintah itu mulai bertindak tidak sesuai dengan hukum Allah. Ketaatan kepada Allah dan hukumnya harus lebih utama daripada ketaatan kepada pemerintah.
Ini sesuai dengan argumentasi Paulus dalam Roma 13 ayat 1 di atas, bahwa karena pemerintah itu dari Allah dia harus taat dan tunduk kepada kehendak Allah. Sehingga saat pemerintah tidak bersedia tunduk dan taat kepada kehendak Allah maka sebenarnya pada saat itu juga ia telah kehilangan legitimasinya. Dan pemerintah yang demikian , tentu tidak perlu lagi ditaati. Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa ketaatan seorang Kristen kepada pemerintah tidak pernah menjadi sebuah ketaatan yang absolut, tetapi ketaatan yang bersyarat. Sepanjang pemerintah itu memberlakukan hukum Allah dan menjaga tata tertib serta mensejahterakan warganya ia mutlak harus ditaati. Tetapi kalau pemerintah itu tidak mampu menjadi perpanjangan tangan Allah dalam mengatur dan menertibkan dunia ini, maka ia tidak harus ditaati.
6.2           SARAN
Sebagai seorang percaya kepada Tuhan kita memiliki 2 status kewarganegaraan yaitu sebagai warga kerajaan Allah dan warga sebuah negara. Panggilan sebagai warga negara diatur oleh undang-undang baik dalam hal kewajiban maupun hak. Manusia harus menjalankan kewajibannya dan akan mendapatkan hak yang diberikan oleh negara. Tugas yang harus dilakukan sebagai warga negara, seperti yang firman Tuhan katakan adalah:
a.        Taat kepada peraturan dan hukum negara (ay 2). Sebuah negara harus memiliki peraturan atau hukum untuk mengatur ketertiban bersama. Sebagai orang percaya kita wajib mengikuti semua ketetapan dan aturan yang ditetapkan oleh negara, jika kita tidak mentaati aturan sebenarnya kita dikatakan melawan dan melanggar ketetapan Allah, karena Allah yang menetapkan suatu pemerintahan. Tidak ada satu negara yang bisa berdiri jika Allah tidak menetapkannya. Ketaatan kita kepada pemerintah bisa menjadi kesaksian yang baik.
b.        Melakukan kewajiban sebagai warga negara. Dalam memajukan dan membangun sebuah negara pasti memerlukan dana yang sangat besar. Dana negara diperoleh dari komoditas hasil bumi serta kekayaan alam dan kewajiban warga dalam mebayar pajak. Oleh sebab itu kita wajib dan bertanggung jawab membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara kita.
Tidak ada negara yang tidak diijinkan Allah untuk berdiri sendiri, meskipun ada pemerintahan ataupun penyelenggara pemerintahan yang melakukan penyelewengan dan korupsi kita harus tetap belajar menjadi warga negara yang baik. Ketaatan kita tidak berdasarkan pada orang lain tetapi berdasar pada Allah.




[1] Zakarias Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994: hlm. 78.
[2] Thomas van den End, Surat Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1997: hlm. 34.
[3] H. A. Kennedy, The Letter to the Romans, The Westminster Press, Phildelphia 1959: hlm. 109.
[4] Ibid, hlm. 110-111.
[5] Charles M.Whelan, “Governement Attempts to Define Church and Religion,” di dalam The Uneasy Boundary and State, ed. Dean M. Kelley, The Annals of the American Academy of Political and Social Science, vol. 446, Abingdon Press, New York 1979: hal. 33.
[6] A.N. Sherwin-White, Roman Society and Roman Law in the New Testament, Clarendon, Oxford 1965: hlm. 97.
[7] S. Wismoady Wahono, Disini Kutemukan, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm. 87-89.
[8] Stuart Briscoe, Mastering The Old Testament, Word Publishing, Dallas 1987: hlm. 368-369.
