Sunday, April 8, 2012

Konflik Sosial Akibat isu begu ganjang


PERANAN GEREJA TERHADAP KONFLIK KARENA ISU BEGU GANJANG

       I.            PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita-berita yang sangat menyedihkan. Yakni timbulnya suatu konflik akibat adanya isu begu ganjang di kalangan masyarakat, di mana konflik tersebut menimbulkan korban. Begu ganjang adalah, konon, hantu peliharaan yang bisa disuruh pemiliknya untuk mencari kekayaan, dengan syarat mengorbankan nyawa manusia sebagai tumbal. Begu ganjang; kalau diterjemahkan bebas menjadi hantu panjang. Menurut cerita dari mulut ke mulut, begu ganjang di zaman dulu sengaja dipelihara oleh warga untuk menjaga ladang atau lahan pertanian. Di zaman sekarang fungsi begu ganjang berubah yaitu untuk mencari kekayaan. Kasus konflik isu“begu ganjang” seperti ini telah banyak memakan korban yang terjadi sekitar sepuluh tahun terakhir. Ada apa dibalik peristiwa “begu ganjang” ini? Roh apa yang berdiam bagi pelaku pembunuhan sadis ini. Roh apa pula yang dimiliki mereka jika terbukti memelihara “begu ganjang” seperti yang dituduhkan di atas?, serta bagaimana peranan gereja terhadap korban yang di tuduh memelihara begu ganjang tersebut.
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sumartana, J. Kristiadi pun menyatakan tiga alasan yang dapat dikatakan sebagai pemicu terjadinya kekerasan sosial belakangan ini. Pertama, konflik horizontal yang merebak akhir-akhir ini biasanya dipicu oleh penajaman prasangka oleh kelompok masyarakat yang satu terhadap kelompok masyarakat yang lain. Sebagai bangsa yang multiras, multietnik, multiagama, dan multibahasa, potensi untuk terjadinya konflik dalam masyarakat Indonesia sangat memungkinkan.[1]


-          Kasus begu ganjang telah banyak terjadi di indonesia seperti:
Di Kota Pelabuhan Belawan. Karena dicurigai memelihara begu ganjang, keluarga Binsar Silalahi (33) warga Jalan Baru Bagandeli Belawan diusir warga. Karena takut “di-massa-kan” warga, korban minta perlindungan ke Pos Polisi Polsekta Belawan. Klimaksnya Rabu (12/7) malam, saat Binsar Silalahi mampir di salah satu warung kopi di kawasan itu, seorang warga bermarga Silaban meludahinya sembari menarik krah bajunya. Ironisnya, kepala lingkungan setempat pun ikut-ikutan memprovokasi warga. Binsar Silalahi dituduh memelihara 20 begu ganjang yang mengancam kehidupan warga Bagandeli Belawan. “Anak-anak sampai bertanya kepada kami, apa sebenarnya yang kami pelihara sehingga warga begitu marah,” ujar Marice Br Hombing sambil berurai air mata.[2]
Di Kecamatan Muara kabupatenTapanuli Utara. Dipicu dengan tuduhan memelihara  “begu ganjang”(roh jahad-red), akibatnya 3 orang dibakar hidup-hidup hingga tewas. Betapa tidak, pengadilan barbar baru saja berlaku di desa ini. Tiga orang warga Dusun Buntu Raja Desa Sitanggor Kecamatan Muara, yang terdiri atas ayah, ibu dan anak harus meregang nyawa dihakimi secara biadab melalui tindakan yang sulit diterima akal sehat di jaman sekarang ini. Ketiga orang tersebut dibantai dan dibakar hidup-hidup oleh sekelompok massa yang merupakan tetangganya sendiri. Tuduhan yang menjadi pembenaran bagi penghakiman jalanan ini adalah begu ganjang. Para korban dituduh memelihara begu ganjang, suatu tuduhan yang tidak akan pernah bisa dibuktikan kebenarannya. Para korban pun tidak diberi kesempatan menyangkal tuduhan ini. Selain itu, kasus begu ganjang juga terjadi di Desa Sipultak Kecamatan Pagaran Tapanuli Utara. di Tapanuli Tengah, dua orang tewas (nenek dan anaknya) juga karena isu begu ganjang. Banyak keluarga yang terpaksa meninggalkan rumah dan kampung halamannya. Alasannya juga sama, yaitu mereka dituduh memelihara begu ganjang.[3]
