I.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita-berita yang sangat
menyedihkan. Yakni timbulnya suatu konflik akibat adanya isu begu ganjang di
kalangan masyarakat, di mana konflik tersebut menimbulkan korban. Begu ganjang
adalah, konon, hantu peliharaan yang bisa disuruh pemiliknya untuk mencari
kekayaan, dengan syarat mengorbankan nyawa manusia sebagai tumbal. Begu
ganjang; kalau diterjemahkan bebas menjadi hantu panjang. Menurut cerita dari
mulut ke mulut, begu ganjang di zaman dulu sengaja dipelihara oleh warga untuk
menjaga ladang atau lahan pertanian. Di zaman sekarang fungsi begu ganjang
berubah yaitu untuk mencari kekayaan. Kasus konflik isu“begu ganjang” seperti
ini telah banyak memakan korban yang terjadi sekitar sepuluh tahun terakhir.
Ada apa dibalik peristiwa “begu ganjang” ini? Roh apa yang berdiam bagi pelaku
pembunuhan sadis ini. Roh apa pula yang dimiliki mereka jika terbukti
memelihara “begu ganjang” seperti yang dituduhkan di atas?, serta bagaimana
peranan gereja terhadap korban yang di tuduh memelihara begu ganjang tersebut.
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sumartana, J. Kristiadi pun
menyatakan tiga alasan yang dapat dikatakan sebagai pemicu terjadinya kekerasan
sosial belakangan ini. Pertama, konflik horizontal yang
merebak akhir-akhir ini biasanya dipicu oleh penajaman prasangka oleh kelompok
masyarakat yang satu terhadap kelompok masyarakat yang lain. Sebagai bangsa
yang multiras, multietnik, multiagama, dan multibahasa, potensi untuk
terjadinya konflik dalam masyarakat Indonesia sangat memungkinkan.[1]
-
Kasus begu
ganjang telah banyak terjadi di indonesia seperti:
Di Kota Pelabuhan Belawan. Karena dicurigai memelihara begu
ganjang, keluarga Binsar Silalahi (33) warga Jalan Baru Bagandeli Belawan
diusir warga. Karena takut “di-massa-kan” warga, korban minta perlindungan ke
Pos Polisi Polsekta Belawan. Klimaksnya Rabu (12/7) malam, saat Binsar Silalahi
mampir di salah satu warung kopi di kawasan itu, seorang warga bermarga
Silaban meludahinya sembari menarik krah bajunya. Ironisnya, kepala lingkungan setempat
pun ikut-ikutan memprovokasi warga. Binsar Silalahi dituduh memelihara 20 begu
ganjang yang mengancam kehidupan warga Bagandeli Belawan. “Anak-anak sampai
bertanya kepada kami, apa sebenarnya yang kami pelihara sehingga warga begitu
marah,” ujar Marice Br Hombing sambil berurai air mata.[2]
Di Kecamatan Muara kabupatenTapanuli Utara. Dipicu dengan tuduhan
memelihara “begu ganjang”(roh jahad-red), akibatnya 3 orang dibakar
hidup-hidup hingga tewas. Betapa tidak, pengadilan barbar baru saja berlaku di
desa ini. Tiga orang warga Dusun Buntu Raja Desa Sitanggor Kecamatan Muara,
yang terdiri atas ayah, ibu dan anak harus meregang nyawa dihakimi secara
biadab melalui tindakan yang sulit diterima akal sehat di jaman sekarang ini.
Ketiga orang tersebut dibantai dan dibakar hidup-hidup oleh sekelompok massa
yang merupakan tetangganya sendiri. Tuduhan yang menjadi pembenaran bagi
penghakiman jalanan ini adalah begu ganjang. Para korban dituduh memelihara
begu ganjang, suatu tuduhan yang tidak akan pernah bisa dibuktikan
kebenarannya. Para korban pun tidak diberi kesempatan menyangkal tuduhan ini.