[9] Ibid, hlm. 119
[10] Yohanes Calvin, Institutio, Pengajaran Agama Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1985: hlm. 133-134
[11] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Kanisius, Yogyakarta 2002: hlm. 42.
[12] W. Foerster, “Exestin, Exousia dalam Theological Dictionary of The New Testament, Vol. 2, (ed. G. Kittel), SCM Press Ltd., London 1956: hlm. 560.
[13] Marjorie Warkentin, “Authority & Ordination” dalam Ordination: A Biblical-Historical View, W.M. B. Eermands Publishing Company, Michigan 1982: hlm. 173-183.
[14] James L. Ainslie, “The Powers of the Reformed Ministerial Order” dalam The Doctrines of the Ministerial Order in the Reformed Churches of the 16th & 17th Centuries, T. & T. Clark Ltd., New York 1940: hlm. 62-90.
[15] Eugene A. Nida, A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans, T. & T. Clark, Edinburgh 1979: hlm. 662.
[16] Johannes P. Louw, Greek-English Lexicon of the New Testament Based on Semantic Domains (United Bible Societies, New York 1988: hlm. 426.
[17] Eugene A. Nida, Op. Cit., hlm. 664
[18] N. H. G. Robinson,  “God”, A Dictionary of Christian Theology, (ed. Alan Richardson), SCM Press Ltd., London 1969: hlm. 137-138
[19] El dan Eloah adalah sebutan kata umum dalam dunia Semit yang disebut untuk menyebut Pribadi Dia Yang Maha Tinggi. Kata El dan Eloah ini memiliki asal usul kata dari nama Illahi suku bangsa Kanaan. nama El digunakan secara ekslusif oleh suku bangsa Kanaan dan orang-orang Ibrani yang tinggal di tanah Kanaan. Sedangkan, Eloah juga populer di lingkungan sekitar Kanaan (bnd. Ayub 1: 1). Elohim merupakan penggabungan dua kata, yaitu Eloah dan Im. Kata akhiran im ini menunjuk pada bentuk jamak. Maka Elohim merupakan bentuk jamak dari kata tunggal Eloah (bnd. Kej. 1: 26a). Adonay berasal dari kata adon dan ay. Arti pertama dari kata Adon adalah Tuan, akhiran ay menunjuk kepada kata ganti orang pada kata benda jamak. Dengan demikian, kata adonay bisa berarti my Lord, Tuhanku. Gelar nama Adonay sering disejajarkan dengan nama YHWH, oleh sebab itu nama Adonay disejajarkan dengan nama YHWH pada teks tulis kitab PL, maka umat Israel menggunakan kata Adonay sebagai ucapan lisan kata pengganti bagi teks tulis nama YHWH. Dan dalam Perjanjian Baru nama Allah dalam Perjanjian Lama tersebut hampir tidak ditemukan, melainkan diterjemahkan dengan sebutan Theos dan Kyrios. Menurut para sarjana Kitab Suci Yahudi, Theos merupakan terjemahan dari El, Eloah dan Elohim. Dan kata Kyrios memiliki arti yang sama dengan kata Ibrani Adonay. Lih, I. J. Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, Wacana Press, Jakarta 2004:hlm. 88-106.