Dalam konteks yang berbeda, di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, negara terutama aparat penegak hukum tidak konsisten dalam penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga negara. Hal ini terkait dengan penanganan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh massa terhadap seseorang yang dituduh memelihara Begu Ganjang (dalam bahasa Batak; sejenis santet yang dianggap dapat menyebabkan kematian seseorang).  Sudah 2 (dua) tahun kasus pembunuhan tersebut terjadi, namun pihak Kepolisian belum mampu memberikan pelayanan dan jaminan perlindungan hukum bagi keluarga korban. Sementara itu, kasus-kasus pembunuhan, intimidasi maupun pengusiran terhadap orang lain dengan isu Begu Ganjang sudah pernah terjadi sebelumnya di berbagai daerah di Sumatera Utara. Duduk perkara kasus pembunuhan tersebut adalah sebagai berikut: Pada tanggal 27 Desember 2006, Bidan Rulia Br. Sihombing yang berpraktek di Dusun Sendayan Desa Securai Selatan, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara melakukan penyuntikan 2 ampul terhadap pasiennya (Manalu) yang beralamat di  Dusun Sendayan, Desa Securai Selatan, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Setelah penyuntikan dilakukan, beberapa menit kemudian Manalu meningal dunia. Kematian Manalu membuat Pangihutan Sinambela (Almarhum) bertanya-tanya dan menduga bahwa kematian Manalu disebabkan oleh penyuntikan yang dilakukan Bidan Rulia Br. Sihombing. Rulia Br. Sihombing tidak bisa menerima tuduhan Pangihutan Sinambela karena menganggap pengobatan yang dilakukannya sudah benar. Sebagai tindakan balasan terhadap Pangihutan Sinambela, Rulia Br. Sihombing bersama suaminya, Mangiring Manurung diduga memprovokasi massa bahwa Pangihutan Sinambela memelihara Begu Ganjang.  Massa terprovokasi,  pada tanggal 10 Januari 2007 terjadi pengeroyokan yang mengakibatkan kematian Pangihutan Sinambela di Dusun Sendayan, Desa Securai Selatan, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.[4]            
 Terkait dengan ini, Samuel P. Huntington juga mengatakan bahwa konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, atau antar golongan kaya dengan golongan miskin, ataupun juga antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Tetapi harus diketahui pula jika perbedaan tidak harus berakhir dengan konflik, dan konflik tidak selalu identik dengan kekerasan.[5]
Yang menjadi titik fokus permasalahan yang akan disajikan oleh penyaji adalah bagaimanakah peranan gereja terhadap orang-orang yang menjadi korban akibat isu begu ganjang tersebut? Di mana posisi gereja dalam kejadian tersebut? Jangan-jangan para penatua, pelayan-pelayan gereja, pendeta dan lembaga gereja sudah tidak diperhitungkan lagi oleh masyarakat. Tetapi dalam pembahasan penyaji berangkat dari pertanyaan “adakah begu ganjang itu”?

    II.            PEMBAHASAN
a.      Permasalahannya; Adakah “begu ganjang”?