Selain itu, kasus begu ganjang juga terjadi di Desa Sipultak Kecamatan Pagaran
Tapanuli Utara. di Tapanuli Tengah, dua orang tewas (nenek dan anaknya) juga
karena isu begu ganjang. Banyak keluarga yang terpaksa meninggalkan rumah dan
kampung halamannya. Alasannya juga sama, yaitu mereka dituduh memelihara begu
ganjang.[3]
Dalam
konteks yang berbeda, di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, negara terutama
aparat penegak hukum tidak konsisten dalam penghormatan, pemenuhan dan
perlindungan hak asasi warga negara. Hal ini terkait dengan penanganan kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh massa terhadap seseorang yang dituduh memelihara
Begu Ganjang (dalam bahasa Batak; sejenis santet yang dianggap dapat
menyebabkan kematian seseorang). Sudah 2 (dua) tahun kasus pembunuhan
tersebut terjadi, namun pihak Kepolisian belum mampu memberikan pelayanan dan
jaminan perlindungan hukum bagi keluarga korban. Sementara itu, kasus-kasus
pembunuhan, intimidasi maupun pengusiran terhadap orang lain dengan isu Begu
Ganjang sudah pernah terjadi sebelumnya di berbagai daerah di Sumatera Utara.
Duduk perkara kasus pembunuhan tersebut adalah sebagai berikut: Pada tanggal 27
Desember 2006, Bidan Rulia Br.
Sihombing yang berpraktek di Dusun Sendayan Desa Securai Selatan,
Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara melakukan penyuntikan 2
ampul terhadap pasiennya (Manalu) yang
beralamat di Dusun Sendayan, Desa Securai Selatan, Kecamatan Babalan,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Setelah penyuntikan dilakukan, beberapa
menit kemudian Manalu meningal dunia. Kematian Manalu membuat Pangihutan Sinambela (Almarhum)
bertanya-tanya dan menduga bahwa kematian Manalu disebabkan oleh penyuntikan yang dilakukan Bidan Rulia Br. Sihombing. Rulia Br.
Sihombing tidak bisa menerima tuduhan Pangihutan
Sinambela karena menganggap pengobatan yang dilakukannya sudah benar.
Sebagai tindakan balasan terhadap Pangihutan
Sinambela, Rulia Br. Sihombing bersama suaminya, Mangiring Manurung diduga memprovokasi massa bahwa Pangihutan Sinambela memelihara Begu
Ganjang. Massa terprovokasi, pada tanggal 10 Januari 2007 terjadi
pengeroyokan yang mengakibatkan kematian Pangihutan Sinambela di Dusun Sendayan, Desa Securai Selatan,
Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.[4]
Terkait dengan ini, Samuel P.
Huntington juga mengatakan bahwa konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan
sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial,
atau antar golongan kaya dengan golongan miskin, ataupun juga antara
kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang
yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Tetapi harus diketahui
pula jika perbedaan tidak harus berakhir dengan konflik, dan konflik tidak
selalu identik dengan kekerasan.[5]
Yang menjadi titik fokus permasalahan yang akan disajikan
oleh penyaji adalah bagaimanakah peranan gereja terhadap orang-orang yang
menjadi korban akibat isu begu ganjang tersebut? Di mana posisi gereja dalam
kejadian tersebut? Jangan-jangan para penatua, pelayan-pelayan gereja, pendeta
dan lembaga gereja sudah tidak diperhitungkan lagi oleh masyarakat. Tetapi
dalam pembahasan penyaji berangkat dari pertanyaan “adakah begu ganjang itu”?
II.
PEMBAHASAN
a.
Permasalahannya;
Adakah “begu ganjang”?
Begu menurut suku batak
Suku batak percaya akan
adanya “begu”, karena Orang batak percaya bahwa manusia itu terdiri dari tubuh
dan tondi. Setelah manusia meninggal, tondinya meninggalkan tubuhnya dan
menjadi begu. Begu itu tinggal di benua tengah. Begu ini selalu berhubungan
dengan keluarganya yang masing hidup. Itulah sebabnya, keluarganya yang masing
hidup sering membuat berupa sajian untuk memperoleh simpati begu itu. Kedudukan
dan martabat begu juga meningkat dikalangan sesamanya sesuai dengan banyaknya
sajian yang diterimanya. Begu dari leluhur yang banyak keturunannya mempunyai
martabat tinggi dan tempat tinggalnya
diatas gunung dan bukit. Tetapi begu dari orang yang tidak punya keturunan
kesepian, karena tiada sajian yang siterimanya. Kalau hanya memiliki putri,
begunya lama kelamaan akan dilupakan orang, sebab keturunannya masuk marga
lain. Hal ini berhubungan dengan silsilah batak, penerus marga adalah
laki-laki.[6]
Istilah begu
tidak hanya mencakup orang yang sudah mati, tetapi juga roh-roh alam, dan ke dalamnya
termasuk semua roh yang kerjanya semata-mata menyusahkan orang, begu na jahat, dan juga roh yang jika
disembah dan diberi sesajen bisa dibujuk untuk memberikan berkat duniawi.