[20] N. H. G. Robinson, Op. Cit., hlm. 139
[21] Allah memperkenalkan namaNya dengan  יהוה (YHWH), vokalnya tidak diketahui dengan pasti karena sejak zaman Perjanjian Lama, nama ini tidak pernah diucapkan tetapi selalu diganti dengan kata אדני  (Adonay), sesuai dengan Tradisi Yahudi bahwa nama itu tidak boleh diucapkan langsung. Namun, para ahli menduga pada mulanya nama tersebut diucapkan “Yahweh”. Secara umum teolog modern mendukung teks Alkitab memperkenalkan nama Yahweh dari akar kata  (hayah) yang artinya “Menjadi”. Lih. G. Johannes Botterweck and Helmer Ringgren (ed), Theological Dictionary of the Old Testament, William B. Eerdmans Publishing, Grand Rapids, Michigan 1974: hlm. 513
[22] G. W. Bromiley, “God”, The International Standard Bible Encyclopedia, Vol I, A-D (ed. J. Hutchison), W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan 1979: hlm. 365-366
[23] Gerhard Friedrich, “Qeoj dalam The Dictionary of New Testament, Vol. 5 (ed. Gerhard Kittel), W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan 1967: hlm. 267-268
[24] Ibid, hlm. 269-270
[25] Ibid, hlm. 271
[26] James Kallas, New Testament Studies, W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan 1965: hlm. 365-370
[27] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja Jilid I: Gereja Mula-mula di dalam Lingkungan Kebudayaan Yunani-Romawi (30-500), Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia [YPPII], Jawa Timur 1998: hlm. 30
[28] J. I. Packer dkk, Op. Cit., hlm. 70
[29] Donald Guthrie, New Testament Introduction, IV Press, Leicester 1990: hlm. 204-206
[30]Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja Jilid I: Gereja Mula-mula di dalam Lingkungan Kebudayaan Yunani-Romawi (30-500 M), Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPPII), Jawa Timur 1998: hlm. 30
[31] Ibid, hlm. 35
[32] Jakob van Bruggen, Siapa  yang Membuat Alkitab? Penyelesaian dan Kewibawaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Momentum Surabaya 2002: hlm. 49
[33] Henry H. Halley, Penuntun ke dalam Perjanjian Baru, Yakin Tromolpos, Surabaya 1965: hlm. 199.
[34] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia. Jakarta 2005: hlm. 369-372.
[35] Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar dan Pokok-Pokok Teologisnya, Bina Media Informasi, Bandung 2010: hlm. 201-210.
[36] Frank Tielman, The Theology of The New Testament, Zondervan Grand Rapids Michigan 2005: hlm. 368-370.
[37] John Drane, Op. Cit, hlm., 369
[38] Merrill C.Tenney, Op. Cit., hlm. 8-9.
[39] Marcus Borg, “A New Context for Romans XIII,” New Testament Studies, W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan 1976: hlm. 205-218.
[40] James D. Tabor, Op. Cit., hlm. 330
[41] Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Saxonia, dan wafat pada tanggal 18 Februari 1546. Ia berasal dari keluarga petani, dan mengaku,”Ich bin ein Bauern Sohn” (Saya anak petani). Ayahnya bernama Hans Luther, dan ibunya Margaret Ziegler. Pada musim panas 1484, keluarga Luder pindah ke Mansfeld, Magdeburg dan Einsenach. Pada tahun 1501, Luther belajar di Universitas Erfurt dan meraih gelar MA (Magister Artium) pada tahun 1505 melalui Trivum dan Quadrivium. Kemudian sesuai dengan keinginan ayahnya, ia melanjutkan studi dengan memasuki fakultas hukum. Tetapi ketika ia baru memulainya, ia mengalami kejadian yang amat menentukan masa depannya, yaitu ketika ia berjalan di tempat terbuka dalam cuaca yang buruk, ia hampir-hampir tersambar petir; takut akan mati, dan berjanji kepada Santa Anna, bahwa ia akan masuk ke biara. Lih. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2000: hlm. 31.
[42] W. J. Kooiman, Op. Cit., hlm. 37.
[43] Heiko A. Obermann, Luther: Man Between God and The Devil, Yale University Press, New Haven 1989: hlm. 86.
[44] Ibid, hlm. 320.
[45] Ibid, hlm. 321.