Begu menurut suku batak
Suku batak percaya akan adanya “begu”, karena Orang batak percaya bahwa manusia itu terdiri dari tubuh dan tondi. Setelah manusia meninggal, tondinya meninggalkan tubuhnya dan menjadi begu. Begu itu tinggal di benua tengah. Begu ini selalu berhubungan dengan keluarganya yang masing hidup. Itulah sebabnya, keluarganya yang masing hidup sering membuat berupa sajian untuk memperoleh simpati begu itu. Kedudukan dan martabat begu juga meningkat dikalangan sesamanya sesuai dengan banyaknya sajian yang diterimanya. Begu dari leluhur yang banyak keturunannya mempunyai martabat tinggi  dan tempat tinggalnya diatas gunung dan bukit. Tetapi begu dari orang yang tidak punya keturunan kesepian, karena tiada sajian yang siterimanya. Kalau hanya memiliki putri, begunya lama kelamaan akan dilupakan orang, sebab keturunannya masuk marga lain. Hal ini berhubungan dengan silsilah batak, penerus marga adalah laki-laki.[6]
 Istilah begu tidak hanya mencakup orang yang sudah mati, tetapi juga roh-roh alam, dan ke dalamnya termasuk semua roh yang kerjanya semata-mata menyusahkan orang, begu na jahat, dan juga roh yang jika disembah dan diberi sesajen bisa dibujuk untuk memberikan berkat duniawi. Roh-roh inilah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagian besar nasibnya tergantung dari padanya, penyakit pada hewan dan manusia, kematian pada saat melahirkan dan banyak lagi bencana lain.[7]
Jenis begu yang ditakuti oleh suku batak menjadi bermacam-macam seperti, begu ganjang – begu nurnur, begu antuk, begu lading, begu toba – begu jau.[8]
Kepercayaan kepada begu ganjang dapat juga di sebut sebagai okultisme. Yang mana arti dari okultisme tersebut adalah faham atau ajaranyang mempercayai adanya kekuatan gaib yang tersembunyi di dalam benda atau roh. Kekutan-kekuatan ini disebut gelap karena tidak menampakkan diri dengan terang-terangan atau nyata. Kuasa kegelapan itu, dihormati dipakai dan dimanfaatkan orang untuk berbagai kebutuhannya.[9]
Ada 2 macam sikap manusia terhadap okkultisme ini, antara lain:
1)      Ada orang yang sungguh-sungguh percaya dan takut serta menghormati kuasa iblis, setan atau begu-begu.
2)      Ada orang yang menungkin percaya bahwa okkultisme yang digunakannya membawa khasiat dalam kehidupannya.[10]
Jadi suku batak yang masih peka terhadap tradisi adat batak sangat mempercayai akan adanya begu ganjang.

Hantu menurut Alkitab
            Untuk menyesatkan orang, hantu-hantu menggunakan spiritisme. Melakukan spiritisme artinya mengadakan hubungan dengan hantu-hantu, secara langsung maupun melalui seorang perantara atau dukun. Alkitab mengutuk spiritisme dan memperingatkan kita agar menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan itu. (Galatia 5:19-21) Spiritisme dapat diumpamakan seperti umpan yang digunakan seorang nelayan. Untuk menangkap berbagai jenis ikan, seorang nelayan menggunakan bermacam-macam umpan. Demikian pula, untuk menguasai segala macam orang, roh-roh fasik menggunakan berbagai bentuk spiritisme.[11]
            Dalam kita Yesaya 34:11-16 dikatakan bahwa “burung undan dan landak akan mendudukinya, burung hantu dan burung gagak akan tinggal di dalamnya. TUHAN menjadikannya campu baur dan kosong tepat menurut rencana-Nya. Jin-jin akan diam di dalamnya, dan para pemkanya akan tidak ada lagi; tidak ada lagi di sana yang dimaklumkan sebagi raja, dan semua pemimpinnya sudah lenyap. Duri-duri akan tumbuh di puri-purinya, rumput dan puteri malu akan tumbuh di tempat-tempatnya yang berkubu, sehinggan menjadi tempat kediaman serigala dan lapangan bagi burung unta. Di sana berpapasan binatang gurun dengan anjing hutan, dan jin bertemu dengan temnnya; hantu malam saja ada di sana dan mendapat tempat perhentian. Di sana ular pohon bersarang dan bertelur, mengeram sampai telurnya menetas; burung-burung dendang saja berkumpul di sana, masing-masing dengan pasangannya. Carilah di dalam kitab TUHAN dan bacalah; satu pun tidak ada yang ketinggalan dan yang satu tidak kehilangan yang lain; sebab begitulah perintah yang keluar dari mulut TUHAN, dan Roh TUHAN sendiri telah mengumpulkan mereka”.
Lih. Imamat 17:7 “ janganlah mereka mempersembahkan lagi korban mereka kepada jin-jin, sebab menyembah jin-jin itu adalah zinah. Itulah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya, bagi mereka turun temurun.[12]
Kedua teks di atas menunjukkan keberadaan hantu dan jin. Arinya mereka ada dan hidup. Sebagian orang Israel melakukan pemujaan terhadap jin-jin. Orang-orang Israel yang memuja jin tersebut tidak dapt melihat jin itu secara nyata, namun mereka meyakini keberadaannya, takut dan berharap padanya.