Roh-roh inilah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagian besar
nasibnya tergantung dari padanya, penyakit pada hewan dan manusia, kematian pada
saat melahirkan dan banyak lagi bencana lain.[7]
Jenis begu yang
ditakuti oleh suku batak menjadi
bermacam-macam seperti, begu ganjang – begu nurnur, begu antuk, begu lading,
begu toba – begu jau.[8]
Kepercayaan kepada begu
ganjang dapat juga di sebut sebagai okultisme.
Yang mana arti dari okultisme tersebut adalah faham atau ajaranyang mempercayai
adanya kekuatan gaib yang tersembunyi di dalam benda atau roh. Kekutan-kekuatan ini disebut gelap karena tidak menampakkan
diri dengan terang-terangan atau nyata. Kuasa kegelapan itu, dihormati dipakai
dan dimanfaatkan orang untuk berbagai kebutuhannya.[9]
Ada 2 macam sikap manusia terhadap okkultisme ini,
antara lain:
1)
Ada orang yang sungguh-sungguh percaya
dan takut serta menghormati kuasa iblis, setan atau begu-begu.
2)
Ada orang yang menungkin percaya bahwa
okkultisme yang digunakannya membawa khasiat dalam kehidupannya.[10]
Jadi
suku batak yang masih peka terhadap tradisi adat batak sangat mempercayai akan
adanya begu ganjang.
Hantu
menurut Alkitab
Untuk
menyesatkan orang, hantu-hantu menggunakan spiritisme. Melakukan spiritisme
artinya mengadakan hubungan dengan hantu-hantu, secara langsung maupun melalui
seorang perantara atau dukun. Alkitab mengutuk spiritisme dan memperingatkan
kita agar menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan itu.
(Galatia 5:19-21) Spiritisme dapat diumpamakan seperti umpan yang digunakan
seorang nelayan. Untuk menangkap berbagai jenis ikan, seorang nelayan
menggunakan bermacam-macam umpan. Demikian pula, untuk menguasai segala macam
orang, roh-roh fasik menggunakan berbagai bentuk spiritisme.[11]
Dalam kita Yesaya 34:11-16 dikatakan
bahwa “burung undan dan landak akan mendudukinya, burung hantu dan burung gagak
akan tinggal di dalamnya. TUHAN menjadikannya campu baur dan kosong tepat
menurut rencana-Nya. Jin-jin akan diam di dalamnya, dan para pemkanya akan
tidak ada lagi; tidak ada lagi di sana yang dimaklumkan sebagi raja, dan semua
pemimpinnya sudah lenyap. Duri-duri akan tumbuh di puri-purinya, rumput dan
puteri malu akan tumbuh di tempat-tempatnya yang berkubu, sehinggan menjadi
tempat kediaman serigala dan lapangan bagi burung unta. Di sana berpapasan
binatang gurun dengan anjing hutan, dan jin bertemu dengan temnnya; hantu malam
saja ada di sana dan mendapat tempat perhentian. Di sana ular pohon bersarang
dan bertelur, mengeram sampai telurnya menetas; burung-burung dendang saja
berkumpul di sana, masing-masing dengan pasangannya. Carilah di dalam kitab
TUHAN dan bacalah; satu pun tidak ada yang ketinggalan dan yang satu tidak
kehilangan yang lain; sebab begitulah perintah yang keluar dari mulut TUHAN,
dan Roh TUHAN sendiri telah mengumpulkan mereka”.
Lih. Imamat 17:7 “
janganlah mereka mempersembahkan lagi korban mereka kepada jin-jin, sebab
menyembah jin-jin itu adalah zinah. Itulah yang harus menjadi ketetapan untuk
selama-lamanya, bagi mereka turun temurun.[12]
Kedua teks di atas
menunjukkan keberadaan hantu dan jin. Arinya mereka ada dan hidup. Sebagian
orang Israel melakukan pemujaan terhadap jin-jin. Orang-orang Israel yang
memuja jin tersebut tidak dapt melihat jin itu secara nyata, namun mereka
meyakini keberadaannya, takut dan berharap padanya.