[46] Dia adalah orang Yunani, yang lahir di Asia Kecil dari keluarga Kristen. Waktu kecil dia mendengarkan Policarpus, Uskup Smirna yang pernah mengenal Yohanes. Sebagai pemuda dia pindah ke Lyon di Gallia (Prancis), tempat dimana dia menjadi presbiter. Dia dipengaruhi oleh Yustinus[46] dan dia menjadi jembatan antara teologi Yunani Purba dan teologi Latin Barat. Sumbangan utama Irenaeus ialah dalam membuktikan ketidakbenaran ajaran sesat dan dalam memaparkan kekristenan rasuli. Karyanya yang terpenting adalah Sangkalan Dan Penggulungan dari apa yang secara salah disebut Pengetahuan (gnosis), yang umumnya dikenal dengan judul singkatnya Adversus Haereses (melawan Ajaran-ajaran sesat). Tulisan ini khusunya ditujukan terhadap aliran Gnostik. Gnostik adalah istilah modern untuk berbagai sekte abad ke-2 yang mempunyai persamaan dalam unsure-unsur tertentu. Penganut-penganutnya percaya pada satu Allah Yang Mahatinggi yang jauh dari dunia ini. Allah tidak turut serta dalam penciptaan-itu adalah hasil otak atik ilah yang lebih rendah yang biasanya diidentifikasikan dengan Allah Perjanjian Lama. Antara dunia yang jahat ini dengan Allah Yang Mahatinggi terdapat semacam hierarki mahkluk-mahkluk ilahi. Keselamatan dicapai karena pengetahuan (bahasa Yunani gnosis). (Ibid, hlm. 9.)
[47] Charles R. Eerdman, The Epistle of Paul to the Romans, The Westminster Press, Philadelphia 1942: hlm. 138.
[48] Ernst Käsemann, lahir di Bochum-Dahlhausen, 12 September 1906, adalah seorang teolog Lutheran dan profesor Perjanjian Baru di Mainz (1946-1951), Göttingen (1951-1959) dan Tübingen (1959-1971). Käsemann memperoleh gelar Ph.D. dalam Perjanjian Baru di Universitas Marburg pada 1931, setelah menulis disertasi tentang eklesiologi Paulin, dengan Rudolf Bultmann sebagai pembimbing disertasinya. Käsemann adalah salah seorang murid Bultmann yang terkenal karena secara politik beraliran kiri. Käsemann bergabung dengan gerakan Gereja yang Mengaku pada 1933; pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai pendeta di Gelsenkirchen, di sebuah distrik yang kebanyakan masyarakatnya adalah buruh tambang. Pada musim gugur 1937 ia melewati beberapa minggu di tahanan Gestapo, setelah secara terbuka mendukung para buruh tambang yang komunis. Pada 1939, ia menyelesaikan habilitasinya, yang membuatnya memenuhi syarat untuk mengajar di universitas-universitas; disertasinya adalah tentang Surat Ibrani di dalam Perjanjian Baru. Käsemann belakangan direkrut menjadi tentara, dan kembali ke karya teologisnya pada 1946, setelah beberapa tahun berdinas di ketentaraan dan menjadi seorang tahanan perang. Lih. E. F. Osborn, “Ernst Käsemann” dalam Dictionary of Biblical Interpretation, Hayes, J H (ed), Vol. 2, Abingdon, Nashville 1999: hlm. 14-16.
[49] Ernst Kasemann, Commentary on Romans, Geoffrey W. Bromiley (ed.), William B. Eerdsmans P. Company, Grand Rapids 1980: hlm. 350.
[50] E. F. Bruce, The Letter of Paul to The Romans- An Introduction and Commentary, InterVarsity Press, Leicester 1987: hlm. 218.
[51] Dia adalah seorang Pendeta yang mendapat pendidikan teologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Azusa Pacific University. Dia pernah melayani di Gereja Persekutuan Kristen Pangkalpinang Dan menjadi Dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara. Beban pelayanannya adalah mengajak umat Tuhan kembali kepada ajaran Alkitab dan meningkatkan mutu pendidikan teologi di tanah air. Kini, selain mengajar di Trinity Theological College, Singapura, perhatiannya juga dicurahkan kepada penerjemahan Alkitab, penulisan tafsiran dan pelayanan berkhotbah. Lih. Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, Literatur SAAT, Malang 2007: hlm. 432
[52] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia, (Jilid I dan II), Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 2002: hlm. 866-867.