Argumen ontologis dan argumen kosmologis tentang keberadaan begu ganjang
Apakah begu ganjang itu benar-benar ada, nyata kelihatan atau hanya terungkap di dalam pikiran saja, tidak kelihatan? Apakah realitas yang tidak kelihatan itu ada? Anselmus dari canterbury menyajikan satu argumen ontologis tentang keberadaan (eksistensi) dari realitas yang tak kelihatan itu, bahwa keberadaan bukanlah suatu ciri khas yang rill. Menurut Anselmus ada dua jenis keberadaan, yakni keberadaan dalam pemikiran (dalam pengertian) dan keberadaan dalam realitas. Keberadaan dalam pemikiran maksudnya keberadaan yang secara realitas tidak kelihatan, sedangkan keberadaan yang realitas adalah keberadaan yang tampak. Di dukung dengan argumen kosmologis oleh Thomas Aquinas. Aquinas menyajikan bahwa “sesuatu keberadaan tidak bisa muncul dari yang tidak ada” atau dengan perkataan lain: “setiap keberadaan ada yang menyebabkan keberadaan itu ada, dan itulah keberadaan yang kekal itu”. Dengan demikian ada keberadaan akibat dan ada keberadaan penyebab. Tetapi yang menjadi persoalan bukanlah masalah ‘keberadaan penyebab’ melainkan perihal ‘keberadaan akibat’ atau ‘keberadaan temporal.[13]
Jadi, begitulah halnya dengan keberadaan begu ganjang tersebut, begu ganjang tersebut ada karna dibuat ada dalam pemikiran manusia. Misalnya kalau berhala yang dipuja manusia itu bernama jin, maka tentu saja jin tersebut akan tetap ada bagi pengabdi-pengabdinya. Jika itu tuyul maka tuyul pun akan selalu ada bagi pengabdinya, dan juga jika yang dipuja manusia itu gendurwo pun tetap gendurwo tersebut selalu ada bagi pemuja-pemujanya. Begitulah halnya dengan keberadaan begu ganjang tersebut.

Peranan Gereja dalam upaya memperdamaikan
Kita mengetahui bahwa gereja memiliki misi sebagai pembawa damai kepada semua orang yang percaya kepada TUHAN. Sehubungan dengan munculnya kasus isu “begu ganjang” (santet) sangat menghebohkan dan telah memakan korban jiwa di Tapanuli Utara tersebut, maka gereja memiliki peranan yang sangat penting untuk mendamaikan masyarakat yang mengalami konflik akibat adanya isu begu ganjang tersebut. Bagaimana upaya gereja dalam menciptakan perdamaian tersebut? Di mana posisi gereja dalam kejadian tersebut. Jangan-jangan para penatua, pelayan-pelayan gereja, pendeta dan lembaga gereja sudah tidak diperhitungkan lagi oleh masyarakat.
Gereja diharuskan mau dan mampu bersaksi, bersekutu dan melayani di tengah-tengah gereja dan masyarakat. Melalui pembinaan yang terencana dan terus menerus warga gereja dapat menjadi panutan dan dapat berperan aktif menyatakan kesaksiannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui talenta dan profesi masing-masing dalam kehidupan sehari-hari (kesaksian). Berperan aktif dalam kehidupan berjemaat (persekutuan). Berperan aktif dalam pelayanan kasih (diakonia) dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat. Dan disisi lain perlu diadakan kursus-kursus pembinaan warga agar diperkenalkan pengajaran motodologi yang benar di bidang hermeneutika (prinsip penafsiran) yang benar. Dengan demikian dapat diberi pengetahuan secara benar tentang penafsiran firman Tuhan.