Argumen
ontologis dan argumen kosmologis tentang keberadaan begu ganjang
Apakah begu ganjang itu
benar-benar ada, nyata kelihatan atau hanya terungkap di dalam pikiran saja,
tidak kelihatan? Apakah realitas yang tidak kelihatan itu ada? Anselmus dari
canterbury menyajikan satu argumen ontologis tentang keberadaan (eksistensi)
dari realitas yang tak kelihatan itu, bahwa keberadaan bukanlah suatu ciri khas
yang rill. Menurut Anselmus ada dua jenis keberadaan, yakni keberadaan dalam
pemikiran (dalam pengertian) dan keberadaan dalam realitas. Keberadaan dalam
pemikiran maksudnya keberadaan yang secara realitas tidak kelihatan, sedangkan
keberadaan yang realitas adalah keberadaan yang tampak. Di dukung dengan
argumen kosmologis oleh Thomas Aquinas. Aquinas menyajikan bahwa “sesuatu
keberadaan tidak bisa muncul dari yang tidak ada” atau dengan perkataan lain:
“setiap keberadaan ada yang menyebabkan keberadaan itu ada, dan itulah
keberadaan yang kekal itu”. Dengan demikian ada keberadaan akibat dan ada
keberadaan penyebab. Tetapi yang menjadi persoalan bukanlah masalah ‘keberadaan
penyebab’ melainkan perihal ‘keberadaan akibat’ atau ‘keberadaan temporal.[13]
Jadi, begitulah halnya dengan keberadaan begu
ganjang tersebut, begu ganjang tersebut ada karna dibuat ada dalam pemikiran
manusia. Misalnya kalau berhala yang dipuja manusia itu bernama jin, maka tentu
saja jin tersebut akan tetap ada bagi pengabdi-pengabdinya. Jika itu tuyul maka
tuyul pun akan selalu ada bagi pengabdinya, dan juga jika yang dipuja manusia
itu gendurwo pun tetap gendurwo tersebut selalu ada bagi pemuja-pemujanya.
Begitulah halnya dengan keberadaan begu ganjang tersebut.
Peranan Gereja dalam upaya memperdamaikan
Kita
mengetahui bahwa gereja memiliki misi sebagai pembawa damai kepada semua orang
yang percaya kepada TUHAN. Sehubungan
dengan munculnya kasus isu “begu ganjang” (santet) sangat
menghebohkan dan telah memakan korban jiwa di Tapanuli Utara tersebut, maka
gereja memiliki peranan yang sangat penting untuk mendamaikan masyarakat yang
mengalami konflik akibat adanya isu begu ganjang tersebut. Bagaimana upaya
gereja dalam menciptakan perdamaian tersebut? Di mana posisi
gereja dalam kejadian tersebut. Jangan-jangan para penatua, pelayan-pelayan
gereja, pendeta dan lembaga gereja sudah tidak diperhitungkan lagi oleh masyarakat.
Gereja
diharuskan mau dan mampu bersaksi, bersekutu dan melayani di tengah-tengah
gereja dan masyarakat. Melalui pembinaan yang terencana dan terus menerus warga
gereja dapat menjadi panutan dan dapat berperan aktif menyatakan kesaksiannya
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui talenta dan profesi
masing-masing dalam kehidupan sehari-hari (kesaksian). Berperan aktif
dalam kehidupan berjemaat (persekutuan). Berperan aktif dalam pelayanan
kasih (diakonia) dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat. Dan disisi
lain perlu diadakan kursus-kursus pembinaan warga agar diperkenalkan pengajaran
motodologi yang benar di bidang hermeneutika (prinsip penafsiran) yang
benar. Dengan demikian dapat diberi pengetahuan secara benar tentang penafsiran
firman Tuhan.
Menyadarkan
kita perlunya melakukan secara intesif pembinaan-pembinaan untuk memberikan
pencerahan iman kristen kepada setiap warga jemaat. Gereja harus lebih
cepat merespons masalah dan persoalan ditengah masyarakat dan gereja agar
setiap pelayan dan warga perlu tahu persoalan-persoalan masyarakat, dengan
mengembangkan jaringan dan kerja sama dengan kelompok lain. Dengan tindakan
seperti itu maka gereja dapat membangun hubungan kasih persaudaraan di dalam
kuasa kasih Kristus. Harus diakui bahwa anggota gereja memang memiliki banyak
perbedaan, misalnya dalam status sosial, latar belakang budaya, kegemaran,
pendidikan, ketrampilan serta minat. Dengan banyaknya perbedaan-perbedaan
seperti itu maka perlu pembinaan iman warga untuk mengatasi mandeknya fungsi rasio
dan fungsi emosi yang overload yang sering membuka peluang iblis
(roh-roh jahat) masuk. Iblis menjadi berkuasa, biasanya diawali faktor
kecemburuan (baca: hosom, late, teal, elat). Akibatnya terjadilah
persaingan tidak sehat memfitnah, dll. Sama halnya sekarang ini banyak
disesatkan oleh ramalan-ramalan, sekalipun ramalannya tidak terbukti. Untuk
tujuan itulah maka isu begu ganjang diberi pencerahan dan dicari
solusinya. Sebab lingkungan yang tertutup dan tersembunyi cenderung membuat
orang tergoda melakukan yang tidak baik.