[53] Th. Van den End, Tafsir Surat Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995: hlm. 597-599.
[54] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 105-111
[55] J.I. Packer, Merrill C. Tenney, William White, Jr., Dunia Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang 2004: hlm. 64; pemerintahan “internasional” sebelumnya adalah kekuasaan Yunani, yaitu generasi penerus dari Aleksander Agung, kemudian setelah tahun 202 s.M. bangsa Romawi mulai masuk dalam pentas politk dunia, dan kemudian akan menguasai seluruh wilayah kekuasaan Yunani, dan bahkan masuk sampai ke Asia. Bnd. H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: hlm. 48
[56] Ibid., hlm. 30
[57] Ibid., hlm. 30.
[58] Ibid., hlm. 31.
[59] Ibid., hlm. 34.
[60] H. Jagersma, Op. Cit., hlm. 55
[61] A.A. Sitompul, Op. Cit., hlm. 32
[62] Ibid, hlm. 215-217
[63] Nestle-Aland, Novum Testamentum Graece: Edition 26, Deutsche Bibelgesellshaft, Stuttgart 1983: hlm. 432-433
[64] A.A. Sitompul, hlm. Op. Cit., 215-216
[65] A.A. Sitompul, Op. Cit., hlm. 187-188
[66] Beberapa sumber yang digunakan untuk menjelaskan Kritik Aparatus, antara lain:
Ø  Nestle-Aland, Novum Testamentum Graece: Edition 26, Deutsche Bibelgesellshaft, Stuttgart 1983
Ø  Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, Literatur Saat, Malang 2007: hlm. 250-252
Ø  Alfred Wikenhauser, New Testament Introduction, Herder and Herder, New York 1958: hlm. 62-90
[67] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 105-107
[68] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 369-370
[69] Th. van den End, Tafsiran Alkitab: Kitab Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008: hlm. 784
[70] Ibid, hlm. 785
[71] Willi Marxsen, Op. Cit., hlm. 110
[72] Bruce Clinton, Studi Perjanjian Baru Bagi Pemula, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm. 69-70
[73] F.F. Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 118-119
[74] Ibid, hlm. 120
[75] Bermula dari kesadaran akan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh penguasa, masyarakat mulai mengenali pemerintah mereka sebagai ilah. Pemikiran ini bahkan ditemukan dalam buku anak-anak yang bertulisankan “Apakah sebuah allah itu? Yaitu dia yang setara dengan yang ilahi.” Orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan orang lain, gubernur, jenderal, firaun, atau monarki Helenistis (Yunani), biasa diletakkan sebagai yang setara atau yang dekat kepada yang ilahi. Lih. C. B. E. Cranfield, Romans, A Shorter Commentary, T & T Clark, London 1985: hlm. 35-36
[76] Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru, jld. II (Agama), Literatur SAAT, Malang 2008: hlm. 58
[77] Ibid, hlm. 60-61
[78] John Staumbaugh, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm. 197
[79] S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm. 412-413
[80] Joseph P. Free, Arkeologis dan Sejarah Alkitab, Gandum Mas, Malang 1997: hlm. 426
[81] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1996: hlm. 170-171
[82] C. B. E. Cranfield, Op. Cit., hlm. 40
[83] H. G. Wells, Pocket History of The World, W. E. Erdsmans Pubishing Company, Michigan 1943: hlm. 149-153
[84] Ibid, hlm. 153-154
[85] Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba (Sejarah israel dari ± 330 SM-335 M), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: hlm. 13-20
[86] C. B. E. Cranfield, Op. Cit., hlm. 47-48
[87] George Arthur Buttrick, The Interpreter’s of The Bible, Abingdon Press, Nasville, New York 1962: hlm. 112-113
[88] Karl Barth, The Epistle to The Romans, (ed. Edwyn C. Hoskyns), Oxford University Press, Toronto, New York 1933: hlm. 240
[89] Anders Nygren, Commentary on Romans, Muhlenberg Press, Philadelphia 1944: hlm. 270
[91] John Calvin, Calvin’s Commentaries: Romans, edisi 1540 (trans. R. Mackenzie), W. B. Eerdmans, Grand Rapids, Michigan 1960: hlm. 256-257
[92] George Arthur Buttrick, Op. Cit., hlm. 114
[93] John Calvin, Op. Cit., hlm. 258.