Menyadarkan kita perlunya melakukan secara intesif pembinaan-pembinaan untuk memberikan pencerahan  iman kristen kepada setiap warga jemaat. Gereja harus lebih cepat merespons masalah dan persoalan ditengah masyarakat dan gereja agar setiap pelayan dan warga perlu tahu persoalan-persoalan masyarakat, dengan mengembangkan jaringan dan kerja sama dengan kelompok lain. Dengan tindakan seperti itu maka gereja dapat membangun hubungan kasih persaudaraan di dalam kuasa kasih Kristus. Harus diakui bahwa anggota gereja memang memiliki banyak perbedaan, misalnya dalam status sosial, latar belakang budaya, kegemaran, pendidikan, ketrampilan serta minat. Dengan banyaknya perbedaan-perbedaan seperti itu maka perlu pembinaan iman warga untuk mengatasi mandeknya fungsi rasio dan fungsi emosi yang overload yang sering membuka peluang iblis (roh-roh jahat) masuk. Iblis menjadi berkuasa, biasanya diawali faktor kecemburuan (baca: hosom, late, teal, elat). Akibatnya terjadilah persaingan tidak sehat memfitnah, dll. Sama halnya sekarang ini banyak disesatkan oleh ramalan-ramalan, sekalipun ramalannya tidak terbukti. Untuk tujuan itulah maka isu begu ganjang diberi pencerahan dan dicari solusinya. Sebab lingkungan yang tertutup dan tersembunyi cenderung membuat orang tergoda melakukan yang tidak baik.
Pembinaan Warga Gereja (PGW) penting dalam menumbuhkembangkan iman mereka, sehingga keinginan dan kerinduan bersekutu dalam wujud bergereja dari orang-orang Kristen tersebut semakin kuat. Pola seperti ini penting untuk pencerahan pelayanan yang didasarkan pada teologia atau nilai-nilai kebenaran Firman Allah. Apabila pelayanan gereja sesuai dengan prinsip-prinsip kekristenan maka gereja dapat menjadi alat kesaksian umat Kristen mengenai Allah, Anak dan Roh Kudus ditengah-tengah masyarakat.
“Para pemimpin di gereja seharusnya jangan hanya sibuk dalam koridor tembok organisasi gereja, sementara di luar tembok berbagai kerawanan social terkait kepercayaan mistik, masih terus berkembang. Begu ganjang itu cuma rekaan belaka, menjadi dalih menghancurkan orang lain. Justru begu ganjang itu adalah provokasi itu sendiri.
Tujuan pembinaan agar setiap warga mampu menilai orang lain lebih kritis tanpa harus menaruh rasa curiga atau berprasangka buruk. Karena dalam kenyataannya yang nampak dalam jemaat bahwa warga gereja belum semua mampu berperan aktif dalam pelayanan ditengah-tengah gereja. 
Pelayan kristen dalam gereja juga harus mampu menilai kelemahan-kelemahan sendiri agar dapat melakukan perbaikan-perbaikan ke depan. Tuhan menghendaki kita menjadi pelayan yang berkualitas. Tuhan menugaskan kita menjadi contoh, sampel atau teladan bagi yang lain. Gereja harus mampu menumbuhkan dan menguatkan iman jemaat melalui firman TUHAN. Sehingga masyarakat atau warga gereja tidak lagi percaya tentang adanya begu ganjang.
Gereja harus mampu menegaskan dunia roh-roh jahat harus dijawab dengan iman Kristen, iman kepada Yesus Kristus, bahwa Dialah penguasa dunia ini dengan segala isinya. Alkitab berkata: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Maz 24:1). Salah satu faktor penyebab sehingga pengikut dari isu-isu seperti itu dan demikian fanatiknya disebabkan karena pengetahuan tetang Alkitab belum sempurna. Jika Tuhan-lah yang empunya dunia dengan segala isinya maka Firman Tuhan dengan jelas menyebutkan bahwa iman Kristen tidak mengenal adanya begu ganjang. Yang harus diwaspadai, bahwa Alkitab sudah sejak lama mengingatkan semua umatNya supaya bijaksana melihat tanda-tanda zaman. Salah satu tanda akhir jaman sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan Yesus adalah munculnya nabi-nabi, mesias-mesias palsu disertai tanda-tanda dahsyat dan mujizat untuk menyesatkan (Mat. 24: 24). Atas dasar firman sebaiknya umat Kristen jangan sampai terjebak dengan ajaran-ajaran yang menyimpang dari Alkitab. Patokan untuk memahami isu-isu harus dijawab dengan iman Kristen, yaitu Firman Tuhan sebagaimana tertulis di dalam Alkitab tidak mengakui keberadaan begu ganjang.