Pembinaan
Warga Gereja (PGW) penting dalam menumbuhkembangkan iman mereka, sehingga
keinginan dan kerinduan bersekutu dalam wujud bergereja dari orang-orang
Kristen tersebut semakin kuat. Pola seperti ini penting untuk pencerahan pelayanan
yang didasarkan pada teologia atau nilai-nilai kebenaran Firman Allah. Apabila
pelayanan gereja sesuai dengan prinsip-prinsip kekristenan maka gereja dapat
menjadi alat kesaksian umat Kristen mengenai Allah, Anak dan Roh Kudus
ditengah-tengah masyarakat.
“Para
pemimpin di gereja seharusnya jangan hanya sibuk dalam koridor tembok
organisasi gereja, sementara di luar tembok berbagai kerawanan social terkait
kepercayaan mistik, masih terus berkembang. Begu ganjang itu cuma rekaan
belaka, menjadi dalih menghancurkan orang lain. Justru begu ganjang itu adalah
provokasi itu sendiri.
Tujuan
pembinaan agar setiap warga mampu menilai orang lain lebih kritis tanpa harus
menaruh rasa curiga atau berprasangka buruk. Karena dalam kenyataannya yang
nampak dalam jemaat bahwa warga gereja belum semua mampu berperan aktif dalam
pelayanan ditengah-tengah gereja.
Pelayan
kristen dalam gereja juga harus mampu menilai kelemahan-kelemahan sendiri agar
dapat melakukan perbaikan-perbaikan ke depan. Tuhan menghendaki kita menjadi
pelayan yang berkualitas. Tuhan menugaskan kita menjadi contoh, sampel atau
teladan bagi yang lain. Gereja harus mampu menumbuhkan dan menguatkan iman
jemaat melalui firman TUHAN. Sehingga masyarakat atau warga gereja tidak lagi
percaya tentang adanya begu ganjang.
Gereja
harus mampu menegaskan dunia roh-roh jahat harus dijawab dengan iman Kristen,
iman kepada Yesus Kristus, bahwa Dialah penguasa dunia ini dengan segala
isinya. Alkitab berkata: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya,
dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Maz 24:1). Salah satu faktor
penyebab sehingga pengikut dari isu-isu seperti itu dan demikian fanatiknya
disebabkan karena pengetahuan tetang Alkitab belum sempurna. Jika Tuhan-lah
yang empunya dunia dengan segala isinya maka Firman Tuhan dengan jelas
menyebutkan bahwa iman Kristen tidak mengenal adanya begu ganjang. Yang
harus diwaspadai, bahwa Alkitab sudah sejak lama mengingatkan semua umatNya
supaya bijaksana melihat tanda-tanda zaman. Salah satu tanda akhir jaman sebagaimana
yang dikatakan oleh Tuhan Yesus adalah munculnya nabi-nabi, mesias-mesias palsu
disertai tanda-tanda dahsyat dan mujizat untuk menyesatkan (Mat. 24: 24). Atas
dasar firman sebaiknya umat Kristen jangan sampai terjebak dengan ajaran-ajaran
yang menyimpang dari Alkitab. Patokan untuk memahami isu-isu harus dijawab
dengan iman Kristen, yaitu Firman Tuhan sebagaimana tertulis di dalam Alkitab
tidak mengakui keberadaan begu ganjang.
Gereja
harus melibatkan warga gereja dalam kegiatan sosial melayani sebagai sesama
warga dan masyarakat sekitar gereja di bidang kesehatan, poliklinik. Tuhan
menyuruh kita membangun lingkungan, iklim, budaya, organisasi dan system, serta
persekutuan, yang mendorong pelayan dan warganya menjadi baik. Dengan semakin
bertambahnya jumlah kegiatan gereja maka gereja mampu menunjukan kasih ditengah
umat dengan melayani setulus hati. Kasih yang menjadi modal utama dalam
pelayanan adalah darah dan pengorbanan Yesus Kristus yang telah menyelamatkan
manusia dari dosa. Dengan menambah prekwensai kegiatan gereja akan membebaskan
kemiskinan pengetahuan dan kebodohan.