[94] Ernst Käsemann, Op. Cit., hlm. 357
[95] Ben Witherington III, Paul’s Letter to The Romans: A Social Rehtorical Commentary, W. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan 2004: hlm. 12
[96] Ibid, hlm. 14
[97] Ibid, hlm. 15
[98] Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani, Kalam Hidup, Bandung 2004: hlm. 4
[99] Ibid, hlm. 6
[100] Th. van den End, Op. Cit., hlm. 784
[101] Luke Timothy Johnson, Reading Romans: A literary and Theological Commentary, Crossroad Press, New York 1997: hlm. 135-136
[102] Ibid, hlm. 138
[103] Dave Hagelberg, Op. Cit., hlm. 9
[104] Th. van den End, Op. Cit., hlm. 786
[105] John Calvin, Op. Cit., hlm. 260-261
[106] Ibid, hlm. 264
[107] Ibid, hlm. 237
[108] Dave Hagelberg, Op. Cit., hlm. 13
[109] Martin Luther, Op. Cit., hlm. 240-241
[110] Joseph Fitzmeyer, The Anchor Bible: Romans, Doubleday Press, Toronto 1993: hlm. 199
[111] Dave Hagelberg, Op. Cit., hlm. 21
[112] Joseph Fitzmeyer, Op. Cit., hlm. 200
[113] Horst Balz (ed), Exegetical Dictionary Of The New Testamen Vol 3, W.M. B. Eermands Publishing Company, Michigan 1993: hlm. 436-437
[114] Joseph Fitzmeyer, Op. Cit., hlm. 203-204
[115] Charles Hodge, Commentary on The Epistle to The Romans, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan 1994: hlm. 35-36
[116] Dave Hagelberg, Op. Cit., hlm. 27
[117] Charles Hodge, Op. Cit., hlm. 40-41
[118] Ibid, hlm. 45-46
[119] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008: hlm. 136-137
[120] Ibid, hlm. 140
[121] Walter Wink, The Powers: Theology For a New Millennium, Doubleday, New York 1998: hlm. 78-79.
[122] Robert P. Borrong, Etika Politik Kristen : Serba-serbi politik Praktis, Unit Publikasi dan Informasi dan Pusat Studi STT Jakarta, Jakarta 2006: hlm. 13-14
[123] Ibid, hlm. 15
[124] Jhon C. Bennet, When Christian Make Political Decision, Association Press, New York 1964: hlm. 26
[125] Ibid, hlm. 28
[126] Eka Darmaputera, Aspek-Aspek Etis Teologia Hubungan Gereja Dan Negara Dan Implikasinya Dalam Negara Pancasila, BPK- Gunung Mulia, Jakarta 1994: hlm. 239-240
[127] Op. Cit., Jhon C. Bennet, hlm. 30
[128] William H. Elder III, Understanding Christian Ethics: An Interpretive Approach, Bradman Press, Nashville, Tennessee 1988: hlm. 123-124
[129] J. Verkuyl, Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja dan Negara, BPK- Gunung Mulia, Jakarta, 1992: hlm. 238
[130] Paul L.Lehmann, Ethics in a Christian Context, Harper & Row, New York 1963: hlm. 117
[131] Yohanes Calvin, Institutio, Pengajaran Agama Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1985: hlm. 134 
[132] Koson Srisang, Perspectives on Political Ethics, an Ecumenical Enquiry, WCC Publishers, Switzerland 1983: hlm. 97-101
[133] Robin Gill, A Textbook of Christian Ethics, T & T. Clark Ltd, Scotland 1985: hlm. 34-36.

No comments:

Post a Comment