Gereja harus melibatkan warga gereja dalam kegiatan sosial melayani sebagai sesama warga dan masyarakat sekitar gereja di bidang kesehatan, poliklinik. Tuhan menyuruh kita membangun lingkungan, iklim, budaya, organisasi dan system, serta persekutuan, yang mendorong pelayan dan warganya menjadi baik. Dengan semakin bertambahnya jumlah kegiatan gereja maka gereja mampu menunjukan kasih ditengah umat dengan melayani setulus hati. Kasih yang menjadi modal utama dalam pelayanan adalah darah dan pengorbanan Yesus Kristus yang telah menyelamatkan manusia dari dosa. Dengan menambah prekwensai kegiatan gereja akan membebaskan kemiskinan pengetahuan dan kebodohan.
Menciptakan suatu resolusi konflik. Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Resolusi konflik juga pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu perdamaian yang positif, dimana perdamaian harus dilihat sebagai suatu upaya untuk membongkar sumber-sumber kekerasan yang ada dalam struktur sosial. Resolusi konflik ini sendiri dapat dicapai dengan mengidentifikasi sumber-sumber kekerasan struktural, mengidentifikasi perubahan struktural yang dibutuhkan, dan melembagakan proses resolusi konflik dalam struktur sosial. Diharapkan dengan resolusi konflik yang diterapkan akan mampu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata, dan mengkonstruksikan proses perdamaian yang langgeng yang dapat dijalankan oleh pihak-pihak yang bertikai.[14]
Gereja berperan dalam mengupayakan proses pendewasaan iman dan kematangan berpikir agar umat mampu hidup berdampingan di tengah perbedaan. Proses pendewasaan iman ini harus dilakukan di dalam proses pembelajaran yang ada, seperti khotbah-khotbah, ataupun dalam sharing yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil pembinaan iman. Substansi pengajaran tentulah harus menekankan pentingnya hidup yang berdampingan secara harmonis dengan masyarakat yang berbeda suku, agama, dan strata sosial. Selain itu substansi pengajaran tersebut pun harus memberi tekanan pada upaya menjalin kerjasama antar umat beragama terkait dengan masalah-masalah kemanusiaan. Format keberagamaan yang seperti itulah yang disebut oleh Komarudin Hidayat sebagai suatu format agama masa depan.[15]
Karena proses rekonsiliasi atau rujuk sosial adalah sebuah agenda dalam resolusi konflik yang efektif dalam penyembuhan dari trauma sosial, sekaligus dapat merekatkan ulang kohesi sosial yang tercabik-cabik akibat konflik. Rekonsiliasi harus diarahkan untuk membangun kembali trust antara kelompok-kelompok masyarakat yang semula bertikai. Bahkan rujuk sosial juga harus menyentuh akar konflik melalui rekonsiliasi elit politik, konflik adat/tanah, dan konflik identitas agama-etnis.[16]
Situasi Kita Sekarang
Saat ini kita tinggal menghitung hari menuju 150 tahun usia HKBP; usia tiga kali lima puluh tahun, berarti tiga kali Tahun Yobel, suatu usia yang harus banyak mendorong perenungan mendalam. Kegiatan adalah aksi tetapi aksi mengharuskan adanya refleksi. Aksi tanpa refleksi hanya aktivisme, aktivitas tanpa arah jelas. Refleksi tanpa aksi hanyalah angan-angan, nikmat tanpa khasiat. Merefleksikan semua pengalaman gereja (HKBP) adalah suatu langkah bijak untuk mengetahui di mana kita berada dan apakah masih tetap pada arah yang benar, jika tidak harus ada tindakan nyata supaya kita melangkah di jalan yang Tuhan kehendaki. Agar kita semakin mengetahui pergumulan gereja, salah satu cara ialah mengamati apa yang sedang berlangsung secara intens di dalam masyarakat. [17]
Pertama, di lingkungan kita dulu yakni peristiwa pembunuhan oleh massa beberapa kampung terhadap orang-orang yang dituduh parbegu ganjang, keyakinan takhyul bahwa ada hantu (begu) yang dapat disuruh membunuh atau menyakiti orang yang dianggap musuh. Konon kebanyakan hantu itu kalau dilihat makin tinggi (begu ganjang) orang yang memeliharanya disebut parbegu ganjang (di Jawa populer disebut dukun santet). Terlepas dari dugaan penyebabnya, ada yang mengatakan orang yang terlibat membunuh mempunyai utang terhadap mereka yang dicap parbegu ganjang atau ada juga yang menduga kematian beruntun adalah akibat kurang gizi atau sanitasi lingkungan yang jelek. Peristiwa itu menandakan bangkrutnya institusi sosial, keagamaan dan negara. Di mana para tokoh adat/marga ketika peristiwa belum dan sedang berlangsung ? Apakah mereka melarang tetapi tidak diacuhkan ? Mengapa masyarakat Batak yang terikat hubungan kekerabatan Dalihan Natolu tega mengeroyok/membunuh sesamanya.