Menciptakan
suatu resolusi konflik. Resolusi konflik merupakan suatu
terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai
suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa
tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Resolusi konflik juga pada
dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu perdamaian yang positif, dimana
perdamaian harus dilihat sebagai suatu upaya untuk membongkar sumber-sumber
kekerasan yang ada dalam struktur sosial. Resolusi konflik ini sendiri dapat
dicapai dengan mengidentifikasi sumber-sumber kekerasan struktural,
mengidentifikasi perubahan struktural yang dibutuhkan, dan melembagakan proses
resolusi konflik dalam struktur sosial. Diharapkan dengan resolusi konflik yang
diterapkan akan mampu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan
kekerasan bersenjata, dan mengkonstruksikan proses perdamaian yang langgeng
yang dapat dijalankan oleh pihak-pihak yang bertikai.[14]
Gereja berperan dalam mengupayakan proses
pendewasaan iman dan kematangan berpikir agar umat mampu hidup berdampingan di
tengah perbedaan. Proses pendewasaan iman ini harus dilakukan di dalam proses
pembelajaran yang ada, seperti khotbah-khotbah, ataupun dalam sharing
yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil pembinaan iman. Substansi
pengajaran tentulah harus menekankan pentingnya hidup yang berdampingan secara
harmonis dengan masyarakat yang berbeda suku, agama, dan strata sosial. Selain
itu substansi pengajaran tersebut pun harus memberi tekanan pada upaya menjalin
kerjasama antar umat beragama terkait dengan masalah-masalah kemanusiaan.
Format keberagamaan yang seperti itulah yang disebut oleh Komarudin Hidayat
sebagai suatu format agama masa depan.[15]
Karena proses rekonsiliasi atau rujuk sosial adalah
sebuah agenda dalam resolusi konflik yang efektif dalam penyembuhan dari trauma
sosial, sekaligus dapat merekatkan ulang kohesi sosial yang tercabik-cabik
akibat konflik. Rekonsiliasi harus diarahkan untuk membangun kembali trust
antara kelompok-kelompok masyarakat yang semula bertikai. Bahkan rujuk sosial
juga harus menyentuh akar konflik melalui rekonsiliasi elit politik, konflik
adat/tanah, dan konflik identitas agama-etnis.[16]
Situasi Kita
Sekarang
Saat ini kita
tinggal menghitung hari menuju 150 tahun usia HKBP; usia tiga kali lima puluh
tahun, berarti tiga kali Tahun Yobel, suatu usia yang harus banyak mendorong
perenungan mendalam. Kegiatan adalah aksi tetapi aksi mengharuskan adanya
refleksi. Aksi tanpa refleksi hanya aktivisme, aktivitas tanpa arah jelas.
Refleksi tanpa aksi hanyalah angan-angan, nikmat tanpa khasiat. Merefleksikan
semua pengalaman gereja (HKBP) adalah suatu langkah bijak untuk mengetahui di
mana kita berada dan apakah masih tetap pada arah yang benar, jika tidak harus
ada tindakan nyata supaya kita melangkah di jalan yang Tuhan kehendaki. Agar
kita semakin mengetahui pergumulan gereja, salah satu cara ialah mengamati apa yang sedang berlangsung secara
intens di dalam masyarakat. [17]
Pertama, di lingkungan kita dulu yakni
peristiwa pembunuhan oleh massa beberapa kampung terhadap orang-orang yang
dituduh parbegu ganjang, keyakinan takhyul bahwa ada hantu (begu) yang dapat
disuruh membunuh atau menyakiti orang yang dianggap musuh. Konon kebanyakan
hantu itu kalau dilihat makin tinggi (begu ganjang) orang yang memeliharanya
disebut parbegu ganjang (di Jawa populer disebut dukun santet). Terlepas dari
dugaan penyebabnya, ada yang mengatakan orang yang terlibat membunuh mempunyai
utang terhadap mereka yang dicap parbegu ganjang atau ada juga yang menduga
kematian beruntun adalah akibat kurang gizi atau sanitasi lingkungan yang
jelek. Peristiwa itu menandakan bangkrutnya institusi sosial, keagamaan dan
negara. Di mana para tokoh adat/marga ketika peristiwa belum dan sedang
berlangsung ? Apakah mereka melarang tetapi tidak diacuhkan ? Mengapa
masyarakat Batak yang terikat hubungan kekerabatan Dalihan Natolu tega
mengeroyok/membunuh sesamanya.
Di mana
posisi gereja dalam kejadian tersebut. Jangan-jangan para penatua,
pelayan-pelayan gereja, pendeta dan lembaga gereja sudah tidak diperhitungkan
lagi oleh masyarakat. Gereja (HKBP) yang dulu begitu kuat sebagai institusi
keagamaan sejak abad 19 seperti tidak berdaya, mungkin sebagai wadah ibadah
gereja masih diperhatikan tetapi sebagai lembaga pembinaan moral-spiritual,
kita tidak lagi mampu membaca pergolakan di masyarakat. Gereja saat ini sedang
berhadapan dengan masyarakat yang berubah ke corak kosmopolitan. Artinya,
pendekatan sosial budaya (Batak) saja tidak cukup. Seorang Pastor ahli
antropologi bergelar doktor Pastor Togar Nainggolan melayani di gereja Katolik
Pangururan, dalam ceramahnya di HKBP Sudirman Jakarta Oktober yang lalu
mengingatkan pergeseran itu. Pertama, menurut kebanyakan warga jemaat/pengunjung
kebaktian, pelayanan gereja kurang adaptif dengan kebutuhan situasi.
Kedua, Gereja-gereja mesti terbuka
mengelola gereja agar dapat menjadi “oase rohani”, sekaligus mengubah kultur:
dari “pastoral desa” yang agak tradisional ke “pastoral kota” yang lebih
modern. Di dalam waktu yang terbatas ini, gereja harus memikirkan ulang materi
pembinaan (dari SM sampai Warga Senior); mengembangkan materi pembinaan dengan
pendekatan kontekstual dan kebutuhan.
Materi
multi-kulturalisme harus mendapat porsi besar. Multi-kulturalisme lebih
menekankan pengenalan akan budaya/kultur setiap kelompok dan mereka mempunyai
hak hidup dan mengembangkan diri sepanjang tidak melanggar hukum. Oleh karena
kita sedang dan akan semakin intensif memasuki pergaulan global, maka sangat
perlu memahami HAM dan menguasai tata pergaulan lintas budaya (etiket).
Untuk mengatasipersoalan tersebut sebaiknya agar gereja
bergerak :
a. Dari
eksklusivitas menjadi inklusivitas, atau dari menaklukkan menuju melayani.
b. Dari
kepedulian akan jaminan tempat dari sorga menuju kepedulian akan bumi.
c. Dari
budaya kekuasaan menuju budaya damai.
d. Dari
gereja institusional sebagai benteng kebenaran menuju gereja sebagai gerakan
Roh yang menghasilkan buah-buahNya dalam manusia (Galilea 5:22 dan 23).
Posisi gereja
seharusnya: Pertama, mampu
mengidentifikasi perubahan yang sedang berlangsung dan mengartikulasikan kepada
jemaat. Kedua, mampu menyuarakan
pergumulan dan penderitaan warga jemaat sehingga jemaat merasa suara hatinya
diangkat/ disuarakan melalui khotbah dan PA. Ketiga, gereja mendampingi warganya dengan empati dan bersama-sama
menemukan solusi. Gereja mesti tampil sebagai pendamping warga jemaat di dalam
menghadapi berbagai masalah sebab merekalah yang langsung berhadapan dengan
gejolak zaman. Penyelesaian tidak ditemukan di dalam “Buku Pintar” melainkan
melalui pengamatan dan percakapan intensif.
III.
KESIMPULAN
Demikianlah
kerangka acuan ini dirumuskan untuk memberikan gambaran proses dan output
seminar yang diselenggarakan dengan harapan dapat memberikan solusi bagi
persoalan khusus tersebut, sebagaimana kasus begu ganjang/santet dari berbagai
aspek/tinjauan analisis yang disampaikan diatas.
Pembawa damai adalah orang-orang yang didorong oleh gereja untuk semangat
dan berkomitmen membawa perbaikan di tengah masyarakat yang sedang dilanda
konflik; bahkan ia pun mengupayakan perdamaian ketika konflik itu belum
terjadi. Alih-alih menimbulkan perpecahan ataupun kekacauan, para pembawa damai
ini berusaha menggunakan pengaruh dan pikirannya untuk mengadakan rekonsiliasi,
dan mencari titik temu di antara pihak-pihak yang bertikai. Sebagai orang-orang
yang sudah diadopsi untuk menjadi anak-anakNya, maka setiap orang Kristen dituntut untuk
memperlihatkan karakter pembawa damai di tengah masyarakat.