Di mana posisi gereja dalam kejadian tersebut. Jangan-jangan para penatua, pelayan-pelayan gereja, pendeta dan lembaga gereja sudah tidak diperhitungkan lagi oleh masyarakat. Gereja (HKBP) yang dulu begitu kuat sebagai institusi keagamaan sejak abad 19 seperti tidak berdaya, mungkin sebagai wadah ibadah gereja masih diperhatikan tetapi sebagai lembaga pembinaan moral-spiritual, kita tidak lagi mampu membaca pergolakan di masyarakat. Gereja saat ini sedang berhadapan dengan masyarakat yang berubah ke corak kosmopolitan. Artinya, pendekatan sosial budaya (Batak) saja tidak cukup. Seorang Pastor ahli antropologi bergelar doktor Pastor Togar Nainggolan melayani di gereja Katolik Pangururan, dalam ceramahnya di HKBP Sudirman Jakarta Oktober yang lalu mengingatkan pergeseran itu. Pertama, menurut kebanyakan warga jemaat/pengunjung kebaktian, pelayanan gereja kurang adaptif dengan kebutuhan situasi.
Kedua, Gereja-gereja mesti terbuka mengelola gereja agar dapat menjadi “oase rohani”, sekaligus mengubah kultur: dari “pastoral desa” yang agak tradisional ke “pastoral kota” yang lebih modern. Di dalam waktu yang terbatas ini, gereja harus memikirkan ulang materi pembinaan (dari SM sampai Warga Senior); mengembangkan materi pembinaan dengan pendekatan kontekstual dan kebutuhan.
Materi multi-kulturalisme harus mendapat porsi besar. Multi-kulturalisme lebih menekankan pengenalan akan budaya/kultur setiap kelompok dan mereka mempunyai hak hidup dan mengembangkan diri sepanjang tidak melanggar hukum. Oleh karena kita sedang dan akan semakin intensif memasuki pergaulan global, maka sangat perlu memahami HAM dan menguasai tata pergaulan lintas budaya (etiket).
Untuk mengatasipersoalan tersebut sebaiknya agar gereja bergerak :
a.       Dari eksklusivitas menjadi inklusivitas, atau dari menaklukkan menuju melayani.
b.      Dari kepedulian akan jaminan tempat dari sorga menuju kepedulian akan bumi.
c.       Dari budaya kekuasaan menuju budaya damai.
d.      Dari gereja institusional sebagai benteng kebenaran menuju gereja sebagai gerakan Roh yang menghasilkan buah-buahNya dalam manusia (Galilea 5:22 dan 23).
Posisi gereja seharusnya: Pertama, mampu mengidentifikasi perubahan yang sedang berlangsung dan mengartikulasikan kepada jemaat. Kedua, mampu menyuarakan pergumulan dan penderitaan warga jemaat sehingga jemaat merasa suara hatinya diangkat/ disuarakan melalui khotbah dan PA. Ketiga, gereja mendampingi warganya dengan empati dan bersama-sama menemukan solusi. Gereja mesti tampil sebagai pendamping warga jemaat di dalam menghadapi berbagai masalah sebab merekalah yang langsung berhadapan dengan gejolak zaman. Penyelesaian tidak ditemukan di dalam “Buku Pintar” melainkan melalui pengamatan dan percakapan intensif.
 III.            KESIMPULAN
Demikianlah kerangka acuan ini dirumuskan untuk memberikan gambaran proses dan output seminar yang diselenggarakan dengan harapan dapat memberikan solusi bagi persoalan khusus tersebut, sebagaimana kasus begu ganjang/santet dari berbagai aspek/tinjauan analisis yang disampaikan diatas.