Kekerasan harus ditumpas dengan anti kekerasan. Oleh karena itu, peran
serta gereja dalam penyelesaian kekerasan tanpa metode kekerasan adalah sebuah
kemutlakan. Ketika gereja secara proaktif mengupayakan dan mempromosikan
perdamaian di tengah masyarakat, maka pada akhirnya dunia akan melihat gereja
sebagai komunitas yang merepresentasikan karakteristik Allah yang senantiasa
menghendaki perdamaian. Faktor ketidak mampuan akibat perbeadaan-perbeadaan dan
ketidakmampuan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta susahnya
bersaing sehat juga pemicu ratio tidak berfungsi, yang tidak sedikit melahirkan
kecemburuan.
Pada umumnya pemahaman yang seperti itu salah satu penyebabnya, termasuk
orang yang mengaku pernah melihat begu ganjang tersebut. Pada hal hukum ke-9
berkata jangan bersaksi dusta sebelum jelas kebenarannya. Lewat kegiatan
pelayanan melalui pembinaan tersebut jemaat diberi pencerahan dalam mendalami
Alkitab secara benar. Alkitab adalah dasar dan sumber kebenaran. Sebab melalui
pembinaan gereja berusaha untuk mendewasakan warga gereja, agar melalui proses
belajar mengalami perubahan diri yang terus menerus. Gereja tidak perlu
kehabisan akal, ide, energi (kekuatan) dan semangat untuk melakukan
perbaikan kehidupan manusia, khususnya kehidupan orang-orang yang mau percaya
kepada Tuhan Yesus Kristus. Kendati banyak hambatan dalam melayani warga,
gereja dan pelayannya tidak bisa berputus asa. Dan begu ganjang akan selalu ada
jika manusia tetap tidak mau menerima dan merefliksikan firman TUHAN dalam
kehidupanya sehari-hari.
[1] J. Kristiadi, Pengantar:Masa
Depan Ekonomi Politik Indonesia. dalam Indonesia Yang Berubah, Jakarta:Pusat
Data Indikator. 1999.hlm. 23
[2]http://www.silaban.net/2006/07/15/dicurigai-pelihara-begu-ganjang-keluarga-silalahi-diusir-warga-dari-belawan/ dikunjuni tanggal 12 April 2011
[3]http://auliafebrianti.wordpress.com/2010/06/06/sampai-kapan-begu-ganjang-menghantui-tanah-batak/ dikunjungi tanggal 12 April 2011
[5]
Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia. Qalam,
Yogyakarta 2000: hlm. 9
[6] Lih. N. Siahaan, Sejarah
Kebudayaan Batak, C. V. Napitupulu, Medan 1964: hlm. 43-47
[7]
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet,
Jakarta 1986: hlm. 81.
[8] DJ.
Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak, CV.
Armanda, Medan 1992: hlm. 432
[9] Pdt. Rudolf H. Pasaribu, Okkultisme
Dikalangan Orang Batak, PT. Atalya Rileni Sudeco, Jakarta 2003: hlm. 7
[10] Ibid, hlm 33
[11]http://www. /diterbitkan pada tahun 2005/Makhluk-Makhluk, Roh—Pengaruhnya atas Kita/dikunjungi 23 april 2011
[12] Pdt. Pardomuan Munthe, Bobby
Nababan (ed), Begu Ganjang Jurnal
Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda, Cv. Putra Mandiri, Medan 2010: hlm 19-20
[13] Linwood
Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, BPK-Gunung Mulia, Jakarta
2006: hlm. 207-208
[14] Syamsul Hadi, Andi Widjajanto
dkk. Disintegrasi
Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta:
2007, hlm. 81-82
[15] Komaruddin Hidayat, dan M.
Wahyudi Nafis. Agama
Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta: 2003. hlm. 20
[16] Syamsul Hadi, Andi Widjajanto
dkk. Disintegrasi
Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta: 2007, hlm.
177-183
[17] http/www.6/2/ 2011/ Hotmanjlumbangaol.com.
MENUJU YUBILEUM 150 TAHUN HKBP « ETOS HABATAHON.htm/di tinjau tanggal 12 april 2011
No comments:
Post a Comment