Pembawa damai adalah orang-orang yang didorong oleh gereja untuk semangat dan berkomitmen membawa perbaikan di tengah masyarakat yang sedang dilanda konflik; bahkan ia pun mengupayakan perdamaian ketika konflik itu belum terjadi. Alih-alih menimbulkan perpecahan ataupun kekacauan, para pembawa damai ini berusaha menggunakan pengaruh dan pikirannya untuk mengadakan rekonsiliasi, dan mencari titik temu di antara pihak-pihak yang bertikai. Sebagai orang-orang yang sudah diadopsi untuk menjadi anak-anakNya,  maka setiap orang Kristen dituntut untuk memperlihatkan karakter pembawa damai di tengah masyarakat.
Kekerasan harus ditumpas dengan anti kekerasan. Oleh karena itu, peran serta gereja dalam penyelesaian kekerasan tanpa metode kekerasan adalah sebuah kemutlakan. Ketika gereja secara proaktif mengupayakan dan mempromosikan perdamaian di tengah masyarakat, maka pada akhirnya dunia akan melihat gereja sebagai komunitas yang merepresentasikan karakteristik Allah yang senantiasa menghendaki perdamaian. Faktor ketidak mampuan akibat perbeadaan-perbeadaan dan ketidakmampuan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta susahnya bersaing sehat juga pemicu ratio tidak berfungsi, yang tidak sedikit melahirkan kecemburuan.
Pada umumnya pemahaman yang seperti itu salah satu penyebabnya, termasuk orang yang mengaku pernah melihat begu ganjang tersebut. Pada hal hukum ke-9 berkata jangan bersaksi dusta sebelum jelas kebenarannya. Lewat kegiatan pelayanan melalui pembinaan tersebut jemaat diberi pencerahan dalam mendalami Alkitab secara benar. Alkitab adalah dasar dan sumber kebenaran. Sebab melalui pembinaan gereja berusaha untuk mendewasakan warga gereja, agar melalui proses belajar mengalami perubahan diri yang terus menerus. Gereja tidak perlu kehabisan akal, ide, energi (kekuatan) dan semangat untuk melakukan perbaikan kehidupan manusia, khususnya kehidupan orang-orang yang mau percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Kendati banyak hambatan dalam melayani warga, gereja dan pelayannya tidak bisa berputus asa. Dan begu ganjang akan selalu ada jika manusia tetap tidak mau menerima dan merefliksikan firman TUHAN dalam kehidupanya sehari-hari.



[1] J. Kristiadi, Pengantar:Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia. dalam Indonesia Yang Berubah, Jakarta:Pusat Data Indikator. 1999.hlm. 23
[4] http://www. Seminar Begu Ganjang dan HAM/ 31/01/2009 dikunjungi tanggal 12 April 2011
[5] Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Qalam, Yogyakarta 2000: hlm. 9
[6] Lih. N. Siahaan, Sejarah Kebudayaan Batak, C. V. Napitupulu, Medan 1964: hlm. 43-47
[7] J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta 1986: hlm. 81.
[8] DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak, CV. Armanda, Medan 1992: hlm. 432
[9] Pdt. Rudolf H. Pasaribu, Okkultisme Dikalangan Orang Batak, PT. Atalya Rileni Sudeco, Jakarta 2003: hlm. 7
[10] Ibid, hlm 33

[11]http://www. /diterbitkan pada tahun 2005/Makhluk-Makhluk, Roh—Pengaruhnya atas Kita/dikunjungi 23 april 2011

[12] Pdt. Pardomuan Munthe, Bobby Nababan (ed), Begu Ganjang Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda, Cv. Putra Mandiri, Medan 2010: hlm 19-20
[13] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 207-208
[14] Syamsul Hadi, Andi Widjajanto dkk. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta:  2007, hlm. 81-82
[15] Komaruddin Hidayat, dan M. Wahyudi Nafis. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2003. hlm. 20
[16] Syamsul Hadi, Andi Widjajanto dkk. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta:  2007, hlm. 177-183

No comments:

Post a Comment